25/02/19

CREEPYPASTA : Noten von Noir(a)

"SAKSIKANLAH! PERTUNJUKAN MUSIK PALING SPEKTAKULER DARI P-ORCHESTRA!!!"

Orang itu—pria yang memakai topeng hitam-putih dengan setengah wajah tersenyum dan setengahnya lagi sedih—berteriak lantang. Gerak tubuhnya terlihat bersemangat saat menyodorkan selebaran pada orang-orang yang berlalu-lalang.

Namun, tidak ada yang mempedulikannya. Di dunia yang semakin menunjukan krisis sosial ini, hanya orang-orang yang bertelanjang saja yang akan mendapat perhatian.

Beberapa meter dari sana, di sisi tiang penyangga terminal bis. Berdiri seorang gadis berambut pendek, bermata coklat, dan dengan pandangan tak bisa ditafsirkan. Ia memperhatikan pria dengan riasan dualisme yang masih berusaha menyebarkan selebaran. Cukup lama gadis itu berdiri di tempatnya, sebelum akhirnya ia melangkah, mendekati pria bertopeng dan mengambil satu lembar, kemudian berbalik arah dan pergi. Tanpa sepatah kata yang membuat pria bertopeng juga diam seribu bahasa.

***

Klasik. Kesan pertamaku terhadap bangunan ini, di mana setiap ukiran bangunannya hanya bisa ditemukan sekitar 100 tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Dan aku harus merelakan batas absen berhargaku hanya untuk menonton pertunjukan yang belum pernah kulihat sebelumnya, di tempat yang lebih pantas disebut museum. Semoga saja mereka memberikan yang terbaik malam ini, atau aku akan menyesali keputusanku dan tak akan pernah kembali lagi.

“Boleh kulihat tiketmu, Nona?”

Aku berbalik—ke sumber suara yang terdengar agak serak, dan menemukan sosok tinggi, tegap, memakai tuxedo hitam dengan kumis tipis yang melengkung, mengikuti bibirnya yang sedang tersenyum. Aku taksir umurnya di tengah 20-an, dan cukup tampan. Ia mengulurkan tangan kanannya padaku dan menyimpan tangan kirinya di balik punggung. Sikap meminta yang sangat sopan.

“Ah … ini ….” Kuserahkan tiket yang kupegang dengan gerakan kaku. Tiket yang kubeli beberapa saat lalu di loker yang dijaga pria gendut dengan wajah bodoh, dan sepertinya habis makan bebek panggang. “Maaf, Tuan. Aku tidak melihatmu semenjak tadi. Dari arah mana Anda datang?”

Aku mencoba mencairkan suasana, berusaha menjalin keakraban dengan pria tampan ini. Namun pertanyaanku hanya dibalas dengan senyuman, yang sangat menawan. Aku membayangkan pria di depanku ini sebagai Incubus, yang akan membuatku tak berdaya, jatuh ke pelukannya. Dan keesokan harinya, aku terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuh di hotel bintang lima. Sembilan bulan kemudian, melahirkan anak yang akan membawa umat manusia—untuk pertama kalinya—berkomunikasi dengan makhluk ekstraterestrial. Mungkin juga bercinta dengan mereka.

Setelah ia memeriksa tiketku, ia menyurukku untuk mengikutinya. Kami berjalan mengikuti jalur setapak menuju bangunan yang kuperkirakan sebagai tempat pertunjukan. Bangunan klasik yang sedikit membuatku takut. Pasalnya, pada bangunan tua di manapun itu, menyisakan energi dari orang-orang yang pernah tinggal, dan mati tidak wajar.

Baru kusadari setelah berjalan di belakangnya, ternyata pria yang memanduku mememakai sarung tangan hitam. Dengan pakaiannya yang sangat formal, dan tutur bicara yang sopan. Apakah ini acara resmi? Dan aku hanya memakai baju seadanya? Oh yang benar saja. Semoga saja di dalam ada manusia yang memiliki kemampuan seperti Anthena, yang akan mengajariku teknik menenun dan memberiku gaun yang indah.

Setelah berada di depan pintu, pria pemandu itu berhenti. Aku pikir, ia lupa bagaimana membuka 2 pintu besar berwarna putih itu. Atau, sedang mengagumi sesaat ukiran rumit yang cantik menghiasi setiap sudutnya, yang tampak seperti para Nymph tanpa baju dan menggoda seorang pria untuk bercinta dengan mereka. Tapi aku lebih meyakininya sebagai Siren yang menginginkan kudapan malam. Tebakanku terhadap pria pemandu itu ternyata salah. Ia berbalik dan berkata bahwa pemimpinnya telah mempersilahkanku masuk.

