10/01/21

Makanan

Tidak ada yang lebih menakutkan dari kelaparan. Sebagai seorang ibu yang ditinggalkan suaminya, aku harus bertanggung jawab atas isi perut anakku.


Tak ada yang bisa menghentikan kelaparan kecuali kematian. Aku tidak ingin anakku mati kelaparan. Aku tak boleh menangis bahkan tak boleh meratapi nasib yang sukar.


Maka dari itu, setiap pagi aku dibebani dengan pertanyaan-pertanyan yang aku sendiri tak tahu jawabannya:


Apakah aku bisa membawa babi hutan untuk kujadikan makan malam? Apakah aku bisa menangkapnya?


Apakah hewan-hewan itu masih ada? Kini, hutan kesepian, tak banyak hewan liar berkeliaran. Sampai-sampai aku sendiri tak ingat seperti apa rasa daging kelinci liar.


“Ibu, aku ingin makan daging kelinci atau daging babi hutan.” Suara itu menjelma menjadi cambukan untukku.


“Sudah lama sekali kita tak memakan daging, Bu,” lanjutnya, memelas.


Sebagai seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, aku tak mungkin menyakiti hatinya atau bahkan mengatakan tidak bisa, anakku. Sungguh, sangat sulit untuk seorang ibu mengatakan hal itu. Namun, apa yang harus aku lakukan jika aku tak menemukan kelinci liar atau babi liar?


Apa aku harus merebus batu dan ketika ditanya anakku, “Apakah daging kelincinya sudah matang, Ibu?”


Aku akan menjawab, “Belum matang, Nak.” Lalu aku menyuruhnya tidur sampai ia mati kelaparan? Tidak, aku bukan seorang ibu yang menyiksa anaknya. Aku adalah seorang ibu yang sangat mencintai anaknya. Aku tak akan melakukan hal itu.


Sambil mengasah pisau yang semakin tajam, aku terus memikirkan bagaimana cara mendapatkan daging yang diinginkan anakku. Aku terdiam sejenak. Bola mataku mengarah ke satu tempat, tepat di betiskku.


Aku melihat sedikit daging menempel di tulang kakiku, daging itu dibalut oleh kulit yang berwarna coklat tua. Jika saja daging itu diambil, mungkin aku tak akan mati. Aku tidak peduli rasa sakit yang kuderita nanti, yang terpenting adalah isi perut anakku.


Sedikit demi sedikit aku menggoreskan pisau yang begitu tajam di betisku. Ada sedikit darah keluar. “Sungguh, ini sakit sekali,” kataku meringis. Dan menjauhkan pisau itu dari kulitku. “Tidak! Aku harus menahannya!”


Pisau itu semakin erat ku genggam, “Ini tidak sakit, sungguh tidak sakit!” aku mencoba menguatkan diri. Kuarahkan pisau itu ke goresan luka yang tertutup darah.


Pisau itu semakin menusuk ke dalam daging. Semakin dalam dan semakin dalam. Sungguh sakit sekali, aku tak pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya.


Pada saat aku menyayat dagingku, banyak sekali pertanyaan yang muncul dibenakku. Apakah aku akan mati sekarang? Apakah sebentar lagi malaikat maut akan menjemputku? Jika aku mati apakah aku akan masuk surga atau neraka?


Pertanyaan pertanyaan itu seakan terus berbisik di benakku tanpa henti. Suhu tubuhku seperti dipermainkan. Leherku terasa dingin sekali dan keningku panas sekali, aku berkeringat.


Kupaksakan pisau itu mengiris daging di betisku. Sambil menjerit sejadi-jadinya karena tak kuat menahan sakit, aku pun pingsan. Dan daging itu berhasil lepas dari betisku.


Selang satu jam aku pun terbangun. Rasa sakit masih ada, rasa perih masih terasa, tapi aku harus bangun. Aku harus memasak daging ini. Aku tak boleh lemah. Pokoknya aku harus kuat. Kurasa, penampakan daging itu seperti daging sapi, merah, dan berdarah. Aku menatap betisku yang bolong. Aku mual, rasanya ingin muntah.


Dengan rasa sakit yang begitu menyiksa, aku memaksa untuk bangun, kupaksakan berdiri. Kuobati Lukaku lebih dulu dengan daun binahong yang sebelumnya sudah kuhaluskan.


