25/02/19

Five Nights at Freddy's chapter 1-5 end by RizukiShizaya

"Hallo?"

"Ya—ya, hallo,"

Terdengar suara dari lubang hitam di gagang telepon. Suara itu sedikit parau dan gelisah.

"Ada apa? Kamu kenapa? Cerita sama Mamah!" tutur sang lawan bicara dengan nada jauh lebih wibawa, lembut namun tegas.

"Ehm…. Tidak ada apa-apa, Mah," sang anak yang masih dengan suara paraunya, sedikit berdehem, entah apa tujuannya. Tentu firasat seorang ibu jarang sekali salah, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari anak kesayangannya itu. Terlebih sebelumnya sang anak mengirimnya pesan.

"Bohong, kalau tidak ada apa-apa untuk apa kau mengirim pesan seperti itu? Uangmu habis lagi? Iya, 'kan?"

Sang anak menahan nafasnya sejenak lalu menghembuskannya secara kasar, naluri orang tua selalu tajam. Tapi bukan ini yang akan ia katakan sebenarnya. Ia memang mengirim pesan kepada ibunya, hanya ingin bicarakan sesuatu saja.

"Y-ya, maaf," suara sang anak kini penuh rasa bersalah dari jauh, tersampai melalui telepon.

"Sudah Mamah duga! Nanti Mamah kirim uang—"

"Tidak usah, Mah!" cegah sang anak terburu-buru. "Masih ada beberapa, kok! Untuk makan cukup. Yah, walau untuk kuliah tidak," nada lesunya membuat sang ibu ikut menghela nafas.

"Ya, kalau begitu tetap saja kirim—"

"Ya, untuk bayar kuliah saja! Tidak untuk jajan,"

"Kenapa?"

"Ehm…. 'kan sudah Jeremy bilang, sebenarnya Jeremy ingin kerja sambilan,"

.

.

.

Jeremy Fitzgerald, mahasiswa kuliah siang dan juga mahasiswa 'kupu-kupu' (Kuliah-pulang-kuliah-pulang). Sebenarnya ia berkecukupan, ia hanya memegang prinsip tidak mau merepotkan orang tuanya lebih jauh. Ia ingin merasakan bagaimana dunia kerja, dan kebetulan pihak kampus memperbolehkan dirinya untuk kerja sambilan.

Jeremy bukan Anak Mamih, ia benci julukan itu. Ia hanya terlalu mendapat kasih sayang yang berlebih dari sang ibu. Dengan sedikit berdebat dengan sang ibu, Jeremy akhirnya mendapat izin dari kedua orang tuanya, untuk kerja sambilan.

Pria itu berumur duapuluh tahunan, badan tidak terlalu kurus, wajah tidak bisa dibilang jelek, dan ia cukup tinggi. Banyak teman-temannya yang membantu mencarikan kerja sambilan, namun semuanya bergaji terlalu rendah.

Ia sempat frustasi, tidak menemukan nominal gaji yang cocok untuknya, untuk kehidupan sehari-harinya. Jeremy tak lupa—justru sangat rajin untuk melihat lowongan kerja pada koran maupun majalah.

DICARI

Mata Jeremy tertuju pada tulisan itu dan satu gambar yang menarik perhatiannya. Gambar itu menunjukan tiga makhluk yang mirip kelinci memegang gitar elektrik, lalu beruang dengan mic-nya, dan semacam bebek atau ayam yang membawa cup cake bermata dua menghiasi bagian krimnya, tak lupa ada lilin di atasnya.

"Hmm, robot?"

Gumam pria itu sambil mengamati gambar serinci mungkin. Lalu matanya beralih ke tulisan di sampingnya.

GRAND RE-OPENING!

TEMPAT PIZZA ANTIK YANG MEMBERI KEHIDUPAN BARU!

DATANG DAN JADILAH BAGIAN DARI WAJAH BARU FREDDY FAZBEAR'S PIZZA!

KENAPA TIDAK?

$100.50 SEMINGGU!

HUBUNGI : 1-888-FAZ-FAZBEAR

"Huh? Apa ini? Mereka membutuhkan apa? Dan bahasanya aneh sekali,"

Jeremy pun bertanya pada teman-teman kampusnya. Dan tidak ada satupun yang tahu maksud dari promosi itu. Banyak temannya yang mengira kalau itu hanya tipuan, atau itu hanya merekrut perempuan yang bersedia duduk di kasir dan menyapa tamu. Tapi, salah satu temannya memberi saran agar mengkontak pihak tersebut agar lebih jelas lagi. Dan Jeremy pun setuju, ia mengambil langkah untuk menelepon pihak restoran.

.

.

.

"Apa kau yakin? Yah, menurutku kau memang sedikit cocok untuk jadi penjaga. Tapi, kau belum ada pengalaman dan mereka menerimamu? Lagi pula gajinya juga tak seberapa! Kau bisa cari yang lain,"

Teman Jeremy mengutarakan opininya.

"Tidak juga, aku sendiri sedikit ragu. Setelah menanyakan apa yang mereka cari, dan ternyata mereka merekrut beberapa orang saja. Seperti penjaga malam, dan sisanya untuk berdiri di belakang kasir dan kompor. Hanya satu yang aku bisa, menjadi penjaga malam saja,"

"Resikonya aku mengorbankan jam tidur malamku. Tidak masalah sebenarnya, aku masih bisa tidur di siang hari sebelum kuliah dan pulang kuliah jam empat sore. Jam kerjaku dimulai tengah malam sampai jam enam pagi,"

Lanjut Jeremy sambil mengemas perbekalannya; kopi, kopi, kopi lagi dan makanan ringan.

"Dan kau tidak di wawancara atau diuji, bukan? Itu yang membuatku aneh dan kurang yakin," temannya belum berhenti mengkhawatirkan Jeremy.

"Mereka baru buka, maksudku buka kembali. Tidak terlalu heran kalau mereka butuh pegawai secepatnya! Tenang sajalah, kawan!" Jeremy tersenyum sumringah sambil menepuk bahu lawan bicaranya itu.

"Ya, sudahlah. Hati-hati! Jika ada apa-apa cerita padaku!"

.

.

.

Jeremy baru saja memasuki pintu belakang khusus karyawan, dan disambut oleh Manajer dengan senyuman ramah menghiasi wajahnya.

"Selamat datang! Hari pertama kerja, tentu aku harus membawamu keliling tempat ini,"

Ucapnya tanpa basa-basi, dan memberikan name tagpada Jeremy. Name tag itu bertuliskan SECURITY GUARD. Tentunya Jeremy sudah memakai seragam yang diberi oleh pihak restoran sebelumnya.

"Besok-besok datang satu jam sebelum shift-mu dimulai," ucap Manajer sembari tangannya memerintahkan Jeremy agar mengikutinya ke mana ia pergi. "Siap, Manajer!"

Jeremy diajak berkeliling dan ia tentu dilihat beberapa pekerja lainnya. "Anak baru? Selamat datang, nak! Penjaga malam, kah?" sapa pria paruh baya yang memakai apron berlambang beruang mascot restoran ini. Jeremy menebak diam-diam, lawan bicaranya bekerja sebagai waiter.

"Iya, namaku Jeremy! Salam kenal," balasnya sambil tersenyum. "Hmmm, berhati-hatilah!" lawan bicaranya tersenyum sesaat lalu pergi ke ruangan khusus karyawan. "Huh?" Jeremy bingung apa maksudnya dari pria tadi. Manajer memanggil Jeremy yang tertinggal di belakang sana untuk mengajak Jeremy kembali berkeliling.

