Dengar, satu-satunya alasanku membahas tentang ini adalah karena cerita "Jane the Killer" yang beredar mulai membuatku sebal.
Nama asliku Jane Arkensaw, julukanku "Jane the Killer" dan kisah ini menjelaskan bagaimana awal mula pertemuanku dengan Jeff, kejadian yang menyebabkan rupaku jadi begini, serta mengapa aku bernafsu untuk membunuhnya.
Ketika aku mendengar akan kepindahan keluarga itu di rumah seberang jalan dari tempatku tinggal, aku tak begitu terkejut. Lingkungan perumahan kami menyenangkan, apalagi harga rumah itu cukup murah mengingat letaknya yang strategis. Aku kira saat itu aku berumur 13-14 tahunan ketika semuanya berubah jadi neraka.
Aku nggak terlalu sering bicara dengan Jeff di awal-awal kepindahaanya. Dan sejujurnya aku sama sekali tidak pernah ngobrol sama dia hingga... malam itu. Tapi sekarang terlalu awal kalau mau membahas kejadian tersebut. Kesan pertamaku tentang Jeff adalah tampaknya dia itu anak yang baik. Terlihat pintar juga tidak suka berkelahi, bahkan dia cukup keren kalau saja tidak terlalu tertutup.
Saudaranya Liu terlihat sangat mengutamakan keluarga dari caranya duduk bersama Jeff di trotoar pinggir jalan. Tentu saja waktu itu aku masihlah menduga-duga dan tak terlalu menggubris pemikiranku lagi pula aku juga harus segera berangkat sekolah, karena aku akan terlambat, yang mana bukanlah kebiasaanku mengingat aku amat jarang sekali terlambat menghadiri acara apapun terutama sekolah, namun sekali lagi aku menoleh ke arah jendela sebab tampaknya akan terjadi sesuatu di seberang sana.
Aku sudah menebak apa yang akan berlangsung ketika ku lihat Randy meluncur di atas papan skateboard jeleknya diikuti beberapa berandalan lain menghampiri Jeff dan Liu. Randy itu tak lebih dari seorang bocah pembuat onar, sering sekali mencari masalah dengan siapapun yang berperawakan lebih kecil darinya.
Bahkan Randy jugalah penyebab mengapa orang tuaku selalu mengantar aku ke sekolah daripada membiarkanku naik bus seperti anak-anak lain. Semua anak harus menyerahkan uang jajan mereka untuk membayar semacam "upeti" yang Randi tetapkan pada mereka. Dan kami semua tahu kalu geng Randy suka mengancam pakai pisau lipat ke setiap anak baru pindahan jika berani mengadu tentang "upeti" tarikan Randy. Semua orang mengalami perlakuan sama, kecuali dua anak baru itu yang sedang menjadi sasaran mereka, seperti anak-anak lainnya sebelum ini.
Saat ku lihat Randy tengah berbicara dengan mereka, aku hendak berpaling. Aku tak ingin jadi sok mau tahu. Lagian aku harus segera mempersiapkan perlengkapan sekolahku dan sia-sialah waktuku jika kuhabiskan hanya untuk menonton anak lain menyerahkan uang mereka pada Randy. Sialnya rasa penasaran kembali muncul hingga beberapa detik kemudian, akupun menoleh ke jendela. Dan yang kusaksikan segera membuat mulutku ternganga. Jeff bangkit berdiri, dan tampak bahwa Randy akan mendapatkan yang dia inginkan.
"Kembali duduk," seruku dalam hati, "Jangan bertindak bodoh."
Kemudian kulihat Jeff menonjok wajah Randy lalu memelintir pergelangan tangannya.
"Ya ampun!" pekikku. Kemudian aku berteriak, "Dasar idiot!"
Orang tuaku bergegas menghampiriku dan bertanya apa yang terjadi. Mereka berpaling ke luar jendela menyaksikan kelanjutan peristiwa itu. Jeff menyabet lengan si bocah kurus dengan pisau yang tadi direbutnya, aku rasa bocah itu bernama Keith, dia tersungkur lalu menjerit kesakitan. Sedangkan Troy tumbang hanya dengan sekali pukul. Karena rumahku terletak di seberang jalan di mana Jeff dan saudaranya Liu berada, serta berjendela depan besar, menjadikan kami dapat menyaksikan keseluruhan peristiwa. Atau paling tidak, aku yang menonton dari pertama, karena kedua orang tuaku baru ikut melihat setelah bagian dimana Randy merampas dompet kedua anak baru itu, jadi mereka tak tahu bagaimana awal mulanya.
Menyaksikan Jeff berkelahi membuatku tak nyaman. Tampaknya dia sangat menikmati perbuatannya itu. Aku merasakan suatu hentakkan dalam perutku seolah peristiwa yang kusaksikan tak seharusnya terjadi, dan jika melihat raut wajah Liu, aku menyadari kalau Jeff sepertinya jarang sekali berperilaku semacam itu. Hal selanjutnya yang kutahu adalah suara sirine meraung raung dan bersamaan dengan itu si dua anak baru melarikan diri. Beberapa polisi bersama seorang supir datang menghampiri para "korban". Tampaknya mereka akan baik-baik saja.
Lagipula, kau tahulah, berandalan seperti mereka pasti tak sudi jika terlihat cengeng dan lemah.
