12/03/19

URBAN LEGEND : Tensu Metsu [ てんす めつ ]

 source:urbanlejen.wordpress

Tensu Metsu adalah urban legend tentang teror yang menghadang orang-orang yang berjalan di sekitar jalanan pegunungan. Suatu waktu seorang ibu membawa anaknya berkendara. Ketika mobil itu mogok sekitar pegunungan yang sunyi, mereka kemudian melihat penampakan yang mengerikan. Cerita ini berdasarkan cerita yang ada di Jepang.

Seminggu yang lalu, saya tengah mengemudi pulang ke rumah dan anak perempuanku bersamaku di mobil saat itu. Saya tengah tergesa-gesa, jadi saya memutuskan untuk menyusuri jalan singkat yang melalui sebuah pegunungan yang sunyi. Tiba-tiba, di tengah-tengah perjalanan, mesin mobilku mulai tersendat-sendat dan tidak lama berhenti jalan.

Ketika saya melihat telepon genggamku, tidak ada sinyal sedikit pun. Kami benar-benar terjebak, di dalamnya pegunungan. Saya tidak tahu harus berbuat apa dan langit saat itu mulai gelap. Tidak ada tempat pengisian bahan bakar dekat situ dan tidak satu pun yang tampak melintasi jalan itu.

Sudah jelas kami harus menghabiskan malam ini di dalam mobil saja dan berharap ada yang melintas, berhenti dan memberi kami tumpangan. Matahari sudah tenggelam di balik gunung dan udara mulai dingin. Sebuah perasaan ngeri di balik heningnya suasana pegunungan di malam hari muncul dan yang terdengar hanyalah desiran angin yang menembus pepohonan.

Putriku sudah tidur di kursi penumpangnya, saya pun menutup mataku dan mulai terlelap ketika saya mendengar suara yang lainnya.

Suara itu seperti suara seseorang.

Saya tidak bisa mengatakan dengan jelas apa itu. Kedengarannya seperti ocehan.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Awalnya, saya kira ini mimpi, tapi suara itu makin dekat dan kian mendekat. Saya membuka mataku dan melihat di sekelilingku.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Sesosok gelap lalu muncul dan mendekati mobil. Yang ku lihat hanyalah sebuah bayangan. Tampak seperti seorang pria yang kelihatannya tengah menyeret-nyeret kakinya.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tiba-tiba, suara itu berhenti. Berganti dengan ngerinya keheningan malam yang kembali.

Tidak lama, saya melihat dengan terperanjat ketakutan. Di samping itu, saya harus menghentikan diriku untuk tidak berteriak sekencang mungkin.

Berdiri di jendela penumpang sosok paling menyeramkan yang pernah ku lihat. Seperti seorang pria, tapi wajahnya sangat buruk dengan garis-garis wajah yang menakutkan. Penampakannya benar-benar membuatku tak bisa berkata-kata. Tampak seperti tiap bagian dari kulit wajahnya terkelupas dan yang tersisa hanya darah dan urat-uratnya.

Dia tidak punya hidung. Tidak punya telinga, sorot matanya tajam menembus kaca jendela itu.

Saya lalu memutar kunci kontak mobilku dan mencoba menyalakannya, tapi tidak ada gunanya. Mobil itu hanya bergetar sebentar dan mati.

Di luar jendela itu, pria yang mengerikan itu mengeluarkan sebilah pisau. Dia mulai menggumam ulang-ulang sendirian.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tiap kali dia mengatakan itu, dia menusuk jendela itu dengan pisaunya – memukul dengan keras dan semakin beringas tiap kalinya. Saya terus mencoba menyalakan mesin mobilku. Airmata sudah dari tadi mengalir di wajahku. Saya benar-benar tak berdaya untuk keluar dari sana.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tiba-tiba, hantaman yang keras terdengar dari jendela penumpang. Kacanya pecah – menyebar ke seluruh tubuh putriku. Saya berteriak semakin histeris. Tangan pria itu menembus jendela dan masih menggenggam pisau tajamnya, sembari mengacungkannya ke arahku.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tidak lama dari situ, ketika saya memutar sekali lagi kunci mobilku, entah bagaimana mesin itu berderung hidup. Sontak saya menginjak pedal gasnya dan membawa mobil itu lari dari cengkeram makhluk menyeramkan itu. Saya terus memacunya di tengah jalanan sempit pegunungan, meninggalkan pria itu di belakang.

Saya tidak tahu kemana kami pergi, saya hanya terus mengemudi dan memacu mobilku, tanpa pernah memandang ke belakang lagi.

Ketika itulah saya menyadari bahwa anak perempuan tidak pernah bergerak. Ketika aku berhenti untuk melihatnya, saya lalu menemukan dirinya bergumam sendiri.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Seketika bulu kudukku berdiri.

Wajah putriku memucat dan dia gemetar. Saya mengguncang tubuhnya, berusaha menyadarkannya, tapi ketika dia membuka matanya, yang ada dia sungguh membuatku ketakutan.

Matanya berputar ke belakang – saya hanya melihat bola putih matanya. Dia mengencangkan rahangnya dan mulai mengeluarkan busa dari mulutnya. Wajahnya berubah. Dia bahkan tidak terlihat seperti putriku lagi. Dia hanya terus mengerang, lagi dan lagi.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Saya melanjutkan memacu mobilku dan akhirnya sampai di riuhnya perkotaan. Kami langsung ke gereja dan saya memarkirkan mobilku di sampingnya. Memapah tubuh anakku, saya kemudian membawanya masuk ke gereja dan berteriak meminta tolong.

Seorang pendeta tua muncul di depan pintunya dan menanyakan apa yang terjadi. Saya menceritakan seluruh yang ku temui di jalan pegunungan. Dia memandang putriku, lalu mengambilnya dari lenganku dan membaringkannya di altar gereja.

Saya hanya melihatnya, sambil menangis dan gemetar karena ketakutan, pendeta itu mengambil sebuah rosari dan menggengam salib kayu di hadapan putriku. Tidak lama kemudian, dia mulai membaca doa-doa dalam bahasa Latin.

Pendeta itu mengijinkan kami untuk tinggal di sana malam itu. Dia membawa putriku di kamar yang lain dan menjaganya semalam penuh, menggenggam tangannya, membalurinya dengan air suci seraya membacakan ulang doa-doa untuknya. Dia juga menaruh sebuah alkitab di dadanya dan sebuah scapula di lehernya.

Dia memberitahu bahwa putriku tengah dirasuki oleh iblis dan dia harus melakukan ritual eksorsis untuknya. Dia bilang jika itu tidak dilakukan dan putriku dibiarkan terus begitu hingga 49 hari, dia tidak akan pernah sembuh lagi. Dia akan sepenuhnya kehilangan kesadarannya.

Pendeta itu menyuruhku untuk mempercayakan anak perempuanku padanya jadi dia bisa melakukan ritual yang seharusnya. Dia juga bilang kalau saya tinggal, ada kemungkinan iblis itu juga bisa beralih merasukiku.

Sudah seminggu sejak anak perempuanku mengalami hal itu dan pendeta itu masih merawatnya. Saya mengunjunginya tiap hari. Ini membuatku merasa dia tidak seperti putriku lagi. Dia hanya menyeringai dan menatapku dengan pandangan mengerikan.

Saya benar-benar ingin putriku kembali.

Jika kau nanti menemukan dirimu tengah berkendara sendiri di pegunungan, apapun itu, jangan pernah berhenti …