"Kau akan menjadi penjaga, kau harus tahu di mana letak kamera itu berada dan menangkap sisi mana saja,"

Jeremy awalnya dibawa ketempat di mana ia akan berjaga. "Ini ruanganmu saat malam, kau hanya bisa melihat satu persatu ruangan melewati kamera ke layar untuk kau pantau, kameranya di lengkapi perekam suara juga, jadi kau bisa mendengar pergerakan di dalam ruangan. Tekan tombol-tombol ini untuk melihat setiap ruangan. Dan kau hanya dibekali senter,"

Mata Jeremy tak mau diam, melihat setiap inci tempat ia akan duduk semalaman. Ruangannya tidak begitu berantakan, tidak terlalu rapih juga. Hanya beberapa televisi kecil menghiasi ruangan, kipas angin cukup besar bertengger di atas meja dan ditemani beberapa kertas.

Dan televisi khusus untuk memantau tiap ruangan ada di sebelah mejanya lagi, layar televisi itu cukup besar dan cembung tak lupa dihiasi tombol-tombol untuk memindahkan 'chanel'. "Baik!" Jeremy meyakinkan dengan mantap.

Mereka berdua lalu berjalan kembali ke lorong, setiap lorong maupun ruangan pasti dihiasi poster ataupun kertas gambar hasil anak-anak. Kertas warna-warni yang menjuntai, bentuknya ada yang seperti kabel—atau memang kabel? Jeremy tidak terlalu memikirkannya.

Jeremy memasuki ruang pesta pertama bersama Manajernya, dan ada pegawai lainnya yang sudah selesai membersihkan sisa pesta dan menempelkan kertas panjang berbentuk orang bergandengan di atas sana, mendekati langit-langit ruangan.

"Ini ruangan pesta pertama,"

Dua meja panjang yang sudah bersih, dihiasi topi pesta untuk anak kecil yang terjejer sangat amat rapih. Di dinding tak lupa ada poster tiga robot yang terpisah masing-masing.

Manajer melangkah menyebrangi lorong. "Ini ruang pesta ke dua, seperti yang kau lihat, ruangan ini paling sering digunakan untuk pesta ulang tahun. Hati-hati langkahmu! Mereka habis membersihkan lantainya,"

Jeremy melihat tanda warning dekat dengan meja panjang. "Woah, megah juga," gumam Jeremy masih melihat sekeliling, bisa dibilang ruangan ini sedikit lebih besar dan tentu rapih. Topi pesta berbaris,banner yang menggantung dan bertuliskan 'LET'S PARTY!' menghiasi ruangan ini.

"Ini ruangan pesta ke tiga, tepat di sebelah ruangan pesta pertama," tuturnya sembari memperlihatkan salah satu ruang pesta yang sudah rapih dan siap pakai besok. Ruang pesta ke tiga tidak semeriah ruangan sebelumnya, hanya satu meja panjang, di ujungnya ada beberapa kotak hadiah dan balon berisi gas Hydrogen itu. Mata Jeremy tertuju pada poster yang menempel pada dinding yang sedikit lusuh. Poster itu menampakkan tiga makhluk yang sepertinya sangat terkenal di sini.

"Ehm, Pak, ke tiga robot itu maskot di sini?" Jeremy memberanikan diri. "Robot? Ah, maksudmu Animatronic itu? Tentu! Yang beruang adalah maskot utama, Freddy namanya. Akan kuperkenalkan kepada mereka semua nanti,"

Jeremy mengangguk cepat lalu mengikuti atasannya lagi menuju ruang selanjutnya. Ruangan pesta ke empat tidak terlalu meriah. Hanya satu meja panjang yang di atasnya dihias beberapa kotak hadiah dan balon berisi Hydrogen. Di dinding terdapat kertas kreasi yang membentuk tiga makhluk. Jeremy tidak terlalu jelas melihatnya, karena ia langsung mengikuti Manajernya melihat ruangan lain.

"Ruangan selanjutnya, akan kuperkenalkan mereka,"

Pegawai baru itu dengan semangat mengikuti ke mana Manajernya melangkah. "Di sini sangat berantakan dan bau, karena. Yah, karena di sini tempat Animatronic yang sedang dalam perbaikan atau benar-benar rusak,"

Jeremy bergidik, ruangan itu sedikit temaram dan lantai yang menghiasi seluruh restoran ini seperti papan catur. Terlebih ruangan ini memang bau anyir besi berkarat dan berantakan. Matanya tertuju pada Animatronic terbengkalai nan rusak.

"Ini Mangle, dia sebenarnya di desain untuk Foxy versi lebih ramah, atau versi perempuannya. Tapi, dia sangat malang nasibnya. Anak-anak justru merusaknya sampai-sampai ia tidak bisa digunakan lagi,"

Jeremy semakin bergidik melihat mesin tergeletak bernama Mangle itu hanya mata sebelahnya saja yang ada, dan kepalanya saja yang utuh berbentuk seperti rubah, rangka badannya berserakan tak karuan. Di bahunya tampak menempel entah apa itu. "Ehm, itu apanya, Pak?" Jeremy berani menunjuk benda yang membuatnya penasaran.

"Ah, itu sebenarnya burung beo, dia berperan sebagai bajak laut di sini, seperti Foxy," Manajer menggeser tubuhnya menghadap Foxy. Seperti namanya, dia berbentuk rubah. Jauh berbeda dengan Mangle yang berwarna putih-merah muda. Foxy berwarna merah/crimson dan memakai penutup mata pada mata kanannya.

Kesan bajak laut sangat lengkap pada diri Foxy, tangan kanannya bukan tangan robot, melainkan hookyang biasa bajak laut pakai. Celana coklat lusuh dan robek membungkus kakinya, ada robek pada bagian dada dan lengan-lengannya memperlihatkan bagian dalam Foxy. Berupa kerangka besi, tidak beda jauh dengan Mangle yang badannya memang rangka robot yang abstrak. Beruntung Foxy masih utuh walau ia tidak dapat digunakan.

"Lalu ini Chica. Dia anak ayam yang manis sebenarnya. Dia rusak, seperti yang kau lihat,"

Bukan bergidik lagi sekarang, Jeremy benar-benar merasa bulu kuduknya berdiri dan bergetar. Robot kuning itu tergeletak terlentang tak berdaya dengan mulut terbuka memperlihatkan Endoskeleton, dadanya dihiasi apron kecil bertuliskan 'LET'S EAT!'. Kedua ujung tangannya putus dan hanya memperlihatkan kabel-kabel yang menjulur. Jeremy melihat gigi-gigi Chica.

"Ayam punya gigi, huh?"

"Ahahah! Tidak ada salahnya, toh mereka hanya alat penghibur anak-anak," tanggap Manajer santai.

"Ini Bonnie. Aku sendiri takut melihatnya," Manajer menutup mulutnya rapat dan melirik kearah lain.

"Hiiiy!" reaksi Jeremy setelah menengok makhluk ungu kebiruan yang tampak seperti kelinci.

Wajahnya tidak ada. Hanya rahang bawah beserta giginya yang utuh. Bagian dalam wajahnya hanya ada kabel, rangka wajahnya tidak kelihatan karena sedikit gelap. Bonnie yang cukup tinggi itu memiliki badan yang berisi cenderung gemuk. Jeremy segera melangkah menjauh mengikuti Manajernya.

"Dan ini maskot utama, Freddy,"

Animatronic yang berbentuk seperti beruang gemuk, matanya yang tertutup separuh memberi kesan ia sedang mengantuk. Topi hitam menghiasi kepala coklatnya, berdiri tegap di antara kuping bulatnya. Hanya beberapa lecet dan robek pada badannya. "Dia masih bagus," gumam Jeremy.