Sejak salah satu peraturan orang tuaku adalah "anti polisi" dikarenakan dulu saat ayahku bekerja di kepolisian, dia di jadikan kambing hitam oleh seorang rekan polisi lainnya yang suka cari muka saat mereka sedang menyelidiki kasus hilangnya sebuah kotak berangkas, maka akhirnya ayahku memutuskan mengundurkan diri dari kepolisian. Oleh sebab itu ketika kami mendengar suara sirene, kami bergegas ke garasi, naik ke mobil dan menderu pergi.
Dalam perjalanan ke sekolah, orang tuaku dengan tegas menyuruh agar jangan pernah mendekati Jeff. Aku sangat setuju dengan mereka.
Kelas pertamaku adalah kesenian, jadi aku belum melihat Jeff hingga menjelang jam-jam akhir sekolah. Aku masih bisa melihat warna-warni pada karya seniku jika aku fokus. Namun ketika aku mencoba memandang segala hal di sekitarku sekarang, semuanya tampak kelabu. Aku rasa itu harga yang harus kau bayar akibat terlalu sering berpura-pura tidak perduli.
Aku tidak mendapati sosok Jeff hingga memasuki periode kelas terakhir. Ketika akhirnya dia muncul, dia tampak... begitu santai. Awalnya kukira dia sedang bertingkah sok ceria agar orang-orang tak curiga akan perbuatannya tadi pagi. Tapi dia sungguh terlihat bahagia. Bukan karena dia senang berada di sekolah, aku yakin itu. Senyuman di wajahnya tampak sadis di mataku. Itu adalah senyuman dari lelaki gila.
Tepat setelah bel berdering, aku langsung beranjak pergi dari sana secepat yang ku bisa. Tak seorangpun kecuali aku yang tahu siapa Jeff sebenarnya. Dia itu bocah sinting.
*****
Hari selanjutnya berlalu tanpa terjadi apa-apa, pada awalnya. Tapi kemudian kulihat sebuah mobil polisi berhenti di depan rumah Jeff.
"Tampaknya kau ketahuan," batinku.
Tak ada yang bisa lari dari masalah semacam itu (apalagi dengan disaksikan banyak tetangga serta faktor-faktor lainnya). Tapi aku salah sangka tentang siapa yang mereka ringkus. Bukannya membawa Jeff seperti dugaan awalku, mereka malah keluar rumah bersama Liu, saudara Jeff.
Aku hampir berpikir Jeff telah melimpahkan perbuatannya pada Liu sebelum kulihat dia berlari keluar lalu berteriak,
"Liu katakan pada mereka, akulah pelakunya!"
(aku dapat mendengar teriakannya karena pintu depanku terbuka)
Namun aku tak bisa mendengar apa yang dikatakan Liu untuk menanggapi pengakuan Jeff, tapi tampaknya itu sama sekali bukan jawaban yang ingin di dengar Jeff.
Beberapa saat kemudian mobil polisi pergi bersama Liu, meninggalkan Jeff mematung di pekarangan didampingi sang ibu. Beberapa menit berlalu ibu Jeff melangkah masuk meninggalkan Jeff sendirian di luar. Meskipun tak begitu jelas, aku dapat melihat saat itu Jeff menangis.
Tapi siapa yang tidak, dalam kondisi semacam itu.
Keesokan hari berita mengenai Liu menyebar bak kobaran api. Butuh waktu lama bagi mereka untuk membicarakan gosip tentang Randy yang kena batunya. Dan ketika mereka tahu kalau Randy takkan masuk sekolah untuk beberapa hari, semuanya pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menikmati gosip itu sebisa mungkin, lalu bermacam macam omong-kosong mulai bermunculan.
"Aku dengar Liu memotong lengan Keith!"
"Oh iya? Aku juga dengar kalau Liu meninju perut Troy sampai dia muntah darah!"
"Ah itu belum seberapa! Aku dengar Liu menonjok hidung Randy sangat keras sampai menembus ke kepala belakangnya!" dan bla, bla, bla.
Sebenarnya aku pribadi tidak ingin berurusan sama Jeff, atau saudaranya. Tapi... Jeff terlihat sangat kesepian dan sedih sehingga memaksaku untuk bertindak. Akupun menulis sebuah catatan yang memberitahunya bahwa di tempat ini dia masih punya teman serta tidaklah sendirian, aku juga akan bersaksi pada persidangan Liu untuk menjelaskan kejadian sebenarnya.
Sebelum pelajaran dimulai, ku tinggalkan catatan itu di dalam lacinya dengan kutuliskan inisial "J" pada suratnya, lalu aku pergi. Ketika aku masuk kembali ke kelas, Jeff berada di mejanya dan catatan itu tak lagi di sana.
*****
Hari sabtu pun tiba, aku sendirian di rumah sedangkan kedua orang tuaku masih bekerja. Anak tetangga tengah mengadakan pesta ulang tahun. Waktu itu aku membiarkan jendela rumah terbuka karena aku ingin menghirup udara segar sambil mengerjakan PR. Tapi anak kecil sebelah sangat bising, maka kuputuskan untuk menutup jendelaku. Aku hendak akan melakukannya, ketika kulihat Jeff sedang bermain bersama anak-anak kecil di pesta itu. Dia berlari ke sana kemari memakai topi koboi mainan sambil membawa pistol-pistolan. Tampangnya sungguh konyol hingga aku geli dibuatnya.
"Mungkin dia bukanlah monster seperti yang kukira selama ini," pikirku malu pada diri sendiri atas prasangka burukku padanya.
Sesaat sebelum aku menutup jendela, aku melihat Randy, Keith, dan Troy melompat dari papan skateboard mereka ke pekarangan dimamana Jeff berada.
"Tidak lagi!" aku bergumam di depan jendela.
