Aku selalu bermimpi buruk. . .
Aku terjebak di dalam kamar mandi. . .
Lubang pembuangannya tersumbat dan air tak mau berhenti mengalir, Air menggenang hingga ke pergelangan kakiku, naik hingga pinggangku, hingga akhirnya membenam kepalaku, Tirai kamarku seakan berubah mengeras menjadi kaca.
Aku tenggelam di dalam kamar mandiku sendiri dan teriakanku segera berubah menjadi gelembung-gelembung udara. Sebuah bayangan hitam menempelkan wajahnya di dinding kaca, mengawasiku dari sisi yang lain. Aku mencoba memohon belas kasihannya, namun ia tak mau membiarkanku keluar. Aku menelan air dan kehabisan napas. Akhirnya mengapung tak berdaya di dalam peti mati kacaku.
Aku terbangun dengan terengah-engah. . .
Aku tahu darimana mimpi buruk itu berasal. Aku tak perlu menggali terlalu dalam ke dalam pikiranku untuk mengetahuinya. Insiden yang menyebabkan mimpi buruk selalu tak pernah jauh dari alam bawah sadarku.
Menemukannya itu mudah. Melupakannya, itu yang sulit.
Aku ingat dengan baik hari dimana semua itu dimulai. Pada ulang tahunku yang ke-12 ketika keluarga Hudson pindah ke seberang rumah. Saat pertama kali melihat mereka, ada tiga anggota keluarga. Salah satu di antara mereka adalah seorang Nenek yang benar-benar kurus. Tubuhnya kecil, kurus, hingga hanya terlihat seperti tulang yang terbungkus kulit. Rambutnya yang tipis berwarna seputih salju, Ia mengenakan gaun berwarna biru dengan motif bunga-bunga yang kuno. Kepalanya seakan tergantung di lehernya dan bergerak seperti bandul ketika sang pria mendorongnya di atas kursi roda memasuki rumah. Pada waktu itu, aku bahkan tidak tahu apakah Nenek itu masih hidup ataukah sudah mati.
Beberapa menit kemudian ia muncul di balik jendela lantai atas, masih duduk di atas kursi rodanya. Ia duduk menghadap tepat ke arah kamar tidurku, yang juga berada di lantai dua rumahku. Rasa penasaranku mendorongku untuk menyibakkan tirai jendela sedikit untuk mengintipnya.
Kepalanya tiba-tiba tegak menatapku!! Ia terus menatapku, tanpa mengedipkan matanya sekalipun!!
Astaga!! Aku langsung menutup tiraiku kembali.
Selama berhari-hari ia hanya duduk di depan jendela. Ada banyak yang bisa ia lihat dari jendela lantai dua kamarnya. Ada mobil yang lalu lalang dan anak–anak yang tengah bermain di jalan. Namun nenek itu hanya memilih menatap ke depan, ke arah kamarku. Aku tak pernah melihat seorangpun selain nenek itu di dalam kamar itu.
Bahkan aku tak pernah melihat kursi rodanya bergerak sedikitpun!! Pada malam hari, aku dengan gugup mengintip kembali dengan menyibakkan sedikit tirai jendelaku. Siluetnya masih terlihat samar di jendela dengan lampu mati, dan posturnya masih menatap ke arah kamarku. Aku bisa mengatakan bahwa bahkan pada malam hari, ia tetap mengawasiku.
Cerita tentang Nenek aneh segera menyebar dengan cepat di kalangan teman-teman sekolahku. Ada yang mengatakan nenek itu sebenarnya penyihir. Ada juga yang mengatakan Nenek itu sebenarnya sudah meninggal. Ada yang mengatakan Nenek itu hanyalah sebuah boneka.
Tentu saja hal yang menyebabkan rumor-rumor itu adalah kenyataan dimana tak seorangpun pernah melihatnya bergerak sedikitpun dan meninggalkan jendela kamarnya.