"Ya, tapi sayangnya mereka semua terpaksa kami simpan dan digantikan dengan yang baru, mereka ada di panggung," manager menunjukan jalan kearah panggung.

"Pantas saja! Ahahah! Aku melihat para Animatronic sebelumnya di ruangan tadi merasa aneh, mereka berbeda jauh dengan yang ada di poster!" Jeremy menepuk kepalanya sendiri.

"Anak kecil tidak akan ada yang mau kemari kalau kami pasang mereka di sini. Dan nama mereka masih sama dengan yang dulu, hanya ditambah Toy di depannya," celetuk Manajer.

Jeremy mendekat ke panggung, melihat tiga Animatronic yang masih bagus, mulus dan lebihfriendly look ketimbang yang sebelumnya. "Selanjutnya kita ke P. Di sini anak-anak suka sekali datang. Membeli boneka, bermain dengan Marionette,"

"Marionette?" ulang Jeremy. "Ya, dia ada di dalam kotak itu, kotak besar merah-putih itu,"

Manajer membuka kotak hadiah itu dan memperlihatkan boneka atau robot yang cukup aneh bentuknya. Mukanya terlihat aneh, senyum joker namun di bawah matanya seperti ada garis seperti jalur air mata jika menangis. Pipinya terdapat bulatan merah, dan badannya sangat panjang lalu hitam.

Jeremy bergidik sekali lagi, merasa tidak enak. "Yah, terkadang anak-anak menangis melihatnya karena ketakutan, mereka bilang dia seperti Slender Man," Manajer terkekeh lalu menaruh Marionette itu kembali dalam kotaknya.

"Bukankah itu kotak musik?" Jeremy menunjuk ujung meja yang memajang beberapa boneka asli dan empuk.

"Ya, kotak musik antik itu termasuk kesukaan anak-anak, mereka suka mendengarnya,"

"Hooo, begitu," Jeremy manggut-manggut.

"Selanjutnya ke G. Tempat paling anak-anak sukai, mereka yang memenangkan game di sini akan mendapat hadiah dari P. Di sini ada BB, dia termasuk robot,"

"BB?" Jeremy mengkerutkan alisnya, hampir menyatu. "Balloon Boy," jelas atasannya singkat. "Lalu di sana ada Kid's Cove, sebenarnya tempat untuk Foxy dan Mangle menghibur anak-anak," pria paruh baya itu menunjuk ruangan dekat Game Area ini.

Jeremy ber-hooh ria, lalu mereka kembali ke ruangan di mana Jeremy akan bekerja. "Shift-mu akan dimulai sekitar dua jam lagi, aku tinggalkan kau di sini tidak apa, 'kan? Kau akan baik-baik saja, dan maaf aku akan mematikan semua lampu kecuali ruanganmu. Kamera pengintai disertai lampu, kok! Jadi kau masih bisa melihat dan mengamati mereka. Dan maaf sekali lagi, telepon kami sedang dalam perbaikan,"

"Ehhmm…. tidak apa," Jeremy tersenyum sedikit berbau pasrah. Manajer menepuk bahu pegawai barunya, dan pamit.

.

.

.

"Sial! Padahal saat lampu masih menyala semua, tempat ini tidak terlalu seram! Tapi sekarang malah bikin tegang seperti ini,"

Jeremy menyedot kopinya dari gelas plastik dan menaruhnya kembali di dekat kipas angin. Hembusan kipas angin tak sanggup meredam keringat Jeremy. Jam dua belas, setidaknya itu yang ditunjukan jam dinding di dekatnya.

KRIIIING

Jeremy hampir jatuh dari kursinya, ia terkejut mendengar telepon berdering dekat mejanya. "Bukannya sedang rusak, ya?" alisnya kembali berkerut dan sedikit lagi menyatu.

KRIIIIING

KRIIIIING

Jeremy baru sadar itu adalah pesan masuk, buru-buru ia memenekan tombol jawab. (Disini author juga bingung, memangnya udah ada ya telepon merekam dan mengirim pesan di tahun 1987? Klo udah ada syukurlah #plak)

"Uh, hallo? Halo, hallo? Uh, hallo dan selamat datang di pekerjaan barumu di musim panas ini di tempat yang lebih baik, Freddy Fazbear's Pizza. Uh, aku di sini ingin berbicara denganmu mengenai beberapa hal yang bisa kau harapkan selama minggu pertama di sini dan untuk membantumu memulai karir baru dan menarik ini,"

Jeremy menelan ludahnya sendiri, dan mendengarkan dengan seksama.

"Uh, sekarang, aku ingin kau melupakan apa pun yang mungkin pernah kau dengar tentang lokasi lama restoran ini, kau tahu. Eh, beberapa orang masih memiliki kesan agak negatif terhadap perusahaan ini. Uh... Bahwa restoran lama dibiarkan 'membusuk' selama beberapa waktu, tapi saya ingin meyakinkan padamu, Fazbear Entertainment berkomitmen untuk menyenangkan keluarga di atas semua, termasuk keamanan,"

Seketika itu Jeremy membeku, seakan terkena serangan jantung skala kecil. Ia ingat apa yang dikatakan temannya, dulu restoran ini pernah terjadi insiden yang membuat tempat ini tutup. Dan sekarang kembali dibuka, walau lokasi yang berbeda tentunya.

"Mereka telah menghabiskan beberapa uang untuk Animatronic baru, uh, perubahan wajah, mobilitas canggih, para pegawai bahkan membiarkan mereka berjalan-jalan di siang hari. Bukankah itu apik?"terdengar orang itu berdehem sebentar.

"Tapi yang paling penting, mereka semua terikat ke dalam beberapa jenis kriminal, sehingga mereka dapat mendeteksi predator mil jauhnya. Kita harus membayar mereka untuk menjagamu.Uh, seperti yang sudah dikatakan, tidak ada sistem baru tanpanya... Uh... Kau penjaga kedua yang bekerja di lokasi tersebut. Uh, orang pertama menyelesaikan pekerjaannya, tapi mengeluh tentang... kondisi. Uh, jadi kita mengganti dia ke shift siang hari, jadi Hei, kau beruntung, 'kan?"

Alis Jeremy berkedut, dan semakin menukik. Ia masih belum menangkap maksud dari rekaman entah siapa itu.

"Uh, terutama ia khawatir bahwa Animatronic tertentu tampaknya bergerak di malam hari, dan bahkan mencoba untuk masuk ke kantornya."

Jeremy semakin bergidik, tidak hanya bulu pada tengkuknya yang berdiri dan menari, hampir seluruh bulu tipis di tubuhnya.

"Sekarang, dari apa yang kita ketahui, bahwa seharusnya tidak mungkin. Uh, restoran ini yang seharusnya menjadi tempat paling aman di bumi. Jadi sementara para teknisi kami tidak memiliki penjelasan untuk hal ini, bahwa teori kerjanya... tepatnya robot tidak pernah diberi 'modus malam'. Jadi ketika robot itu merasa sekelilingnya tenang, mereka pikir mereka ada di ruangan yang salah, sehingga kemudian mereka pergi mencoba untuk menemukan di mana orang berada, dan dalam hal itu kantormu."

"APAAA—Jadi mereka—" Jeremy memekik lalu menutup mulutnya.

"Jadi solusi sementara kami adalah; ada kotak musik di Prize Corner, dan sudah di setting agar bisa dimainkan dari tempatmu berada. Jadi hanya sekali-sekali memutarkannya, beralih ke tayangan Prize Corner. Dan jangan lupa memutarkannya lagi selama beberapa detik. Walaupun begitu, tampaknya tidak mempengaruhi semua Animatronic, hanya mempengaruhi... salah satu dari mereka."