Aku lihat Jeff dan Randy berbicara sedikit namun aku tak dapat mendengarnya karena anak-anak kecil di sana mulai menjerit jerit. Kemudian tiba-tiba Randy menerjang Jeff lalu menjegalnya. Aku hendak menyambar telepon untuk menekan 911 ketika ku dengar Troy dan Keith berteriak,
"Jangan ada yang ikut campur atau seseorang akan mati!"
Aku kembali menengok ke jendela dan kulihat mereka berdua mengacungkan pistol di tangan. Kalau begini aku tak bisa berlari keluar mencari bantuan tanpa membahayakan keselamatan yang lain, dan lagi aku tak dapat langsung menelpon 911 karena ponselku kehabisan baterai.
Jeff tersungkur sambil terus menerima tendangan kaki Randy bertubi tubi di wajahnya, lalu dia menangkap kaki Randy untuk mencoba memelintirnya. Randy terjengkang sedangkan Jeff bangkit dan hendak berlari masuk ke rumah namun Troy menyambar kerah bajunya lalu menghempaskan Jeff membentur jendela. Aku mendengar suara kaca pecah yang membuatku segera tahu jika mereka memang sungguh-sungguh berniat membunuh Jeff.
"Randy, biadab kau!" aku berteriak. Namun dia tak mendengarku karena jeritan anak-anak disana melengking-lengking.
Aku tak boleh membuang waktu, jadi aku berderap ke kamar orang tuaku guna mencari hp yang kuharap lupa ayah bawa. Jantungku berdetak kencang di ulu hatiku, terdesak oleh keadaan jika semakin lama aku mencari bantuan, maka semakin besar kemungkinan seseorang akan terbunuh.
Akhirnya ku temukan ponsel di bawah kasur. Langsung saja kupencet nomornya.
"Dengan 911, halo?"
"Saya butuh bantuan, keadaan darurat sedang terjadi di rumah tetangga saya! Beberapa bocah mendatangi pekarangan mereka lalu memukuli seorang anak! Mereka bawa pistol, saya mohon cepat kirimkan pertolongan segera!"
"Baik Nona, jelaskan alamatnya dan akan langsung saya kirimkan petugas ke tempat anda."
Dengan sigap kuterangkan alamatku serta alamat tetangga sebelah.
"Tolong cepatlah!" desakku.
"Tenang nona, jangan tutup telep-"
DOR DOR DOR!!!
Suara letusan pistol menyeruak dari rumah sebelah. Aku terperanjat sampai sampai ponselku terlempar jatuh ke lantai, dan mati. Aku merangsek ke jendela kamar untuk melihat apa yang terjadi. Baru saja aku melongokan kepala keluar dari jendela, suara api menyembur terdengar di susul erangan memekik...
Jika aku menemukannya, akan kubuat Jeff mengerang seperti itu sekali lagi. Satu-satunya yang bisa disamakan dengan erangannya itu adalah suara dari binatang sekarat.
Saat itu aku masih merasakan kengerian. Namun sekarang suara-suara tersebut layaknya alunan musik di telingaku dan tak ada lagi irama yang begitu ingin aku nikmati kecuali suara jeritan Jeff.
Aku menyaksikan nyala api menjilat jilat dari dalam rumah seolah olah naga mengamuk di sana. Aku bergegas ke lantai bawah secepat mungkin, mengambil tabung pemadam api dari dapur lalu menyongsong keluar. Sambil berlari ku coba membuka segelnya supaya bisa segera digunakan. Beruntung sekali pintu depan rumah terbuka lebar sehingga aku bisa menerobos ke dalam, namun saat aku mendapati sosok Jeff, aku langsung membeku oleh kengerian.
Jeff menggelepar-gelepar di dasar tangga, terbungkus nyala api, dikelilingi oleh para orang dewasa yang berusaha memadamkan api yang menyelubungi sekujur tubuhnya. Dan di tengah huru-hara itu aku dapat sedikit melihat kondisi kulitnya. Sebagian terlihat merah muda, sebagian tampak gosong, namun kebanyakan tertutup warna merah menyala. Di suguhi pemandangan semacam itu, aku tak sanggup menahan jeritanku hingga akupun jatuh pingsan. Hal terakhir yang ku ingat adalah beberapa orang dewasa berlari ke arahku. Aku tak tahu, entah mereka hendak menolongku atau ingin mengambil pemadam api yang kubawa.
Ketika aku siuman, aku terbaring di ranjang rumah sakit, mengenakan gaun yang biasa dipakai oleh pasien. Beberapa menit kemudian, seorang perawat muncul. Rambutnya pirang, tergelung di dalam topi suster di kepalanya. Dia tampak enggan berada di sana. Aku bertanya apa yang terjadi.
"Yang saya tahu, kamu dibawa kemari bersama beberapa anak lain karena katanya kamu berlari lalu terjatuh dan membenturkan kepalamu ke tabung pemadam api yang kau tenteng." jawabnya, tampak terusik.
"Pemadam api?" aku bangkit duduk untuk meraba kepalaku. Terasa bengkak sebesar buah jeruk di tengkorakku yang terbalut perban. Kemudian aku teringat akan Jeff.
"Lalu gimana dengan anak lain yang dibawa kesini bareng aku? Bocah yang terbakar itu, apa dia tertolong?"
Suster itu mendegus,
"Dengar, ada dua anak laki-laki, mereka sama-sama terluka bakar, dan jangan berharap saya akan mengijinkan kamu untuk menengoknya sekarang, meskipun dia itu pacar kamu."
Sontak terasa suhu panas menjalari seluruh wajahku.
