Sains saat ini tengah beradaptasi dengan perubahan paradigma yang dahulu pernah terjadi
Fisika pada khususnya setelah Max Planck menemukan teori satuan energi atom atau yang disebut quanta dan fisikawan yang tergabung dalam Interpretasi Kopenhagen memandang realitas tidak lagi tunggal.
Hukum yang berlaku pada realitas tempat kita tinggal (Lebenswelt) berbeda dengan realitas kuantum. Ada garis pemisah antara teori sains dengan realitas.
Dalam perkembangan sains, saat ini fisika kuantum tengah menjadi perhatian dan perdebatan utama. Tidak hanya para ilmuan, tetapi masyarakat pada umumnya pun memperdebatkan hal ini.
Fisika kuantum dengan sangat kompleksnya, berusaha memberikan penjelasan soal realitas terkecil yang kita kenal saat ini.
Lewat percobaan yang tak kalah rumitnya, upaya itu akhirnya banyak mengubah pandangan kita tentang dunia.
Tetapi perubahan yang terjadi bukan sebuah kelanjutan dari masa lalu semata, tetapi lebih seperti terobosan yang menghancurkan tradisi lama.Asal mula dari teori kuantum berhubungan dengan fenomena yang bukan bagian dari fisika atomik.
Semua materi jika dipanaskan akan mulai bersinar, menjadi berwarna merah atau putih dalam kondisi temperatur lebih tinggi.
Warna yang muncul tidak tergantung dari jenis permukaan material, karena dalam fisika black body akan memancarkan cahaya karena temperatur.
Percobaan untuk menjelaskan hal ini sempat mengalami kegagalan karena fisika pada saai itu masih menganggap hal ini merupakan bagian dari radiasi dan panas.
Saat Max Planck melakukan percobaan ini, ia berpendapat bahwa itu bukan radiasi dari black body tetapi merupakan radiasi atom (oskilasi).
Planck juga menemukan bahwa radiasi atom selalu mengeluarkan satuan energi tetap atau disebuat quanta. Hal ini sangat menggemparkan dan berbeda dengan pemahaman alam semesta menurut fisika klasik.
Dibutuhkan waktu lima tahun sampai langkah selanjutnya dapat dilakukan.Einstein muda, seorang revolusioner jenius dalam fisika, mengamini hal ini.
Dengan percobaan fotoelektriknya, ia menjelaskan pancaran elektron dari metal yang disinari cahaya. Percobaan ini memperlihatkan bahwa energi yang terpancar dari elektron tidak bergantung pada intensitas cahaya, tetapi pada warnanya, atau lebih tepat dari frekuensi cahaya tersebut.
Disini Einstein membuktikan hipotesis Planck dengan berpendapat bahwa cahaya terdiri dari satuan energi atomik berupa quanta yang tetap dan melaju melewati ruang.Sejak saat itu, muncul paradigma baru dalam fisika.
Dipelopori oleh penemuan Max Planck, beberapa ilmuan besar lainnya membentuk kelompok ilmiah
Copenhagen Interpretation (Interpretasi Kopenhagen). Kelompok ini mempercayai bahwa dalam realitas kuantum, pemahaman fisika klasik yang determinis, konstan dan gradual tidak lagi berlaku.
***
Pada tahun 1927 sekelompok fisikawan pendukung Planck menamakan dirinya sebagai “Copenhagen Interpretation”. Banyaknya paradoks yang terjadi dalam dunia kuantum menyebabkan kelompok ini terbentuk dan mencoba untuk mendiskusikan segala permasalahan yang terjadi seputar fisika kuantum dan fisika klasik yang memiliki sudut pandang berbeda terhadap realitas fisik.
Satu bentuk paradoks yang menyebabkan para fisikawan harus berkumpul mendiskusikan problem fisika setelah temuan teori kuantum adalah: pengunaan bahasa oprasional fisika klasik untuk menjelaskan teori kuantum.
Penjelasan terhadap dunia kuantum dengan fisika klasik menyebabkan segala pemahaman keadaan kuantum menjadi rumit dan paradoks.
Pada titik tersebut kelompok interpretasi kopenhagen mencoba membahasakan kembali fisika dengan bahasa fisika kuantum, dan menolak keadaan objektif dalam keaadaan kuantum.
Ketidaktetapan dalam fisika klasik dianggap sebagai sebuah kesalahan. Tetapi fisika kuantum menganggap segala hal merupakan ketidaktetapan dan ketepatan pemahaman kita terhadap realitas tidak akan membawa kita kepada kebenaran, hanya kepada ketetapan itu sendiri.