Pria yang terekam suaranya itu berdehem kembali.

"Uh, dan untuk sisanya, kami memiliki solusi lebih mudah. Soalnya, mungkin ada kesalahan kecil dalam sistem, 'sesuatu' tentang robot melihatmu sebagai Endoskeleton tanpa kostum, dan ingin menjejalkanmu kedalamnya, jadi hei, kami telah memberikanmu sebuah kepala Freddy Fazbear kosong, masalah terpecahkan! Kau bisa menempatkannya kapan saja, dan biarkan selama yang kau inginkan. Nantinya apa yang berjalan menemuimu, akan berjalan kembali ketempat semula."

"Menjejalkan, apa?" ingin sekali Jeremy memutar ulang namun tak bisa.

"Uh, hal lain yang yang layak disebutkan adalah bangunan yang di desain modern. Kau mungkin telah menyadari tidak ada pintu bagimu untuk menutup ruangan, heh. Tapi, hei, kau memiliki senter! Dan meskipun sentermu bisa kehabisan daya, bangunan tidak bisa. Jadi, jangan khawatir tentang tempat gelap. Yah, saya pikir itu saja. Uh, kau harus berhati-hati. Uh, periksa lampu, pakai topeng kepala Freddy jika perlu, uh, menjaga kotak musik agar selalu diputar, sepotong kue. Selamat malam, dan saya akan berbicara denganmu besok."

Jeremy sekali lagi, sekali lagi dia bingung. Namun setidaknya ia tahu apa maksud pesan tadi. Jeremy pun mengambil topeng Freddy yang ada di atas lemari kantornya.

"Jadi mereka tetap bisa berjalan di malam hari? Kenapa para teknisi itu tidak memperbaiki dan me-reset ulang saja mereka?" nafas Jeremy memburu, gugup dan tidak beraturan. Jeremy sadar bahwa pria yang berpesan tadi juga sedikit gugup. Dan menambah kegugupan Jeremy sendiri jika diingat nada yang dia katakan.

"Uh, okay! Kita periksa mereka,"

.

.

.

Jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Kopi Jeremy habis, dan dia tidak ada waktu untuk membuatnya lagi. Dia terlalu sibuk menekan tombol untuk memutarkan kotak musik di Prize Corner setiap lima belas detik sekali. Ya, lima belas detik sekali termasuk memantau area Prize Corner.

Jeremy masih sempat untuk melihat-lihat bagian panggung maupun Parts and Service Room, alias ruangan yang di tempati Animatronic lawas yang tidak berfungsi. Tidak lupa ia melihat sesekali Kid's Covedan Game Area.

"AP—" pekik Jeremy seketika saat menekan tombol untuk melihat Parts and Service Room. Kamera pengintai sedang menyorot salah satu sudut ruangan itu, seharusnya sudut itu berdirilah Bonnie. Sesungguhnya Jeremy tidak ingin melihatnya, tapi kini ia melihat Bonnie sedang duduk. Padahal saat dia ke sana bersama Manajer, Bonnie sedang berdiri.

Tidak hanya Bonnie, di dekatnya ada Chica yang tergeletak. Seingat Jeremy, Chica tidak di situ tadinya. "Ini pasti mimpi," Jeremy mencubit pipinya dan mengeluh sakit.

"Oke, bukan,"

"Mereka benar-benar bergerak,"

Jeremy kembali memutar kotak musik lewat tombol dekat layar televisi. Dan tak bosannya Jeremy melihat keadaan satu persatu ruangan di restoran itu.

"BB masih di sana, mereka masih di sana, dan tidak ada apa-apa. Aku akan baik-baik saja,"

Jeremy menguatkan dirinya sendiri, tak lupa ia menekan saklar lampu ventilasi kiri-kanannya dan menyorot lampu ke arah lorong di depannya.

"Tidak ada apa-apa,"

Walau dia bilang seperti itu, Jeremy tetap was-was dan sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat, wajahnya gugup-tegang, dan sering menelan ludah. Ya, keadaan dia bisa dibilang sangat ketakutan pada malam pertamanya ini, di tempat kerjanya.

Satu jam berlalu, pukul empat pagi ini terasa dingin seharusnya. Apa lagi kipas di atas meja itu masih berputar stabil seperti biasa. Tapi tak mampu meredakan keringat Jeremy yang bermunculan sebesar biji mentimun.

"Uh, aku harap jam enam pagi cepat datang," suaranya tercekat, masih sibuk memeriksa sekelilingnya dan terus memutar kotak musik itu. Jeremy sangat waspada dan menuruti saran orang-entah-siapa-itu.

"Kurasa dia pekerja sebelumku, aku harus berterima kasih padanya," Ujar Jeremy pelan.

Ia lalu memeriksa Parts and Service Room sekali lagi, lewat kamera pengintainya. Sayangnya lampu kamera itu hanya berkedip beberapa kali sekali sehingga terkadang menyita waktu Jeremy untuk memastikan ruangan yang akan ia lihat.

"Hhh, seharusnya lampunya terus menyala setiap aku ingin melihat keadaan," protesnya lalu nafasnya tertahan. "D-di mana Bonnie!?" pekiknya panik.

Jeremy langsung menyinari lorong di depannya, kosong. Lalu menekan tombol lampu yang menyinariventilasi bagian kiri maupun kanan.

Kosong.

Jeremy belum bisa bernafas lega, ia memutar lagi musik di Prize Corner, dan ia melihat ruangan terdekat maupun Parts and Service Room lagi.

Makhluk berwarna Lavender itu ada, duduk, dengan kepala tertunduk, dengan wajah yang masih mengerikan itu.

"Sial, membuat panik saja!"

Malam pertama yang tidak begitu menyenangkan dan juga menenangkan. Betapa sibuknya Jeremy memeriksa ruangan lewat kamera pengintai, lalu mengecek sekitarnya, dan tidak lupa untuk memutar lagu Lullaby di Prize Corner.

Jeremy lambat laun menyadari sesuatu. Ia pernah mendengar dentingan musik ini, namun ia tidak begitu ingat persisnya. My Grandfather's Clock. Hanya itu yang Jeremy ingat, judul lagu yang dimainkan kotak musik itu.

Kepala Jeremy terasa berat dan sakit. "Uhh—"

Diliriknya jam, sudah menunjukan sekitar jam lima pagi. "Sebentar lagi, saja," Jeremy menggeleng-gelengkan kepalanya secara kasar.

Tak bosan-bosannya ia memutar lagu itu lewat tombol yang tersedia di kantornya.

IT'S ME

Sekelebat, Jeremy mendapat bayangan wajah Freddy tanpa mata Endoskeleton-nya. Dan tulisan 'IT'S ME' berada di pikirannya. "Huh?" Jeremy berkedip. "It's me? Apa maksudnya?" dia tidak menemukan jawaban pasti, siapa yang mau menjawab tentunya? Para Animatronic? Jeremy akan terkena serangan jantung jika itu terjadi.

"Uh, akan kulaporkan keluhan dan protesku ini nanti," Jeremy mencoba berdiri dari kursinya yang tidak terlalu nyaman.

"Eh?"

Dia tidak bisa mengangkat tubuhnya, kakinya tidak bisa ia gerakan. Tangannya mencengkram sandaran kursi maupun meja untuk membantu tubuhnya terangkat tapi percuma. Ia seperti terikat di atas kursi itu.

"Apa-apaan ini!?"