"Dia bukan pacarku! aku cuman khawatir padanya! Jika kau menyaksikan seseorang terbakar hidup-hidup di depan kedua matamu, tidakkah kau merasakan perasaan yang sama?!"
Ku coba meredam gejolak dalam nada suaraku, namun getaran ini membuatku terdengar seperti sedang berbohong.
"Bukan urusan saya. Omong-omong, orang tuamu datang, kamu mau menemui mereka?" tanya suster itu.
"Ya tentu saja!" apapun supaya dia segera pergi menjauh dariku.
Orang tuaku masuk dan akhirnya suster itu meninggalkan ruangan. Mereka bertanya apa yang terjadi. Akupun menceritakan seutuhnya. Tentang perkelahian, catatan, semuanya.
"Aku juga sudah menduga kalau Randy itu anak yang tidak baik!" ibuku menanggapi.
"Jadi apa ibu tahu sesuatu tentang keadaan Jeff?," tanyaku.
"Tidak sama sekali," jawab ayahku, "Kami datang kemari sesegera mungkin setelah mendengar kamu mengalami masalah."
"Tapi siapa yang memberitahu ayah?" tanyaku.
Seingatku tak seorangpun di pesta itu yang mengenali keluarga kami.
"Rumah sakit yang menelepon," sahut ibuku.
"Yah, benar juga." Meskipun bagiku tentu saja sama sekali tak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengenaliku sedangkan saat itu aku tak membawa identitas apapun.
Aku berpaling ke ambang pintu lalu melihat seorang pria dan wanita berdiri di sana. Kedua orang tuaku ikut memandang ke arah yang kulihat.
"Permisi, apakah ini kamar Nona Jane Arkensaw?," tanya si wanita.
"Benar," jawab ibuku. "Anda siapa ya?"
"Saya Margret dan ini Peter, suami saya," mengisyaratkan keberadaan pria disampingnya.
"Kami orang tua Jeff."
Aku bangkit dari ranjang.
"Saya Isabelle, ini suami saya, Greg, lalu ini Jane, putri kami." Ibu menunjuk ke arahku.
"Jadi kamu gadis yang berlari sambil membawa pemadam api itu," kata Margret.
"Iya," jawabku malu-malu. "Apa putra anda baik-baik saja?"
"Dia baru saja selesai menjalani operasi beberapa jam yang lalu. Kata dokter dia akan baik-baik saja."
Aku merasa lega mendengar berita itu, "Syukurlah." Kataku.
"Dengarkan saya, saya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat hari pertama Liu dan Jeff berangkat sekolah..."
Ku ceritakan semua yang ku lihat tentang Randy serta anggota gengnya pada orang tua Jeff.
"Kami tidak menyangka hal semacam ini menimpa Jeff." Kata Peter.
"Saya bersedia menjadi saksi kalau Liu tak pernah menyakiti siapapun, juga tentang Jeff yang memukul Randy serta kawanannya karena untuk membela diri."
"Tidak perlu," kata Margret, "Liu sudah dibebaskan dari penjara setelah kejadian yang menimpa anak-anak berandal itu."
"Itu kabar yang bagus," tanggapku.
"Sebenarnya kami hanya mampir untuk berterimakasih karena Jane sudah berusaha menolong putra kami. Sungguh melegakan melihat masih adanya remaja penuh keperdulian dari generasi kamu sekarang ini."
Wajahku merona. "Saya hanya melakukan sesuatu yang akan dilakukan setiap orang jika berada dalam kondisi semacam itu." Aku menunduk, "Saya bukanlah pahlawan."
"Tidak benar!" sahut Margret. "Hal yang bisa kami perbuat untuk membalas budi adalah mengundang kamu dan keluargamu untuk makan malam setelah Jeff keluar dari rumah sakit!"
Aku memandang ke arah ayah dan ibuku.
"Kami akan merasa sangat terhormat," kata ibuku.
"Sudah diputuskan kalau begitu! Kami akan menghubungi kalian segera setelah Jeff keluar dari rumah sakit!"
Kami pun saling berpamitan dan mereka pergi.
Dua hari setelahnya, aku sudah di ijinkan pulang. Selama itu aku tidak berhubungan dengan Jeff dan keluarganya, tapi kudengar Liu sudah terbebas dan keadaan Jeff mulai pulih. Saat aku telah masuk kembali ke sekolah, aku menjadi pusat perhatian, sedikit banyak karena akulah satu-satunya anak yang menyaksikan kejadian di pesta itu. Namun mereka yang kuberitahu hanya teman-teman terdekatku yaitu ; Dani, Marcy juga Erica. Aku bingung bagaimana harus menjelaskan pada mereka, jadi aku ceritakan saja apa yang ku lihat.
"Sepertinya Jeff harus menerima konsekuensi dari perbuataanya." kata Dani, dia berambut hitam berkilau, dengan sepasang bola mata biru safir. Dia yang paling teliti di geng kami.
"Yah paling tidak dia melawan balik, aku dengar dia juga yang menyebabkan para idiot itu masuk rumah sakit bersamanya," Erica terkekeh. Dia selalu berdandan seolah berasal dari tahun 80an atau semacamnya. Memakai kaos kaki pelangi panjang sampai lutut, dengan tatanan rambut disesuaikan dan selalu membawa tas sejenis ransel.