Bahkan aku tak pernah sekalipun melihat kepalanya bergerak atau menoleh. Aku bisa merasakan bahwa ia sedang mengawasiku dan mempelajariku. Sendirian di dalam kamar saat malam hari, aku selalu menutup tirai jendelaku rapat-rapat. Terkadang aku terbangun di tengah malam dan gemetaran. Aku tahu bahwa ia sedang memperhatikanku. Aku tahu itu!!
Aku mulai tidur di atas lantai. Semakin rendah aku berada, maka akan semakin baik. Mungkin ia tak bisa melihatku jika aku berbaring di lantai.
Aku mengatakan pada orang tuaku bahwa Nenek yang berada di seberang jalan membuatku ketakutan. Aku memohon agar mereka berbicara dengan keluarga Hudson dan meminta mereka memindahkan Nenek itu ke sebuah ruangan tanpa jendela. Mereka malah menertawakanku dan menyuruhku agar membiarkan Nenek itu menghabiskan sisa umurnya dengan tenang.
Ia hanya ingin melihat jalan dan orang-orang, begitu kata mereka, dan mungkin itu bisa membuatnya bahagia dan merasa lebih muda.
“Apa kau juga akan menaruh Ibumu ini ke dalam kamar tanpa jendela jika nanti Ibu sudah tua?” Ibuku tertawa, “Kalau begitu ingatkan Ibu untuk tinggal bersama adikmu saja jika Ibu sudah duduk di kursi roda.”
Seminggu kemudian, sesuatu terjadi di rumah keluarga Hudson. Aku menatap dari jendela kamar tidurku ketika sang pria berlari tergopoh-gopoh keluar rumah dan membuka pintu mobilnya.
Ia kemudian berlari masuk kembali dan muncul beberapa menit kemudian, mendorong kursi roda sang Nenek menuruni tangga rumah. Ia tampak lebih lemah dari biasanya. Bobotnya mungkin tak lebih dari 35 kilo. Kepalanya terkulai di bahu kanannya.
Namun aku tahu ia masih hidup. Aku tahu karena matanya terus mengawasiku sepanjang waktu.
Pria itu menggendongnya dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia lalu melipat kursi rodanya dan menjejalkannya ke bagasi. Ia dengan cepat melompat masuk ke dalam mobil diikuti istrinya.
Wajah Nenek itu masih terlihat di jendela mobil. Ia masih menatapku. Wajahnya tanpa ekspresi, bahkan tanpa emosi sedikitpun yang terpancar. Lidahnya sedikit tergantung di sisi mulutnya, namun matanya. . . Matanya sangat hidup dan sialnya masih terpaku ke arahku!!
Mobil itu keluar dari pekarangan dan melaju cepat, lalu menghilang ke dalam lalu lintas.
Orang tuaku mendengar dari tetangga lainnya bahwa kondisi Nenek itu memburuk dan mereka harus membawanya ke panti jompo di tengah kota.
Mereka rasa ia takkan kembali ke rumah itu. Aku langsung naik ke kamar tidurku dan melihat ke seberang jalan. Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak mereka datang, jendela kamar itu akhirnya kosong.
Keluarga Hudson masih tak kembali keesokan harinya. Tak ada mobil terparkir di depan rumah mereka. Malamnya, aku kembali mengintip ke kamar Nenek itu.
Tak ada siapapun di sana. Tak ada kursi roda. Namun lampu kamar Nenek itu masih menyala. Aku mengatakannya pada Ayahku karena hal itu sangat aneh. Tetapi Ayah hanya mengatakan bahwa mereka mungkin memasang timer di lampu kamar itu.
Aku terbangun di tengah malam dan dengan gugup mengintip melalui jendela kamar tidurku. Lampu kamar Nenek itu masih menyala. Tiba-tiba saja lampu tersebut mati dan aku segera menyembunyikan diriku di balik selimut.