Jeremy panik, lagi. Seketika ia mendengar suara gaduh di depannya. Jeremy sigap mengambil senternya dan menyorot lorong di depannya.

Gelap, kosong, tidak ada apa-apa. Ia menekan tombol lampu ventilasi sampingnya, juga tidak ada apa-apa.

Jeremy yakin sekali mendengar sesuatu. Ia menyorot lagi kearah lorong, tepat di depannya.

Tidak ada apa-apa. Jeremy mematikan senternya, dan menatap layar televisinya dan menekan tombol khusus untuk memutarkan musik itu lagi, entah yang keberapa kalinya.

Mata Jeremy menangkap sesuatu, di depan mejanya. Wujud kuning dengan mata gelap seperti kosong. Satu telinganya hilang entah kenapa dan mengapa. Terduduk lesu seperti tidak ada semangat hidup. Tangan kanannya memegang mic, dan kepalanya dihiasi topi hitam.

"Asta—" buru-buru Jeremy memakai topeng Freddy.

Nafasnya berat dan jantung berdetak cepat. Dari mana ia datang? Sejak kapan ia ada di situ? Jeremy tidak tahu. Nafas Jeremy masih memburu. Ia tidak salah lagi melihat Animatronic seperti Freddy namun berwarna kuning keemasan.

Tapi Jeremy yakin itu bukanlah Freddy, tidak ada isinya di dalam Animatronic itu. Tidak adaEndoskeleton dari matanya yang gelap gulita tersebut.

Sedetik kemudian Jeremy tersentak. Makhluk itu menghilang dari hadapannya.

"Eh!?"

Denting jam menggema seisi ruangan. Sepasang jarum jam merentangkan, saling berjauhan ujung dengan ujungnya. Tepat menunjukan jam enam pagi.

"Apa…. Itu tadi?" Jeremy merasa pundaknya lepas, badannya lemas tidak berdaya setelah melepas topeng Freddy itu. Malam pertama ia lewatkan dengan kejutan, melihat bayangan Golden Freddy.

.
.
.

****

.

.

.

"Jadi kau seperti diganggu hantu begitu?"

"Ya! Uh—bukan maksudku untuk berhenti bekerja. Aku ingin bekerja di sini tapi, apa para teknisi tidak membetulkan mereka?"

Jeremy sengaja belum pulang dari apa yang terjadi malam sampai pagi ini tadi. Ia mendatangi ruangan Manajer itu.

"Ehm. Maaf, para teknisi itu sedang tidak ada di kota ini. Jadi kami juga belum bisa mengatasi masalah ini. Pekerja sebelum kau juga memproteskan hal yang sama, dan dia ada di shift siang hari,"

"Ya, aku sudah dengar tentangnya," aku Jeremy.

"Huh? Dari siapa? Aku belum menceritakannya padamu," Manajer memasang ekspresi heran.

"Dari orang yang mungkin bekerja di sini sebelum orang yang pindah shift itu. Semalam ada rekaman yang masuk,"

Manajer terdiam, alisnya menukik tajam seperti tanjakan empat puluh lima derajat. "Apa? Rekaman? Orang sebelum pekerja shift siang, katamu?"

Jeremy mengangguk mantap. "Dengar, Jeremy. Telepon kami rusak, tidak bisa menerima maupun melakukan apa-apa,"

"Y-ya aku tahu, tapi tadi malam bukan halusinasi—"

"Dan tidak ada yang kerja malam selain orang sebelum kau,"

Jeremy terhenti, kini ia yang memasang ekspresi heran yang lebih heran dari biasanya. "Ehm, maaf. Apa maksud Pak Manajer?"

"Selama kami buka, hanya kau dan dia yang pernah menjaga malam di restoran ini. Tidak ada yang lain,"

"Lalu siapa dia, Pak? Pesannya tidak dapat diulang dan langsung terhapus setelah dimainkan," Jeremy memijit pelipisnya, ia merasa dipusingkan dalam hal ini.

"Kalau dia bukan penjaga malam, lalu siapa lagi? Dia sepertinya tahu benar dan mengarahkanku, memberiku saran, seperti seorang senior," lanjut Jeremy.

"Pekerja malam yang sudah berganti shift tidak mengatakan apa-apa soal rekaman, dia sudah datang, panggilkan saja dia dan tanyakan,"

.

.

.

"Kau tahu, tidak ada rekaman apapun pada malam pertamaku. Memang benar aku melewati malam pertama dan baik-baik saja. Tapi mereka berkeliaran seperti di siang hari! Aku lebih menjaga siang hari tentunya. Yang datang pertama kali ke tempatku adalah Marionette itu. Dia berdiri sendirian di depan lorong dan mengamatiku sampai pagi, aku tidak tahu kenapa. Dan jam enam tiba dia menghilang,"

"Tapi—" Jeremy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Karena itu aku pindah shift. Aku harus bekerja dulu,bye!"

"Jadi, kau mau berhenti bekerja atau melanjutkannya? Tentu tetap berjaga malam," tawar Manajer seletah mendengar semuanya.

"Uh, ehm." Jeremy memutar otaknya. Untung saja hari ini tidak ada jadwal kuliah jadi ia bisa istirahat sepuasnya. "Baiklah, aku coba bertahan," gumamnya terdengar oleh Manajernya. "Kami perbaiki teleponnya hari ini, malam nanti sudah bisa kau gunakan. Jika ada apa-apa telepon saja,"

.

.

.

"Hay, Jeremy! Selamat menikmati hari ke duamu di sini,"

Waiter itu lagi-lagi menyapanya lalu pergi, ditambah senyuman yang janggal menurut Jeremy. Dia tidak tahu nama sang waiter, jadi ia memilih untuk diam tak menanggapinya. Jeremy sudah datang dari jam sepuluh malam. Ia terlalu kenyang beristirahat di rumah sementaranya. Jadi ia putuskan untuk berangkat kerja lebih awal.

Tidak mau terulang, ia membawa kopi yang sudah diseduh dalam termos cukup besar. Nantinya ia tinggal tuang ke dalam gelas plastik di kantornya. "Malam kedua! Aku siap!"

.

.

.

Jam menunjukan pukul sebelas malam lebih, tentu semua karyawan belum pulang. Tapi Jeremy sudah duduk manis di kantornya.

"Semoga tidak terjadi apa-apa hari ini," doanya lalu melihat layar televisi khususnya. Jari Jeremy menekan tombol yang akan menunjukan ruang Prize Corner.

Gelap. Layar tidak memunculkan apa-apa selain warna hitam pekat.

"Loh? Rusak?"

Tiba-tiba layar memunculkan pixel-pixel berwarna-warni membentuk sepeti ruangan dengan seisi perabotannya. Mirip ruangan pesta di restoran ini namun dalam bentu pixel seperti game arcade.

"Ha? Game-kah?" Jeremy terheran-heran. Ia menekan tombol kecil pada samping televisi. Empat tombol yang ia tekan membuat salah satu gambar berjalan. Gambar yang berjalan itu nampak seperti beruang berwarna kuning membawa seperti mic di tangannya, tangan kanannya.

"….. Jangan-jangan. Ini beruang yang kulihat kemarin," Jeremy sebenarnya ragu namun ia tetap memainkannya. Ia mendengar suara dari alat elekrtonik di hadapannya itu setiap karakternya berjalan, dan ia melihat ada karakter lain, seperti melayang dan berwarna hitam, berkepala putih.

"…. Apa itu Marionette? Tempat ini pernah membuatgame sendiri? Apa untuk anak-anak?"

Pertanyaan yang tidak terjawab dari Jeremy, ia mau tak mau meneruskan game yang mendadak muncul itu.