"Dia juga udah bikin Jane dilarikan ke rumah sakit, jangan-jangan Jane ikut-ikutan ngeroyokin saat itu." Marcy terbahak. Dia yang tampak paling kegadis gadis-an dalam kelompok kecil kami. Rambut pirang, mata cokelat, dan hampir setiap kami lihat, dia selalu mengenakan sesuatu berwarna pink. Entah bajunya, atau kalung di lehernya, juga dia adalah ratunya tukang dramatisir terparah yang pernah kutemui. Sering sekali melebih lebihkan fakta hingga terlewat jauh dari kenyataan sebenarnya.
"Sudah kubilang kan, aku pergi ke sana untuk mencoba nolongin Jeff karena kayanya ada sesuatu yang nggak beres," tegasku. Aku sendiri adalah 'Jane yang biasa-biasa saja', berambut cokelat, mata hijau, bijaksana secara tidak terlalu luar biasa.
"Atau mungkin... kau ingin menemui cintamu untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi." Tuduh Marcy sambil mendramatisir nada bicaranya.
Aku menatapnya dengan mata melotot selebar piring.
"Ap... Apa??"
"Kau nggak bisa mengelak Jane Arkensaw! Kau naksir sama Jeff kan!"
Setiap sel darah di tubuhku bermigrasi ke wajah saat dia mengatakan itu.
"Apa?! Enggak! Aku cuma bermaksud buat nolongin dia, itu aja!"
"Pembohong! Aku pernah lihat kau naruh catatan di mejanya! Apaan tuh? Surat cintamu buat dia ya?"
"Bukan! Bukan kaya gitu! Aku cum-"
"Jadi kamu ngaku kalau kamu memang udah menyurati Jeff ya kan!"
"Apa maksudmu?"
"Tadi aku cuma nebak-nebak Jane," dia memamerkan tatapan nakal lalu diam dan menunggu responku.
Teman-teman yang lain mulai mentertawaiku.
"Jane itu tadi cuma becanda! Aku ngga sungguhan kok!" gelak Marcy.
"Wajahmu lebih merah dari tomat tuh!" ejek Erica.
"Aku benci kalian!" gerutuku.
"Ah, jangan terlalu seriuslah!" Dani merangkul pundakku. "Ayo deh, kita masuk ke kelas."
Seminggu pun berlalu, semuanya berjalan normal. Aku lihat Liu bahkan mendapat kawan-kawan baru. Segalanya biasa saja dan tak ada yang menghebohkan.
Namun suatu hari Liu menghampiriku untuk berbicara soal Jeff.
"Hai, kamu Jane kan?"
Aku berpaling dan menoleh, ternyata Liu. "Ya, kamu pasti Liu? saudaranya Jeff?"
"Yeah." Dia tampak agak kikuk, begitupun denganku.
"Gini nih, orang tuaku minta aku memberitahumu kalau beberapa hari lagi perbannya Jeff dibuka, jadi kami akan segera nelpon keluargamu untuk acara makan malam kita."
"Oke, baiklah, thanks." Jawabku.
Dia hendak melangkah pergi ketika aku berkata,
"Hey dengar, apa yang kamu lakuin buat Jeff... sangat mengesankan."
"Thanks. Aku denger kamu juga nolongin saudaraku pake pemadam api. Itu keren banget."
"Apa iya? terimakasih deh, kalau gitu sampai ketemu lagi."
"Oke, sampai jumpa ya."
Aku sedang melihatnya berjalan menjauh namun tiba-tiba terdengar bisikan dari sampingku,
"Hayo, lagi nyeleweng nih ceritanya?"
"Apaan sih!" aku menengok, dan terkejut. Ternyata marcy.
"Sama saudara kandungnya Jeff pula!" dia sok bermimik kaget.
"Diamlah!" semburku. Kemudian aku memutar kepala untuk memastikan Liu tak mendengar. Dia tidak dengar.
"Sudah ayo masuk ke kelas saja," kataku.
Dua hari kemudian, telepon rumah kami berdering. Ibuku menjawabnya. Beberapa menitan setelahnya, ia mengakhiri percakapan lalu memberitahuku :
"Hari ini Jeff pulang dari rumah sakit, Jane."
Aku mendongak kearahnya, dan menjawab,
"Itu bagus sekali!"
"Kelihatannya untuk beberapa hari ini, kita bisa makan malam gratis nih." Ibuku cekikikan.
Setelah beberapa jam, ku dengar suara mobil memasuki halaman rumah seberang jalan. Aku menengok ke jendela dan melihat mobil keluarga Jeff terparkir di depan rumahnya.
"Akhirnya kau pulang Jeff," batinku dalam hati. Aku terus mengawasi mereka guna menjawab rasa penasaranku tentang bagaimana rupa Jeff sekarang. Ya Tuhan, sungguh perbuatan yang salah.
******
Part. 02
Ayahnya keluar duluan. Ibunya menyusul. Kemudian Liu. Namun apa yang kubayangkan tentang rupa Jeff tidak jauh-jauh dari apa yang ku saksikan. Rambutnya gondrong hitam sampai bahu, kulitnya putih bersisik, dan senyumannya... sama seperti senyumnya dulu di kelas setelah dia memukuli Randy, Keith dan Troy.
Tau-tau dia sudah memandang terpaku ke arahku. Tepat ke mataku, aku dapat merasakan tatapan membakarnya yang tak manusiawi dan sadistis merasuk ke dalam sanubariku. Bahkan sampai sekarang ketika aku mengetik kisah ini, aku masih bergidik jika mengingatnya. Terasa seperti berjam-jam saat dia menatapku hingga akhirnya dia pun berpaling. Aku melihatnya berjalan memasuki pintu didampingi kedua orang tuanya. Aku hampir tak bernafas hingga pintu di belakang mereka berayun menutup. Orang tuaku datang ke ruang tengah, lalu menanyaiku apakah ada yang tidak beres.