 


***


 


Kepulan asap itu menusuk hidungkku. Sembari menahan perih yang luar biasa, aku terus mengipasi api yang sedang membakar daging betiskku.


“Ibu, apakah dagingnya sudah matang?” anak itu tak sadar bahwa ia telah menginjak darah ibunya sendiri.


Tentu saja ia tak menyadarinya karena apa yang ia lihat hanya kegelapan. Ia tak melihat betapa merahnya darah ibu yang melahirkannya.


“Sebentar lagi, Anakku.”


“Ibu, ini bau amis apa?” anak itu memang buta, namun indra penciumannya tak mati.


“Bau amis darah dari daging yang ibu bakar, Anakku,” kataku sembari menatapnya penuh iba, “dagingnya sudah hampir matang, sabar, ya, anakku,” lanjutku.


Ia pun mengangguk. Aku menyeret kaki kiriku yang penuh darah. Sambil menahan rasa sakit, kubawakan daging yang sudah matang kehadapannya. “Makanlah, Nak. Dagingnya sudah matang.” Anak itu memakan dagingku dengan lahap.


“Ibu,” ucapnya.


“Ya, Nak?”


“Apakah ini daging kelinci? Mengapa rasanya berbeda?”


“Tidak ada yang berbeda. Kau hanya sudah lupa saja karena bertahun-tahun tak pernah makan daging kelinci lagi,” jawabku sambal menahan tangis.


“Ibu … bagaimana jika besok kita makan sup tulang? Sepertinya enak.”


“Ya, anakku. Akan ibu buatkan,” ujarku, berusaha menyanggupi.


Waktu begitu cepat berjalan. Sekarang aku tak lagi bingung untuk mencari hewan yang bisa kusembelih. Kedua tanganku masih utuh, mungkin aku akan memotong jari-jariku untuk kujadikan sup tulang.


Jika masih kurang mungkin akan kupotong sampai pergelangan tangan agar tulang itu bisa dipakai untuk dua atau tiga kali makan. Aku tahu ini akan sakit lagi, tapi demi anakku aku rela melakukan apapun. Bahkan menyakiti diriku sendiri.


“Anakku, bangunlah. Sup tulangmu sudah matang.” Aku pun menambahkan dua lembar daun salam dan satu batang sereh agar terasa gurih.


Putraku terbangun. Setelah buang air kecil, ia langsung menyantap sup tulang yang sudah hangat.


“Ibu, ini tulang apa? Kok rasanya agak aneh.”


“Makan saja. Kau tak perlu tahu itu tulang apa, kau harus kenyang, kau tak boleh kelaparann, jika kau kelapan kau akan mati. Jika kau mati, ibu akan bersedih. Kamu mau buat ibu sedih?”


“Tidak, Ibu.” Anak itu melanjutkan makannya, ia terlihat lahap sekali.


Aku tak tahu apakan makanan itu enak atau tidak, aku tak  memakannya. Aku tak ingin anakku kekurangan makanan dan aku rela kelaparan demi anakku.


Semenjak saat itu aku jadi terus menerus memotong anggota tubuhku. Sebenarnya aku tak menyukai hal itu, aku sungguh kesakitan, setiap kali aku memotong anggota tubuhku, aku serasa seperti akan mati. Aku juga tak bisa menahan rasa sakit itu, tapi bagaimana lagi, hanya itu yang kubisa. Sampai akhirnya aku kehilangan kedua kakiku dan tangan kiriku.


Aku tak bisa melakukan apapun lagi. Aku juga tak bisa memasak makanan yang di inginkan anakku lagi.


Tepat di malam itu, aku merasakan kelaparan yang sungguh luar biasa. Badanku terasa lemas, yang kubisa hanya memeluk anakku yang sudah dua hari tak bangun-bangun. Aku tak bisa begini terus. Aku akan mati jika kelaparan, sambil menyeret tubuhku dengan sebelah tangan, aku mengambil pisau.


“Oh, begini rasanya memakan daging manusia.” Aku menyantap daging itu mentah-mentah. Anakku tak akan merasa kesakitan. Seperti sakit yang kualami waktu dulu, pada saat pertama kali aku mengiris daging di betisku.