Kemungkinan yang terjadi dalam suatu percobaan merupakan sebuah ketidaktetapan dan hal ini tidak mewakili sebuah kejadian dalam satu kurun waktu, tetapi mewakili kecendrungan terhadap suatu kejadian dan pengetahuan kita terhadap kejadian tersebut.
Kesulitan pun muncul dalam memahami interpretasi ini, pertanyaan pun muncul : lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam keadaan atomik? Fisika klasik memahami alam sebagai sebuah rantai panjang kausalitas. Perubahan yang terjadi merupakan sebab dari perubahan yang sebelumnya.
Alam mengalami perubahan secara perlahan. Tetapi dalam fisika kuantum segalanya dapat terjadi spontan. Hukum kausalitas pun kadang dilanggar.Lalu apakah realitas kuantum merupakan dunia yang tak dapat kita observasi?
Sebab kita terlanjur menanam dalam-dalam konsepsi kausalitas fisika klasik, dan itu memandu kita memahami realitas.Alam muncul sebelum manusia, dan manusia muncul sebelum ilmu alam.Bagian awal kalimat tersebut membenarkan fisika klasik, dan objektifitas dalam realitas.
Bagian akhir dari kalimat menjelaskan bahwa kita tidak dapat lepas dari paradoks yang ada dalam mekanika kuantum, karena bagaimanapun pemahaman manusia atas dunia adalah pemahaman fisika klasik. Keberadaan manusia mendahului segala konsepsi saintifik.
***
Awal abad ke 20 fisika mengalami kegoyahan besar ketika pertama kali ilmuan mengetahui bahwa atom tersusun dari partikel yang mempunyai ukuran lebih kecil lagi, yaitu Proton dan Elektron.
Setelah dikonfirmasi oleh penemuan Max Planck, realitas kuantum diakui keberadaannya. Tetapi apakah hukum fisika yang terjadi disana sama dengan yang terjadi di dunia makro?
Adakah pararelitas antara konsepsi sains dengan realitas tempat kita berada?Niels Bohr dan Werner Heisenberg berpendapat bahwa pemahaman kita terhadap realitas fisik makro berbeda sama sekali dengan realitas kuantum.
Gerakan yang dimulai oleh kedua ilmuwan inilah yang nanti disebut sebagai Interpretasi Kopenhagen.
Kelompok ini melihat fisika klasik tidak mampu untuk menjelaskan keadaan kuantum dan bahasa fisik yang selama ini kita kenal belum mengakomodir apa yang terjadi dalam dunia kuantum. Ketidakpastian (teori ketidakpastian) dalam dunia kuantum dilihat oleh Warner Heisenberg adalah sebagai sebuah keniscayaan.Keganjilan yang tak terpahami oleh ilmuwan saat itu membuat gerakan ini semakin besar.
Pada 1927 Interpretasi kopenhagen melakukan pertemuan yang akhirnya mengesahkan satu pandangan sains mewakili kelompok ini. Fisikawan besar pada saat itu seperti Max Planck, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Erwin Schrodinger dan Paul Dirac tergabung didalam kelompok ini. Einstein walau tidak tergabung dan menolak keberadaan realitas kuantum tetapi dalam eksperimennya mengamini bahwa kausalitas yang terjadi pada realitas makro berbeda dengan realitas kuantum..
Interpretasi kopenhagen muncul bukan hanya sebagai kemompok ilmiah. Gerakan mereka adalah pantulan semangat keingitahuan manusia tentang alamnya. Tetapi pada satu titik interpretasi kopenhagen juga mengakui keterbatasan manusia.
Pandangan soal keterbatasan manusia itu terlihat dari diakuinya ke-dhaif-an logika ilmiah dalam memberikan penjelasan tentang alam. Ada kesenjangan antara konsepsi logis saintifik dengan proses alam nyata tempat manusia hidup. Logika kita terbentuk dari skala ruang spasio temporal tempat kita berdiam diri, sementara realitas kuantum berada pada satu tempat lain.
Satu tempat yang amat jauh dari realitas keseharian yang kita kenal.Pada keadaan kuantum, kita tidak dapat mendapatkan data secara tepat, partikel yang diamati selalu mempunyai kecendrungan untuk tak dapat diprediksi.
Heisenberg dalam teori ketidakpastian berpendapat bahwa dalam keadaan kuantum kita hanya akan mendapatkan salah satu data secara tepat, antara momentum atau posisi dari partikel tersebut.
Ketidakpastian ini terjadi bukan karena keterbatasan teknologi atau karena kecerobohan pengamat dalam eksperimen.