Belum sempat aku bertanya kapan ia memberitahukan kedatanganku pada pemimpinnya, atau kapan izin untukku diberikan. Aku sudah dikejutkan olehnya saat membuka pintu. Ia hanya menyentuhkan tangannya di pintu. Bukannya meraih gagang dan mendorong pintu ini ke arah dalam atau menariknya. Ia hanya menyentuhkan tangannya, dan pintu itu terbuka dengan sendirinya.

Seperti pintu futuristik, otomatis, dan tidak membutuhkan tenaga untuk membukanya. Namun berada di bangunan klasik ini ... itu lebih terkesan mistik.

Pria tadi masuk, lalu menoleh ke arahku. Ia kembali tersenyum, dan aku kembali mengikuti langkahnya tanpa banyak tanya. Seperti Eros yang diperintahkan untuk memanah Psyche oleh ibunya, namun tak berdaya dengan kecantikan Psyche hingga ia memilih untuk membawa gadis cantik itu pergi. Begitu pula denganku. Aku sudah mendapatkan pertanda, dan petunjuk-petunjuk yang berbisik agar aku segera meninggalkan tempat ini. Tapi pesona pria itu, membuatku bertahan. Bahkan aku rela menjadi santapannya, jika ia memang ingin memakanku.

Ruang depan itu cukup luas dan tak ada apapun selain lantai yang bersih dan gorden-gorden gelap menutupi jendela. Di langit-langit tergantung lampu kristal yang megah dengan cahaya yang merambat ke seluruh ruangan. Bersatu dengan gelap yang telah lebur dan menyisakan bayangan.

Di pintu yang menuju ruang tengah, berdiri seorang wanita yang memakai blazer hitam dengan rok pendek warna serupa. Dan ia menutup kakinya dengan stoking hitam pula. Wanita itu tersenyum saat melihatku. Saat aku sudah berdiri di depannya, aku bisa melihat kecantikannya yang melebihi artis yang kukenal di layar kaca. Kata-katanya pun merdu di telinga. Mungkinkah ia Aglaope yang menyamar jadi manusia?

Pemuda yang belum kuketahui namanya tadi, pamit pergi dan kembali tersenyum padaku sebelum kembali ke luar gedung. Saat aku dan wanita cantik itu berdua, ia mentap lekat padaku. Seakan meneliti apakah aku masuk dalam jenis Dryad atau Empousa.

“Biar kuantar ke ruang ganti, Noira," katanya kemudian, dengan senyum menawan.

Aku mengikutinya masuk ke sebuah lorong dan bertanya-tanya. Dari mana wanita di depanku ini tahu namaku?

“Itu mudah. Kau adalah tamu spesial kami. Mana mungkin aku tidak mengenalimu.”

Aku tersentak. Apakah ia membaca pikiranku tadi? Dan kenapa pula aku menjadi tamu spesial? Aku tidak kenal siapa pun di sini. Aku hanya tahu ada pertunjukan musik dari selebaran yang dibagikan oleh orang aneh di jalan, yang melukis wajahnya dengan dualisme ekspresi.

"Kau mau tahu kenapa dirimu menjadi tamu spesial?"

Aku mengangguk dan kembali terkejut.

Wanita di depanku kemudian berhenti, membalikkan badan dan menatapku tajam. "Apakah kau bosan dengan kehidupan yang kau jalani sekarang, yang penuh aturan tanpa kejelasan apa manfaat dari peraturan itu? Apakah kau merasa dijauhi teman-temanmu karena tidak mau mengikuti aktivitas mereka yang kamu pikir hanya membuang waktu, mengejar kenikmatan semu, dan tak ada manfaatnya sama sekali? Apakah kau benci penilaian dosenmu yang merujuk pada buku, yang hanya berisi objektivitas satu kepala, padahal setiap isi kepala dari setiap manusia itu berbeda? Apakah kau sedikit kecewa pada teman-temanmu yang memaksakan satu hal yang menurut mereka sebuah aturan mutlak, padahal menurutmu hanya tuntunan saja?"

Wanita yang bahkan tidak memperkenalkan dirinya terlebih dahulu itu, mengatakan rentetan pertanyaannya. Sialnya, semua yang ia katakan benar.