Jeremy sadar kalau ia harus mengikuti karakter lain yang berwarna hitam itu, namun tiba-tiba muncul satu karakter lagi berwarna ungu, di dadanya ada warna kuning, dan tangannya yang aneh.

"Huh?"

Karakter yang Jeremy mainkan terhalang makhluk ungu yang berbentuk seperti manusia dalam pixel itu. Lalu layar menghitam kembali dan terdapat garis-garis biru berjalan cepat. Jeremy sempat membaca hurufpixel yang ada di pojok kiri layar di bagian bawah.

YOU CAN'T

"Eh? Game over? Apanya yang tidak bisa—"

Jeremy tersentak.

Ia ingat setiap karakternya berjalan, ada suara seperti mengeja. Ia mengingat ejaan tersebut.

S-A-V-E T-H-E-M

"Save them? You can't? Apa maksudnya?" Jeremy terdiam sebentar. "Mungkin itu kata lain dari Game over. Ups! Sudah jam dua belas malam. Manajer sudah pulang, besok aku akan tanyakan game ini,"

.

.

.

KRIIING

Jeremy tidak terkejut, namun ia hanya melirik kearah telepon itu dan melihat LED menyala warna hijau, bertanda itu adalah pesan.

"Huh? Dari siapa?"

KRIIIING

KRIIIING

Jeremy terpaksa menerimanya lagi.

"Ah…. Hallo, hallo! Uh, hey, sudah saya katakan malam pertamamu tidak akan menjadi masalah. Kau hebat!"

Jeremy entah kenapa justru sedikit kesal mendengar suara ini lagi. Dia pria-yang-entah-siapa-itu kembali menerornya lewat pesan. Seandainya saja Jeremy punya alat untuk kembali merekam apa yang terjadi hari ini, sayangnya di kantornya ini tidak ada kamera pengintai seperti tempat lainnya.

"Uh, sekarang saya yakin kau telah melihat para Animatronic lama duduk di ruang belakang. Uh, mereka itu dari restoran sebelumnya. Kami hanya menggunakannya untuk bagian sekarang. Ide awalnya adalah untuk memperbaiki mereka... Uh, para teknisi bahkan mulai menyesuaikan mereka dengan beberapa teknologi baru, tapi mereka hanya begitu jelek, kau tahu?"

Jeremy mendengus kesal. "Yah, terserah apa katamu,"

"Baunya... Uh, sehingga perusahaan memutuskan untuk membuat yang baru, dengan wajah yang lebih ramah. Uh, mereka yang lebih tua tidak seharusnya mampu untuk berjalan-jalan, tetapi jika mereka seperti itu, trik memakai kepala Freddy yang kosong dapat mengelabui mereka juga, jadi, ya, begitulah,"

Jeremy memutar bola matanya kesal. "Ya, ya, ya," komentarnya.

"Uh... Heh... Aku menyukai para karakter lama. Apakah kau pernah melihat Foxy si bajak laut? Oh, tunggu, tunggu…. Oh yeah, Foxy. Uh, hei dengarlah, dia itu agak gugup,"

"Seperti kau, Tuan entah-siapa-dirimu," celetuk Jeremy.

"Uh... Aku tidak yakin kalau trik memakai kepala Freddy yang kosong itu akan berpengaruh pada Foxy, uh. Jika karena alasan tertentu ia aktif pada malam hari dan kau melihat dia berdiri di ujung lorong, sorot saja menggunakan senter kearahnya dari waktu ke waktuAnimatronic yang lebih tua selalu bingung dengan lampu terang. Dan itu akan menyebabkan restart sistem, atau sesuatu. Uh, kalau dipikir-pikir, kau mungkin ingin mencoba pada setiap ruangan di mana sesuatu yang tidak diinginkan mungkin. Mungkin menahan mereka di tempat selama beberapa detik. Mungkin berlaku juga untuk Animatronic baru,"

"Terima kasih atas sarannya," Jeremy mendengus kesal lagi.

"Satu hal lagi, jangan lupa kotak musik. Jujur saja, saya tidak pernah menyukai Marionette itu. Dia selalu... berpikir, dan bisa pergi ke mana saja... Menurutku topeng Freddy tidak akan bisa menipunya, jadi jangan lupa kotak musiknya. Pokoknya, aku yakin malam ini tidak akan menjadi masalah. Uh, selamat malam, dan berbicara lagi denganmu besok,"

"Besok? Okay! Aku akan membawa orang lain untuk menjadi saksi!" Jeremy rupanya kesal karena tidak ada yang kenal dengan orang yang memberikan pesan ini. Terlebih Manajernya tidak tahu siapa dia—yang memberi pesan itu.

Satu jam berlalu, Jeremy sudah terbiasa dan hapal detik kapan ia harus memutar kotak musik itu, dan kapan ia harus mengecek yang lain.

Jeremy menyeruput kopinya yang sudah ia tuangkan dalam gelas sembari mengecek satu persatu ruangan.

Parts and Service Room.

Jeremy hampir tersedak kopi yang ia minum setelah melihat ruangan ini dari kameranya. Ia tidak melihat apa-apa di ruangan itu. Yang berarti Bonnie yang seharusnya terlihat paling jelas di situ, telah menghilang.

"Astaga, ke mana dia!?" Jeremy memeriksa ruangan lainnya. Jeremy menemukan sosok Bonnie berada diMain Hall dekat dengan ruangan pesta ke empat. Jeremy meneguk saliva-nya sendiri.

"Hiiy!"

Jeremy bergidik saat melihat Kid's Cove, terlihat jelas Mangle sedang menggantung di sana. Ia yang tak punya badan, kenapa bisa berjalan—lebih tepatnya menggantung seperti itu? Seharusnya dia ada di ruangan yang sama dengan Animatronic lama!

Kabel yang menggantung dari tubuh abstraknya itu, terlebih matanya yang menatap ke arah kamera, membuat Jeremy memutuskan untuk kembali melihatPrize Corner dan memutar musik lagi.

"Mereka bergerak, uh, sial!" umpat Jeremy sambil menyalakan senternya untuk memastikan sekitarnya aman.

Kembali lagi ke Parts and Service Room, bukan kelaptop, belum lahir laptop pada tahun 1987 ini. Jeremy melihat Chica, tepat di ruangan itu. Dan ia mencari sosok Bonnie yang ternyata sudah pindah dari tempatnya yang tadi berada di Main Hall.

Jeremy buru-buru menyalakan senternya mengarah lorong di depannya. Seketika itu juga Jeremy menahan nafas dan memandangi sosok jauh di sana. Warna Lavender-nya samar-samar. Bonnie ada di hadapannya, memang jauh tapi tetap saja menyeramkan.

Jeremy melirik televisinya, lalu menekan tombol untuk memutarkan musik. Untung ia masih ingat kotak musik itu dan saran dari entah-siapa-dia. Jeremy masih waspada dengan makhluk ungu di ujung lorong sana.

Seandainya ia bisa pergi dari sini, sudah ia lakukan semenjak Bonnie menghilang. Manajer pernah bilang, untuk tidak pergi sebelum jam kerja selesai. Terlebih kursi ini dengan ajaibnya seperti mengunci Jeremy, pria itu tak bisa ke mana-mana.

"Baiklah, kau bisa lakukan ini, Jeremy!" ia menyemangati dirinya sendiri, tentu karena ia sendirian di restoran ini.

Ia menyinari lorong laknat itu lagi, tidak ada apa-apa. Tak lupa melihat samping kiri dan kanan ventilasididekatnya. Tidak ada yang mencurigakan. Jeremy tidak bosan-bosannya memutar My Grandfather's Clockdi Prize Corner.