Ketidakpastian lahir dari sifat asali partikel: partikel tidak memiliki momentum dan posisi tepat secara bersamaan.Prinsip ketidakpastian memiliki implikasi yang besar terhadap cara pandang kita tentang realitas. Sebagai contoh sebuah elektron mungkin pergi dari titik A menuju titik B tetapi kita tidak akan pernah tau jalan mana yang elektron tempuh. Jadi dapat dikatakan model atom yang kita kenal saat ini, elektron mengelilingi proton dengan gerak orbital merupakan hal yang (mungkin) salah.
Model tersebut mungkin dapat merepresentasikan secara logis bentuk atom, tetapi tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya.Einstein bahkan menolak keberadaan realitas kuantum.
ubahan yang terjadi di dalamnya tejadi secara perlahan, tidak dengan spontan. Maka Einstein berkesimpulan, bahwa segala hal, khususnya alam ini dapat diprediksi walaupun secara relatif.
Pandangan fisika klasik dan relativitas Einstein merupakan dua sisi koin yang berbeda. Kedua pandangan ini walau sering dibenturkan sama-sama berpendapat bahwa observasi kita terhadap realitas merupakan usaha kita untuk memahami dan “membuka” realitas. Maka atom dan partikel tetap ada secara natural tanpa kita observasi. Sedangkan pandangan Copenhagen Interpretation menolak segala bentuk objektifitas dalam realitas kuantum.
Mereka berpendapat intervensi pengamat dalam observasi menciptakan realitas kuantum tersebut, tidak bisa diabaikan.Jika eksperimen diadakan untuk mencari kecepatan elektron, maka akan tercipta realitas elekron dengan kecepatan yang terukur. Dan begitu pun jika eksperimen dilakukan untuk mencari posisi suatu elektron.
Tetapi keberadaan entitas tersebut secara natural saat tidak diobservasi tidak dapat dibuktikan ataupun disanggah.Entitas partikel penyusun atom, seperti proton atau elektron merupakan sebuah gambaran kasar pengungkapan kumpulan kemungkinan yang terjadi di dunia kuantum.
Ini adalah sebuah bentuk cara untuk menghubungkan observasi-observasi lainnya melalui mekanika formal. Tetapi realitas kuantum terletak pada observasi bukan pada elektron.
Apa yang disebut fakta pada fisika kuantum tidak lebih dari data statistik dari kemungkinan dan potensialitas yang muncul.Ilmuan saat ini walau menolak interpretasi kopenhagen, tidak dapat menyanggah, bahwa dalam perkembangan fisika saat ini mekanika kuantum merupakan sebuah realitas yang harus dihadapi. Tidak hanya dengan alat dan formulasi matematis, tetapi juga dengan pendekatan epistemologis.
Filsafat mempunyai peran yang sangat besar dalam mekanika kuantum.
Karena eksperimen yang dilakukan pada ranah kuantum harus memiliki argumen epistemologis yang dapat mendukung observasi tersebut.Argumen filosofis yang diajukan dalam mekanika kuantum, walau terdengar pesimistik, adalah pengakuan kita akan keterbatasan manusia dan bagaimana realitas tidak selalu dapat dicerna oleh rasionalitas kita. Lalu apakah kita harus meninggalkan segala bentuk objektivitas dalam sains? Tentu tidak.
Pada ranah yang sangat dekat dengan kita, yaitu mesosfer, hukum fisika klasik masih merupakan hal yang benar dan dapat digunakan. Realitas yang dapat diindrawi oleh kita dapat diprediksi dan nilai kepastian di dalamnya (determinisme) sangat besar. Tetapi saat membicarakan realitas yang terlalu jauh dari kita, seperti kuantum dan alam semesta dalam skala besar, Logika manusia (mungkin) belum dapat meraihnya. Dan semua usaha kita untuk memahaminya merupakan prediksi semata, hal yang terjadi hampir tidak dapat dipastikan.
Realitas pada tahap yang terlalu jauh selalu penuh akan paradoks dan kontradiksi. Deskripsi dan ekplanasi yang dilakukan bukan untuk memahami realitas tersebut secara utuh, tetapi lebih untuk memahami realitas teramati itu sendiri.
Sesuatu yang mau tidak mau harus sesuai dengan horison faktis tempat ilmuwan berada.Lalu kenapa bisa terjadi divergensi dalam memahami realitas? Mengapa pada ranah mesosfer segala hal masih dapat diprediksi, dideskripsi dan dieksplanasi secara akurat dan universal? Misteri ini masih menjadi batu penghalang dalam dunia ilmu pengetahuan.
Segala bentuk divergensi yang terjadi mungkin karena hilangnya rantai pengetahuan kita terhadap realitas itu sendiri.[]