"Itulah kenapa kau spesial. Manusia yang berbeda cara pikirnya dari kebanyakan yang lain, cenderung memiliki kekuatan unik."

Lagi-lagi, aku tidak mengerti apa yang ia katakan.

Wanita itu berbalik, dan sebelum mulai berjalan lagi, ia menoleh ke arahku dan berkata. “Panggil saja aku Kalia.”

Aku dibawa Kalia ke sebuah ruangan yang semua dindingnya yang ditutupi lemari, dan ada kaca besar di dekat pintu. Ruangannya beraroma mawar—wanginya terlalu menusuk hidungku, aku tidak suka—dan Kalia membuka satu lemari dengan mata mencari-cari.

“Sepertinya ini cocok," ujarnya seraya mengeluarkan baju, yang terdiri dari ham putih, blazer hitam dan rok pendek. Seperti yang ia pakai. Ia bahkan memberiku sepatu dan stoking hitam. Aku menjadi sama persis seperti dirinya, kecuali rambutku yang ia perintahkan untuk diikat macam ekor kuda.

***

Lampu aula telah dimatikan. Hanya tersisa lampu yang menyoroti beberapa sisi panggung. Para tamu—yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang—juga sudah duduk di kursi dengan hikmat. Termasuk aku yang duduk di samping Kalia dengan canggung. Tak lama, beberapa orang laki-laki dan wanita berjalan ke atas panggung. Mereka semua memakai warna yang seragam—tuxedo putih dan gaun putih. Satu di antara mereka memegang tongkat kecil dan mulai memunggungi penonton. Pasti itulah konduktornya. Hanya ada dua alat musik di atas panggung—piano dan biola. Konduktor mulai mengayunkan tongkat setelah masing-masing dari mereka mulai menempati posisinya. Satu pria mulai duduk di belakang piano, dan sebelas lainnya memegang biola. Aku baru sadar jika jumlah mereka yang berada di atas panggung adalah tiga belas orang.

Irama musik mulai dilantunkan. Permainan pertama. Heroic Polonaise dari Chopin. Cukup bagus. Aku bisa menebak hanya dari awalnya saja.

Saat lagu itu berakhir, tepuk tangan dari penonton terdengar. Tapi hanya sesaat saja. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kejadian itu begitu cepat. Tiba-tiba saja seluruh pemain meloncat ke arah penonton dan mengigit leher mereka. Aku pun melihat Kalia menancapkan gigi taringnya—entah kenapa bisa tumbuh lebih panjang—pada leher salah satu penonton, yang cukup dekat denganku.

Tak perlu hutungan jam, bahkan menit untuk Kalia melepas gigi taringnya, meninggalkan leher penonton dengan bekas gigitan, dan kulit yang pucat serta tubuh tanpa nyawa.

Belum sempat aku bereaksi atau berteriak, Kalia melompat ke hadapanku. Memegang daguku dengan tangan kanan, sementara tangan kiri ia gunakan untuk menyeka sisa darah di bibirnya. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Noira, ini hanya menyakitkan untuk sesaat. Setelahnya, kau akan menjadi bagian dari kami."

***

"SAKSIKANLAH! PERTUNJUKAN MUSIK PALING SPEKTAKULER DARI P-ORCHESTRA!!!"

Suara melengking dari seorang gadis bergema di depan kompleks pertokoan yang ramai. Kedua tangannya membawa selebaran atas sebuah pertunjukan musik, wajahnya ditutupi topeng berwarna hitam-putih. Tanpa terlihat lelah—mungkin karena topeng yang menutupi wajahnya, gadis itu terus meminta perhatian dari orang-orang yang melintas. Namun, tak ada seorang pun yang peduli, bahkan menoleh sejenak pun enggan.

Dari kejauhan tampak seorang anak laki-laki yang memakai kacamata dan kemeja beserta dasi kupu-kupu hingga batas leher. Ia memandangi gadis yang sedang membagikan selebaran tadi. Tatapannya kosong, namun tajam. Hingga tak lama, kakinya melangkah ke arah gadis tersebut dan mengambil selebaran promosi itu tanpa mengucapkan satu patah kata.

Kini gadis itu terdiam, topengnya sedikit bergerak terangkat. Mungkin di balik topeng, sang gadis sedang tersenyum, atau bersedih.

SC : Lucifer and Shy Devil [Creepypasta indonesia]