Satu jam berlalu lagi, kini angka dua di tunjuk oleh jarum jam yang lebih kecil. Jeremy sesekali membuka mulutnya, melepaskan karbon dioksida dari dalam tubuhnya melalu mulut.

'Hi!'

Matanya terbelalak, tak salah lagi kupingnya mendengar suara sapaan menggema dari sudut ruangan ini, seperti suara anak kecil. Jeremy langsung memasukkan kepalanya ke dalam topeng Freddy yang siap sedia di sampingnya. Di dalam topeng itu, jarak pandang dan pergerakan Jeremy terbatas.

Jeremy tidak dapat menyinari lorong di depannya ketika memakai topeng itu, dan jarak pandang Jeremy tidak luas. Jeremy merasakan ada yang datang.

"Hhh…. Hhhahhh…" nafasnya memburu. Iya yakin suara sapaan itu dekat sekali dengannya. Seketika itu lampu dalam kantornya meredup. Mata Jeremy dapat melihat sesuatu, dari ke dua lubang topeng Freddy.

Badan yang besar, seungu bunga Lavender. Tangan kirinya tidak ada, hanya ada kabel yang menjuntai tak karuan, cara berdirinya yang seperti waria. Jeremy tidak akan menyangka kalau Bonnie ada di depannya sekarang, detik ini juga.

Wajah Bonnie tidak ada, memang. Namun Jeremy dapat merasakan kalau Bonnie sedang menatapnya, sepasang LED merah dari dalam kegelapan kepalanya itu membuat bulu kuduk Jeremy menegang.

Jeremy menutup matanya, berharap ini hanya mimpi. "Fuuuuh," ia hembuskan nafasnya pelan. Seketika itu ruangan kembali terang dan Bonnie tidak ada di hadapannya saat Jeremy memberanikan diri membuka matanya. Ia dengan cekatan melepas topeng Freddy.

Jeremy langsung menekan lagi tombol untuk memainkan musik di ruangan khusus itu. Dan sekalian melihat ruangan lainnya. Mengecek bagian dalam ventilasi kiri-kanannya. Lalu mengecek ruangan yang selalu terdapat pergerakan dari mereka; Parts and Service Room.

Tidak ada yang berubah, Bonnie sudah duduk di tempat semula. Jeremy melihat ruangan lainnya, yaitu kamera yang menyorot kearah panggung. Satu dari tiga Animatronic itu menghilang.

"Sial—Toy Chica, di mana dia?"

Jeremy untung masih sempat memutarkan musik untuk sang Marionette lalu kembali mencari Chica. Dan setiap ada Animatronic yang hilang atau ada bunyi-bunyi mencurigakan, Jeremy dengan sigap menyinari atau langsung memakai topeng Freddynya.

Ia bertahan dari teror yang dibuat Animatronic.Jeremy merasa mereka sangat berbahaya, instingnya merasa demikian. Ia ingat kalau pria yang memberinya pesan telah mengatakan; 'sesuatu' tentang robot melihatmu sebagai Endoskeleton tanpa kostum, dan ingin menjejalkanmu ke dalamnya.

'SESUATU' dan MENJEJALKAN, Jeremy mencerna kalimat itu matang-matang. Dalam arti para Animatronic ini seperti mesin pembunuh saat malam. Tidak untuk siang hari. Jeremy sadar, ini adalah pekerjaan terburuk di dunia. Digaji kecil, taruhan nyawa, tidak ada jaminan, dan terakhir untuk menjaga supaya mereka tidak keluar restoran, mungkin.

Bayangkan saja kalau tidak dijaga. Mereka akan keluar, berjalan-jalan di tengah kota. Membuat teror yang lebih parah. Jeremy tidak tahu harus sedih atau justru ingin menghancurkan para Animatronic ini. Jeremy pun tak kuasa, ia baru dua hari bekerja di sini. Dan sudah mendapat ujian yang luar biasa di luar khayalan manusia manapun.

Satu jam yang mencekam ia lewati. Masih ada tiga jam lagi dan ia harus melaporkannya pada Manajer. "Mereka semakin aktif—ugh!"

Jeremy melindungi dirinya sendiri dari sosok biru muda yang tersenyum manis. Pipinya merona merah, mata besar dan dihiasi bulu mata plastik itu. Penampilan mereka benar-benar menipu. Toy Bonnie berjalan secara horizontal di hadapan Jeremy. Seakan ia mencari sisi lemah Jeremy.

Tidak hanya Toy Bonnie, terkadang Mangle muncul di lorongnya. Membuat Jeremy ingin sekali berteriak meminta pertolongan.

Pertolongan? Percayalah, Jeremy sudah mencoba menelepon Manajer maupun temannya. Telepon itu tidak berfungsi sama sekali.

Demi apapun, Jeremy membenci suara anak kecil yang menyapanya sedari tadi, terkadang tertawa sekali. Suaranya jelas jika Balloon Boy itu muncul diventilasi bagian kiri.

Malam ini Jeremy seperti sedang lari marathonselama dua puluh delapan jam. Tapi, rambut maupun kondisi badannya tidak sebagus yang iklantampakkan. Jeremy seperti mandi keringat dingin. Ia bersyukur juga kalau para Animatronic tidak punya indra penciuman seperti anjing. Hanya punya pendeteksi entah apa itu seperti yang dibicarakan oleh pria misterius yang mengoceh dari telepon.

Tak terasa kalau satu jam lain telah berlalu. Jeremy masih punya dua jam ke depan untuk bertahan. Yang membuat tak terasa adalah untuk memutar kotak musik itu dan melihat sekelilingnya dengan sangat amat waspada. Jeremy masih menyemangati dirinya. Hanya untuk hari ini saja, dan saat pagi tiba ia akan benar-benar meng-komplain-kan semua.

Sensasi aneh terkadang dirasakan Jeremy. Kepalanya pusing, dan seperti hari pertama ia mendapat visionaneh di kepalanya. Seperti melihat kata-kata itu lagi;'IT'S ME'. Tidak hanya itu, wajah Animatronic yang muncul terkadang Bonnie maupun Freddy, tanpa mata.

Kali ini sensasi itu muncul kembali. Dan melihat Freddy berwarna kuning dalam benaknya. "Nghh!" erangnya sambil menahan rasa sakit kepala yang dideritanya. Jeremy bersumpah besok jika ia masih ingin bekerja di sini, ia akan membeli obat sakit kepala dulu sebelum bekerja.

'Save him!'

Samar-samar telinganya menangkap perkataan itu. Suara parau yang ter-distorsi itu membuat sakit kepala Jeremy lenyap. "AH! Musiknya!"

Jeremy terburu-buru melihat Prize Corner dan menekan tombol untuk memutarkan lagu kesayangan Marionette. Jeremy membeku, matanya tertuju pada senyum joker yang mengembang pada kepala putih itu. Menyembul keluar dari kotak besar tempat ia tidur.

Jeremy sadar, Marionette itu terbangun dari tidurnya. Suara tenggorokan yang sedang menggiling salivakembali ke dalam tubuhnya itu terdengar jelas. Jeremy mencoba melihat ruangan lain, untuk mengalihkan rasa takutnya.

Saat kembali melihat Prize Croner, hanya untuk melihat apakah dia sudah masuk kembali ke dalam tempatnya tidur atau justru keluar. Jeremy bernafas lega, Marionette tidak ada dan kotak itu tertutup lagi. Jeremy tak lupa untuk memutarkan lagu itu kembali.

