“Saya tidak suka menembak orang yang terluka. Kalau saja saya tahu dia bakal menjadi apa. Sewaktu saya menyaksikan semua lelaki, perempuan, dan anak-anak yang ia bunuh dan lukai, saya meminta ampun pada Tuhan karena telah membiarkan ia hidup.”
Demikianlah pernyataan Henry Tandey, mantan veteran Perang Dunia Pertama, pada tahun 1940 ketika ia menyaksikan kota tempat ia tinggal luluh lantak oleh serangan udara Lutwaffe (Angkatan Udara Jerman) pada peristiwa Battle of Britain.
Siapa “ia” yang Tandey maksud?Untuk menjawab pertanyaan ini, kita kembali pada tanggal 28 September 1918 di sebuah daerah dekat desa Marcoing, Perancis Utara. Tandey bertugas di resimen Green Howards.
Pada bulan September, peleton Tandey tertahan oleh serangan senapan mesin.
Tandey pun harus merangkak untuk mencari tahu dimana posisi pos senapan mesin tersebut agar pos senapan mesin tersebut dapat dibungkam oleh rekan-rekannya.
Di seberang terdapat garis pertahanan Jerman yang diisi oleh 16th Bavarian Infantry.
Diperkirakan pada momen itulah Tandey berpapasan dengan seorang prajurit dalam keadaan terluka yang sedang melarikan diri.
Tandey cepat mengangkat senjatanya dan mengarahkan kepada prajurit Jerman yang terluka itu.
Prajurit Jerman tersebut diam dan pasrah seakan merasa bahwa inilah akhir hidupnya.
Melihat keadaan prajurit Jerman yang terluka dan kuyu tersebut, hati Tandey tergerak oleh belas kasihan.
Ia menurunkan senapannya dan membiarkan prajurit Jerman itu pergi.
Sebelum pergi, prajurit Jerman itu menganggukkan kepalanya kepada Tandey tanda ia berterimakasih.
Tindakan yang dilakukan Tandey sendiri adalah bentuk kemanusiaan.
Suatu sikap ksatria di tengah perang yang brutal. Tapi tindakan ksatria itu akan disesali oleh Tandey seumur hidupnya.
Prajurit Jerman yang tidak jadi ia tembak itu adalah Adolf Hitler.
Bagaimana Tandey dapat mengetahui bahwa prajurit Jerman yang tidak jadi ia tembak itu adalah Adolf Hitler?
Hal ini bermula pada tahun 1938 ketika Perdana Menteri Inggris saat itu, Neville Chamberlain melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman untuk menemui H1tler di kota Munich.
Pada saat berkunjung ke rumah peristirahatan Hitler di Bavaria, Chamberlain tertarik akan sebuah lukisan yang tergantung di tembok rumah tersebut.
Lukisan itu sendiri merupakan lukisan repro dari karya asli yang dibuat oleh seniman Italia, Fortunino Matania.
Lukisan itu sendiri berlatar belakang pada pertempuran Ypres tahun 1914 dengan Henry Tandey yang sedang menggendong rekannya yang terluka di punggung menjadi objek dari lukisan tersebut.
Chamberlain bertanya kepada Hitler apa hubungan lukisan ini dengan dirinya. Hitler menjawab, “orang itu pernah hampir membunuhku sehingga aku merasa tidak akan pernah melihat Jerman lagi. Tapi ia tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi.”
Hitler juga pada kesempatan itu menyampaikan permintaan kepada Neville agar menyampaikan ucapan terimakasihnya kepada Tandey.
Ketika tiba kembali di Inggris, Neville memerintahkan stafnya untuk mencari keberadaan Tandey. Setelah didapat, Neville menghubungi Tandey dan menyampaikan salam dan ucapan terimakasih dari H1tler atas tindakan ksatria yang dilakukan Tandey pada tahun 1918.
Tandey tentu tidak pernah mengira bahwa budi baiknya akhirnya membawa bencana bagi Eropa dan dunia saat itu. Hitler yang tidak jadi ditembak oleh Tandey di kemudian hari, bersama dengan Partai Nazi, menjadi penguasa Jerman dan memicu Perang Dunia Kedua yang lebih menghancurkan ketimbang Perang Dunia Pertama.
Tandey pensiun dari dinas kemiliteran pada tahun 1926.
Ia adalah pahlawan perang pada Perang Dunia Pertama yang dianugerahi medali Victoria Cross, Distinguished Conduct Medal, dan Military Medal. Ia pindah ke Coventry, Tandey meninggal pada tahun 1977 pada usia 86 tahun.
Abu dirinya dikubur di British Cemetery di Marcoing, Perancis, berdekatan dengan rekan-rekannya yang gugur di desa tersebut dan tidak jauh dari tempat dimana ia mengampuni nyawa Hittler.