Aku kemudian perlahan bangun dan mengintip kembali, berharap akan terlihat siluet Nenek yang seperti tengkorak itu. Aku menunggu selama 10 menit sambil memicingkan mataku. Tak terlihat seorangpun di kamar itu, namun lampu kamar menyala lagi, kemudian padam kembali.
Aku memutuskan tidur kembali di lantai sambil memeluk bantalku.
Aku ada jadwal latihan baseball keesokan sorenya. Ketika aku tiba di rumah, rumahku dalam keadaan kosong. Orang tuaku sedang berada di pertandingan softball adikku. Akupun segera menuju pancuran di kamar mandiku untuk menyegarkan diri.
Setelah 3 menit berada di bawa pancuran, aku merasa dingin. Tak masuk akal, aku menggunakan air hangat. Sepertinya uap panas air ini meloloskan diri ke luar kamar mandi, yang bagiku sama sekali tak masuk akal pula, sebab aku menutup rapat pintunya.
Aku tak bisa melihat dengan baik karena shampoo yang mulai menetes ke mataku. Kemudian aku mendengar suara yang akan menghantuiku disepanjang umur hidupku.
Cincin metal yang mengikat bagian atas tirai seakan menjerit ketika tirai kamar mandiku secara perlahan dibuka.
Seseorang masuk ke dalam kamar mandi!!
Rasa perih dari shampoo serasa menyengat mataku. Namun aku masih bisa melihat bayangan gelap di balik tirai. Jemari-jemari kurus, panjang, dan pucat menyeret tirai hingga membuka perlahan.
Di sana berdiri Nenek itu. Aku mungkin hanya memandangnya selama sedetik atau dua detik, namun waktu seakan berhenti. Setelah bertahun-tahun, aku masih tak bisa melupakan bayangan mengerikan itu dari benakku. Rambutnya yang putih acak-acakan. Kegilaan serasa memancar dari matanya.
Tulang yang terlihat menonjol dari balik kulitnya yang keriput. Gumpalan daging yang menggantung di tubuhnya, seakan tak lagi terikat dan hanya menunggu jatuh di lantai. Serta kulitnya yang pucat bak mayat. . . Semuanya itu membuatku bermimpi buruk, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian.
Ia tersenyum dengan cara yang sangat menakutkan dan air hangat yang tadi mengguyur tubuhku dari pancuran seakan tak mampu menghangatkan tubuhku yang seketika membeku.
Di tangannya, aku melihat nenek itu memegang pisau, sebuah pembuka surat.
“Agustus. . .” Ia bergumam, “Agustus. . . Agustus. . . Agustus. . .”
Aku langsung berlari melewatinya dan mendorongnya hingga tubuhnya terjerembab ke lantai. Aku segera berlari menuruni tangga, masih dalam keadaan basah kuyub. Dalam kepanikanku, entah bagaimana aku masih ingat bahwa aku sedang telanjang.
Aku segera menyambar celana dari ruang cuci hingga menjatuhkan keranjangnya dengan keras ke lantai. Aku kembali berlari ke luar rumah, ke tempat tetanggaku yang sekaligus temanku.
Ketika polisi tiba, mereka menemukan Nenek itu terduduk tak sadarkan diri di kamar mandi. Air di pancuran masih mengalir. Para polisi itu benar-benar baik padaku, bahkan memuji keberanianku. Aku mengatakan pada mereka apa yang Nenek itu ucapkan, “Agustus” dan bertanya apakah mereka tahu apa yang ia maksudkan.
“Bulan depan adalah Agustus,” jawab salah satu dari mereka sambil mengangkat bahunya, “Kau takkan pernah mengerti isi kepala seorang wanita tua yang gila, Nak.”
Keluarga Hudson kembali hanya untuk mengambil sisa barang mereka. Tulisan “Rumah Dijual” segera dipajang di depan rumah mereka beberapa hari kemudian. Ibuku merasa tak enak karena berpikir mungkin saja mereka pindah karena kejadian di rumah kami tersebut.