Satu-satunya jawaban keluar dari mulutku adalah jeritan kencang, dan panjang, setelahnya aku tak sadarkan diri.
Ketika aku bangun, di luar sudah gelap. Orang tuaku tak ada di kamar. Keadaan rumah sunyi senyap. Aku bangkit berdiri lalu turun ke lantai bawah. Aku mengenakan gaun tidur yang sebelum aku pingsan belum aku pakai. Aku berjalan ke dapur. lampunya menyala, yang mana tidak biasa karena orang tuaku selalu berpesan untuk mematikan lampu saat akan meninggalkan ruangan.
Terdapat secarik catatan di atas meja.
Aku mengambilnya.
Pesan yang tercoret acak-acakan pada kertas itu berbunyi :
"Apa kau tidak datang untuk makan malam? teman-temanmu ada disini juga loh."
Tubuhku mulai bergetar hebat. Ku jatuhkan kertas di tanganku. Aku melangkah menuju jendela ruang tengah untuk melihat keluar. Lampu-lampu di rumah Jeff menyala. Aku tahu aku harus pergi ke sana, tapi ketakutan memenuhi pikiranku. Aku menggeleng cepat dan kembali memandang ke luar. Di sana, kulihat Jeff sedang bersandar di jendela rumahnya sambil menenteng pisau di tangan, mengetuk-ngetukan ujung pisaunya ke kaca jendela.
Tuk, tuk, tuk
Dia masih tersenyum.
Tuk, tuk, tuk
Aku beringsut mundur menjauhi jendela, tanpa mengalihkan kedua mataku darinya. Kemudian aku langsung berbalik lari ke dapur. Sesaat setelahnya, aku mengintip dari dalam dapur untuk melihat jendelanya, semua yang tampak adalah warna merah melumuri kaca.
Aku meneliti ke sekeliling dapur. Semuanya masih tetap berada di tempatnya, tak terkecuali pisau-pisau. Ku sambar satu dan kugenggam erat pegangannya. Kemudian aku meraih telepon untuk mencoba menghubungi 911. Namun salurannya terputus. Aku tak tahu dimana ponsel ayah lagipula apa benda itu juga sudah diperbaiki. Aku tak sudi pergi mencari ke lantai atas. Aku tak mau ditikam dari belakang saat aku sibuk mencari, dan jika aku minta bantuan tetangga, bisa-bisa Jeff melukai salah satu tawanannya. Jadi hanya satu pilihan tersisa. Pergi ke sana, dan melawan Jeff seorang diri.
Ku cengkeram gagang pisau lebih erat lalu melangkah ke pintu depan, mengenakan sepatu dan berjalan mendekati ambang pintu. Tanganku tak ingin melepas pegangan pintu saat aku hendak keluar. Tapi aku meneguhkan niatku. Kulepaskan kenob pintu rumahku kemudian berjalan menyeberang menuju rumah Jeff.
Setelah aku semakin dekat, aku memperlambat langkah. Lututku mulai gemetaran, keringat membasahi telapak tangan, nafasku memburu dan tersendat sendat, sebelum kusadari, aku sudah berdiri kaku di ambang pintu rumah jeff, terengah engah layaknya seekor anjing. Aku bergerak maju, menyentuh kenob, memejamkan mataku lalu menyentak pintunya membuka.
Aku mematung di sana, sambil menenteng pisau di tangan kanan, dan mencengkeram gagang pintu di tangan kiri, terlalu ngeri untuk membuka mata. Hingga ku dengar sebuah suara berkata,
"Akhirnya sampai juga. Aku senang akan nyali-mu teman."
Sontak mataku terbuka. Dan aku menjerit.
Kedua mata Jeff melotot tak berkedip, senyumnya merah. Dia telah mengukir senyum itu di wajahnya sendiri! Bajunya berlumuran darah, tak sanggup lagi, akupun pingsan.
Ketika aku sadar, ku dapati diriku berada di meja makan. Pisauku hilang, dan saat aku mengangkat kepala, kulihat beberapa orang terduduk mengelilingi meja, mereka orang tuaku, orang tua Jeff, saudaranya Liu, serta teman-temanku. Dan mereka semua sudah mati. Dengan bibir mereka sobek membentuk seringai, juga dada mereka terluka merah menganga. Aromanya sugguh memuakkan, sungguh tak dapat digambarkan... tak seperti apapun yang pernah ku cium sebelumnya. Aroma ini serupa dengan aroma kematian itu sendiri.
Aku mencoba berteriak, namun mulutku terbebat dan tubuhku terikat ke kursi. Aku memandang tak percaya ke sekeliling. Air mata mulai berjatuhan dari wajahku, aku tak tahan melihat pemandangan dan bau dari mayat-mayat di hadapanku.
"Lihat, siapa yang udah bangun."
Aku menoleh ke samping. Jeff berdiri di sana. Aku langsung menjerit namun teredam oleh bebatan di mulutku. Tau-tau Jeff sudah berada dekat sekali di sebelahku, dengan bilah pisau yang menempel ke leherku.
"Sshhsstt.. ssshss, sshs, shssst. Nggak sopan meneriaki teman seperti itu," dia mulai menggoreskan pisaunya ke permukaan wajahku. Yang meninggalkan garis transparan membentuk pola senyum menyeringai mulai dari ujung bibir sampai ke pipiku. Tubuhku bergetar hebat saat dia melakukannya. Ketika aku memalingkan wajah, dia langsung menjambak rambutku dan memaksakan wajahku menghadap ke arah pemandangan di seberang meja.