Namun apa yang sebenarnya terjadi? Orang tuaku bercerita bahwa Nenek itu telah dibawa oleh keluarganya ke sebuah panti jompo di tengah kota. Namun, entah bagaimana caranya, suatu hari sang Nenek berhasil melarikan diri dan naik bus untuk pulang kembali ke sini.
Namun bagaimana mungkin? Rasanya cerita itu tak masuk akal bagiku. Dia sudah begitu tua, pikun, dan rapuh. Ia bahkan hampir tak bisa bergerak dan berjalan selama ia tinggal di rumah seberang. Bagaimana mungkin ia melakukan perjalanan sendiri dari panti jompo untuk kembali ke sini, bahkan berjalan naik ke lantai dua dan menakutiku di kamar mandi??!!
Ngomong-ngomong, kalian bisa membayangkan apa dampak kejadian itu bagi psikologisku.
Aku tak pernah mandi menggunakan pancuran selama 21 tahun.Well, itu bukan berarti aku tak pernah mandi. Aku kadang-kadang mandi dengan berendam di dalam bak dipenuhi air sabun. Namun tetap saja aku tak bisa terlalu lama berada di dalam air.
Akan tetapi mandi menggunakan pancuran, dengan berdiri di balik tirai, dan air mengguyur tubuhku, aku tak pernah melakukannya lagi seumur hidupku.
Ketika kau mandi, kau sendirian. Itu adalah privasimu. Kau terasing dari dunia. Itu yang menyebabkan mandi menjadi sangat berbahaya. Kau berada di ruangan tertutup, kau rapuh, kau telanjang, kau mudah diserang.
Aku sudah membicarakan ketakutanku ini pada semua orang, orang tuaku, bahkan psikiater. Namun tak ada yang bisa mereka lakukan. Akuupun terpaksa melanjutkan hidupku. Selain masalah mandiku, hidupku berjalan normal (terutama karena aku menggunakan banyak pewangi).
Beberapa bulan lalu, sesuatu dalam diriku terasa mendapat ilham. Aku serasa mendapat dorongan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai insiden itu. Seperti ada suara di kepalaku yang memerintahkanku untuk melakukannya. Kurasa sebagian dari diriku menuntut jawaban.
Aku menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, mencoba melacak informasi apapun tentang keluarga Hudson dan wanita tua itu. Aku akhirnya menemukan apa yang aku cari, yaitu sebuah obituari (berita pengumuman kematian) dari Nenek itu. Ia sudah meninggal 4 tahun lalu.
Entah bagaimana caranya tengkorak berjalan itu masih bisa hidup 15 tahun setelah insiden itu.
Foto obituari itu berwarna hitam putih dan diambil ketika ia masih seorang gadis muda yang cantik. Dalam foto itu ia tak sendiri. Ia bersama dengan mendiang suaminya saat hari pernikahan mereka.
Nama suaminya adalah Agustus. . . Dan ia terlihat sangat mirip denganku.
Aku menutup browser dan hanya menatap layar desktopku selama 10 menit. Akhirnya semua ini masuk akal bagiku. Mengapa ia memanggilku Agustus. Mengapa ia begitu terobsesi denganku. Mungkin ia sering menulis surat untuk suaminya dan mungkin itu sebabnya ia menggenggam pisau pembuka surat saat itu.
Untuk sejenak, aku merasa lebih baik. Segalanya akan terlihat lebih baik jika kita sudah mulai memahaminya.
“Sayang, apa semuanya baik-baik saja?” Tanya Istriku.
“Ya, Sayang.” Jawabku.
Aku akhirnya mandi menggunakan pancuran untuk pertama kalinya setelah 21 tahun. Aku bahkan tak melompat ketakutan ketika Istriku membuka tirai untuk memberikan handukku yang tadi tertinggal di kamar.
Namun ada satu pertanyaan yang belum terjawab.
Bagaimana mungkin wajah wanita muda di dalam foto pernikahan itu begitu mirip dengan wajah Istriku?