"Duh, duh, jangan kurang ajar, kau menghina semua tamu undangan dengan tidak mau memandang wajah cantik mereka."
Aku terpaksa kembali melihat, mengamati setiap ukiran senyuman di wajah-wajah mereka, bahkan ada beberapa yang luka tusukan di dadanya masih mengalirkan darah segar. Air mata panas kembali membanjiri wajahku, hingga aku menangis sesenggukan.
"Oww, ada apa?" Jeff mengiba. "Kamu sedih karena nggak terlihat secantik mereka?"
Aku memelototinya, mencoba mencerna apa yang dia katakan. Namun aku tak tahan melihat wajah Jeff, akupun membuang muka ke arah meja.
"Jangan iri, aku juga akan membuatmu tampak cantik. Bagaimana?" dia mengiris bebatan yang mengganjal mulutku dengan pisaunya.
Aku meludahkan potongan bebatan itu, kemudian menoleh untuk memandang lurus kedua mata Jeff, berusaha untuk mempertahankan tatapannya. Dia memiringkan kepala ke samping dan menatap balik padaku. Aku memejamkan mata lalu berpaling muka. Dengan suara kelam aku berkata,
"Mati saja kau," kemudian aku kembali menatap lurus padanya, "Dasar Joker gadungan!"
Dia tertawa terbahak-bahak di depan wajahku, membuat tampangnya jadi lebih memuakkan dari pada saat dia hanya tersenyum.
"Aku nggak menyangka kalau kamu bisa selucu ini."
Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku tak sudi dan membuang muka, aku dapat merasakan panas nafasnya terhembus di kulitku.
"Sesama teman harus saling tolong menolong kan? Nah, karena itu aku akan melakukan sesuatu untukmu."
Dia melepaskan jambakannya dari rambutku. Ketika aku menoleh, kulihat dia berjalan keluar dari ruangan. Aku menengok sekali lagi ke seberang meja, meresapi pemandangan itu. Air mataku mulai menitik lagi saat teringat akan kenangan tentang keluargaku serta teman-temanku yang baru beberapa jam lalu masih hidup. Aku masih tersedu sedan saat Jeff kembali.
"Jangan nangis," katanya, "Semua akan segera berakhir."
Aku menoleh dan kulihat barang bawaanya, sejerigen pelumas dan sekaleng bensin. Mataku mendelik ke arah jeff.
"Aku nggak punya alkohol, jadi inilah yang akan kulakukan."
Dia menyiramkan pelumas dan bensin ke sekujur tubuhku.
"Sebaiknya kita bergegas Jane. Soalnya aku udah nelpon pemadam kebakaran."
Kemudian dia mengeluarkan pemantik api.
Menyalakannya.
Lalau dilemparnya pemantik itu ke arahku.
Segera saja setelah percikan api menyentuhku, api langsung berkobar melalap tubuhku. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Rasa sakit itu sungguh tak tertahankan. Aku dapat merasakan dagingku meleleh, hawa panas menyelubungi setiap pori-pori kulitku. Aliran darah dalam pembuluhku mulai mendidih, tulang-tulangku berkeretak dan menguapkan bau hangus. Sesaat sebelum aku roboh, aku mendengar suara tawa Jeff,
"Sampai jumpa lagi, kawan! Ku harap kau jadi secantik aku! AHA HA HA HA!"
Lalu semuanya gelap.
****************************************
Ketika aku terbangun, aku berbaring di ranjang rumah sakit, terbalut perban dari ujung kepala sampai jempol kaki. Semuanya terasa berputar, dan sakit sekali saat aku berkedip bahkan bernafas.
Aku melihat sekelilingku yang kosong. Aku berdeham nyaring sebab mulutku tertutup perban. Sekujur tubuhku perih.
Beberapa menit kemudian, seorang suster datang.
"Jane, kamu bisa mendengar suara saya?"
Aku memandangnya. Sekitarku terasa semakin berputar.
"Jane, saya perawatmu, Jackie, saya tak tahu bagaimana harus memberitahukan ini tapi, keluargamu tewas dalam kebakaran. Saya turut berduka cita."
Air mata kembali menuruni pipiku. Aku terisak.
"Jangan sayang, jangan menangis. Itu akan membuat kamu sulit bernafas."
Aku tak dapat berhenti.
"Jane akan saya berikan obat penenang untukmu."
Aku merasakan sesuatu meresapi aliran darahku, lalu akupun jatuh tertidur.
Ketika aku tersadar lagi, aku tak mampu bergerak leluasa dan perbanku tak sebanyak saat aku pertama kali siuman. Aku melihat sekeliling, terdapat banyak buket bunga di dalam ruanganku. Beberapa masih segar, yang lainnya sudah layu. Aku berusaha bangun tapi seorang suster datang lalu kembali membaringkanku.
Aku mencoba berbicara. Suaraku parau dan serak.
"Berapa, berapa lama aku tertidur?"
"Hampir 2 minggu. Kamu dikondisikan untuk tidur panjang guna membantu tubuhmu memulihkan diri. Saya suster yang sama yang kamu lihat ketika siuman pertama kali."
"Berikan aku cermin," pintaku.
"Jane, saya rasa itu tidak ba-"
"AMBILKAN AKU CERMIN ! "
Kurasakan tanganku di susupi gagang cermin. Ketika kulihat pantulan wajahku, aku menjatuhkan cermin itu ke lantai. Hancurnya cermin itu menjadi berkeping-keping tak sebanding dengan kehancuranku setelah melihat kenyataan yang ada. Kulitku bersisik dan kecoklatan, tak sehelai rambutpun tersisa di kepalaku, serta kulit dimataku berkantung-kantung. Aku terlihat buruk rupa hampir seperti Jeff.
Semua kenangan meluapiku bak terjangan tsunami. Aku menangis meraung raung. Suster itu memeluku namun tak banyak membantu. Meskipun aku menangis begitu keras, aku terkejut mendapati bahwa tak seorangpun datang untuk menghiburku. Aku kini sebatang kara. Setelah akhirnya aku berhenti menangis, aku hampir tak sanggup bicara.
Tiba-tiba seseorang mengetuk di pintu.
"Permisi, saya mengantar kiriman untuk 'Nona Arkensaw'?"
"Terima kasih," Jackie berdiri lalu menerima paketnya. Aku tak ingin si pria pengantar kiriman melihat rupaku, jadi aku memalingkan wajah ke tembok.
"Seseorang sungguhlah perhatian padamu Jane. Tampaknya orang ini juga yang telah mengirimi semua buket-buket bunga ke ruanganmu, ini juga ada paketnya."
Aku menengok. Jackie sedang menenteng bungkusan berwarna merah muda yang terikat benang cokelat. Aku meraih menerima paket itu. Segera benda itu ada di tanganku, aku merasakan sesuatu yang tidak beres.
"Maaf, tapi bolehkah aku minta sesuatu untuk kumakan?" pintaku semanis mungkin.
"Tentu saja, akan kuambilkan makanan untukmu." Jackie tersenyum, kemudian melenggang pergi.
Tanganku bergetar saat kucoba menyentuh benangnya dan menariknya. Kertas pembungkus itu segera terkuak membuka dan didalamnya ku lihat sesuatu yang membuat darahku beku seperti es. Sebuah topeng putih dengan lingkaran hitam di sekeliling lubang mata juga sebuah corak berbentuk senyuman hitam di bagian mulut. Dilengkapi lapisan hitam tembus pandang menutupi lubang mata sehingga walaupun orang lain tak dapat melihat mataku, aku tetap dapat melihat mereka. Beserta paket itu terdapat gaun panjang, yang juga berwarna hitam, dengan kerah turtle, sepasang sarung tangan hitam, dan rambut palsu hitam bergelombang yang anggun.
Bersama dengan semua benda-benda tersebut, terhiasi oleh sebuket bunga mawar hitam juga sebilah pisau dapur berkilau tajam.
Secarik catatan tertempel di topeng, bertuliskan :
" Jane maaf sekali aku sudah mengacau karena mencoba menjadikanmu tampak cantik. Jadi aku mengirimimu topeng supaya kau terlihat cantik hingga keadaanmu membaik. Dan kau melupakan pisaumu, aku pikir kamu pasti menginginkannya kembali."
'-Jeff '
Saat suster Jackie muncul, kiriman Jeff kusembunyikan di bawah kasur. Aku hanya memberitahu kalau isinya hanyalah buket bunga itu. Suster Jackie terlihat jijik akan bunga-bunga tersebut jadi dia membuangnya. Aku berterimakasih untuk itu.
Saat malam tiba, ketika semua orang telah terlelap atau sudah pulang, aku menyelinap keluar. Satu-satunya yang harus kukenakan adalah gaun itu. Jadi aku memakainya, lalu di luar lorong aku temukan sepasang sepatu yang mungkin terlupakan oleh seorang suster ceroboh. Ku pakai rambut palsuku agar aku tampak tak terlalu mencolok.
Aku tak tahu ke arah mana aku menuju, aku tak perduli. Ketika akhirnya aku berhenti melangkah, kudapati diriku berada di depan sebuah area pemakaman. Aku memasukinya, dan menemukan 2 buah batu nisan berdampingan. Isabelle Arkensaw dan Gregory Arkensaw. Aku berlutut di hadapan kedua nisan mereka untuk sekali lagi meratapi nasib. Setelah aku bangkit kembali, fajar hampir menyingsing, begitupun dengan babak baru dalam kehidupanku. Kukeluarkan topeng, lalu ku kenakan.
Kemudian ku ambil pisauku dan ku genggam erat seperti saat pertama kali aku menggenggamnya. Aku berbalik menghadap ke cakrawala, pada hari itu ku ikrarkan sumpahku untuk membalas dendam pada Jeff the Killer dan menubuatkan julukanku sebagai "Jane Everlasting". Karena satu-satunya hal tersisa yang kuinginkan adalah aku ingin dapat bertahan selamanya lebih dari pada kegilaan Jeff yang akan menjadi akhir dari riwayatnya.
Semenjak hari itu aku terus melacak keberadaan Jeff untuk menghabisinya.
Memburunya.
Memburunya seperti binatang, karena memang itulah dia sebenarnya.
Aku akan menemukanmu Jeff, dan aku akan membunuhmu.
Mengenai fotoku di layar hp beserta tulisan :
"Jangan pergi tidur, kau takkan bangun."
akan menjelaskan tentang apa yang ingin kuperbuat pada para calon korbannya Jeff, juga mencegah agar mereka tidak menjadi korban. Siapapun yang berkata kalau aku membunuh mereka supaya tidak dibunuh Jeff duluan adalah perkataan yang berlebihan dan memuakkan.
Jadi inilah kisahku. Kau akan menerimanya sebagai kebenaran atau sebaliknya bukanlah urusanku. Sekarang aku mohon diri, matahari hampir terbenam, dan sekali lagi perburuanku akan segera dimulai.
SC : CPI F