Pukul empat pagi. Jeremy semakin berkeringat, lebih dari hari pertamanya. Para Animatronic itu satu persatu mendatanginya. Entah itu Foxy, Mangle, Bonnie, Chica. Maupun para Animatronic baru lainnya. Dan Jeremy pun bersyukur, Freddy maupun Toy Freddy tidak ikut mengunjunginya. Jeremy merasa sang maskot Animatronic itu kalem dan tidak suka berjalan-jalan.

.

.

.

Tubuhnya terasa terguncang, suara-suara itu membawanya ke alam sadar.

"Jeremy?"

Suara Manajer membangunkannya. "Huh?"

"Kau ketiduran?"

Jeremy mengumpulkan nyawanya yang berceceran, dan sekaligus mengumpulkan kesadarannya. "Uhm, mungkin? Jam berapa ini, Pak?"

"Jam delapan pagi," balas Manajer singkat. "Eh—aku ketiduran? Maaf, Pak!" Jeremy langsung berdiri dari tempat ia duduk. "Loh, aku bisa berdiri," tuturnya spontan. "Ha? Apa maksudmu?"

"Ah, iya, Pak! Saya bercerita jujur, saya tidak pernah berbohong selama kerja di sini—dari malam kemarin dan juga malam ini saya tidak bisa berdiri dari kursi saya, Pak! Dan—teleponnya kembali tidak berfungsi! Tapi saat tengah malam, pria itu mengirim pesan lagi," Jeremy melapor seperti bawahan kepada sang kapten.

"Sungguh?" Manajer mengangkat gagang telepon. Terdengar suara bunyi panjang tak berujung. "Lalu suara apa ini?" Manajer memencet angka-angka dengan sembarang lalu menutup teleponnya kembali. "Kau yakin ini tak berfungsi?"

"L-loh? Tapi sumpah, Pak! Semalam saya tidak bisa menghubungi siapapun dan para Animatronic itu berkeliaran lebih sering dari kemarin malam!" Jeremy menjelaskan dengan tegas.

"Dengar, Jeremy. Kami tidak punya tempat kosong lainnya jika kau memang ingin pindah shift, pilihan lain kau berhenti bekerja di sini,"

Jeremy terdiam sejenak dan meminta maaf. Disaat itu juga ia melihat waiter itu mengintip di ujung lorong sana.

.

.

.

Sebelum Jeremy pulang, ia menyempatkan diri melihat para maskot beraksi di panggung. Trio maskot itu seakan sedang bernyanyi, walau lagu itu hanya lipsync. Gerakan mereka sangat terlihat seperti robot, patah-patah dan membosankan. Tapi Jeremy tidak heran, dia pernah menjadi anak kecil tentunya, ia pernah menyukai hal seperti itu dulunya.

'Bagaimana bisa Animatronic seperti mereka bisa menjadi sangar di malam hari?'

Jeremy masih belum menemukan jawabannya.

.

.

.

"Bagaimana kerjamu?"

"Buruk,"

Teman Jeremy menyambutnya saat datang ke tempat tinggal sementaranya itu. "Sudah kuduga, apa pekerja lainnya meremehkanmu? Atau ada sesuatu?"

"Sesuatu. Kau tahu insiden yang terjadi dulu di restoran itu, 'kan? Aku hanya tahu kalau lima anak kecil hilang di restoran yang dulu,"

Jeremy menatap teman dekatnya itu. "Itu, insiden itu yang membuat mereka dipaksa tutup. Freddy Fazbear's Pizza sudah ada sejak kita kecil dan tidak terlalu terkenal. Namun aku pernah ke sana waktu kecil, yang paling ditunggu adalah kemunculan Foxy si bajak laut,"

"Dia ada di tempat kerjaku. Tidak mau diam saat malam, seperti sedang mencari makan," Jeremy tidak tahan untuk menceritakannya juga.

"Sungguh!? Tapi, tapi Foxy, dia walau berperan sebagai bajak laut, dia baik. Ada juga kelinci dan bebek, dan Freddy sendiri. Mereka suka bernyanyi di atas panggung,"

"Bukan bebek, dia ayam. Bonnie, Chica dan Freddy. Kau kangen dengan mereka? Lupakan saja, bentuk mereka sudah buruk rupa," Jeremy menghela nafasnya.

"Jadi…. Mereka benar-benar bergerak di malam hari?"

Jeremy mengangguk dan menceritakannya. "Mereka belum diperbaiki sejak datang ke restoran itu. Justru pemilik restoran membeli Animatronic baru yang lebih terlihat ramah. Memang terlihat ramah, tapi kelakuan mereka masih sama. Sama-sama suka berkeliaran saat malam. Mencari orang-orang. Atau mereka malah mencari makan," Jeremy mengangkat bahunya.

"Jadi insiden itu disebabkan oleh mereka adalah benar. Tapi ada yang mengatakan bahwa pegawainya yang melakukannya. Aku sendiri tidak tahu pasti," temannya itu ikut mengangkat bahunya.

"Memangnya apa yang terjadi?" Jeremy bertanya penuh penasaran.

"Ada lima anak, saat di dalam restoran itu sedang menikmati pertunjukan Foxy. Hanya lima anak itu dan Foxy dalam ruangan. Selanjutnya mereka tidak ditemukan di manapun. Diduga Foxy rusak atau dikendalikan oleh seseorang. Sampai berhari-hari ke lima anak itu tidak ditemukan. Lalu Freddy saat itu warnanya kuning,"

"Tunggu! Golden Freddy, maksudmu?" Jeremy memotong, mendapati jawaban positif dari temannya, Jeremy langsung menelan ludah. "Dia muncul di hari pertama aku bekerja, padahal pihak restoran tidak membawanya,"

"Uh, kalau aku jadi kau, aku berhenti bekerja di sana. Oke, kita lanjut. Golden Freddy itu mengeluarkan bau tidak enak, dan membuat para orang tua komplain. Dan yang benar saja, dari matanya Golden Freddy ternyata ada sedikit bercak darah dan lendir! Tidak hanya Golden Freddy, semua Animatronic juga. Tapi polisi tidak dapat menemukan tubuh lima anak itu. Darah itu ternyata memang berasal dari anak-anak yang hilang saat diselidiki. Sejak kejadian itu, berbagai pihak meminta Freddy Fazbear's Pizza ditutup. Dan tidak beroperasi lagi selama bertahun-tahun,"

Jeremy manggut-manggut. "Jadi pembunuhnya belum ditemukan?"

"Belum, entah itu pekerjanya atau para maskot yang melakukannya. Polisi tidak sanggup mengungkapkannya. Jadi kau masih mau bekerja di sana?"

"Walau aku takut setengah mati setelah dua malam diteror oleh mereka. Entah kenapa aku masih penasaran. Maksudku, kemarin sebelum aku memulai jam kerjaku. Televisi yang kugunakan tahu-tahu memainkan suatu game yang sepertinya tentangrestoran itu sendiri. Saat kutanya pada Manajer, dia tidak tahu apa-apa. Dan aku meminta kalau seandainya dia mau bukti bahwa aku tidak berhalusinasi, aku akan membawa teman untuk berjaga denganku. Dia menolak,"

"Hmm, ya sudah. Itu hakmu, kawan. Tapi, aku benar-benar khawatir kalau kau masih bekerja di sana. Sampai sekarang pembunuh itu belum ditemukan masalahnya,"


******


.

.

.

"Kali ini saya pastikan telepon berfungsi. Semua kamera tidak rusak, dan semua Animatronic ada pada tempatnya. Saya sebenarnya sudah bosan menerima laporan bahwa mereka berjalan-jalan di malam hari. Mereka memang tidak punya 'modus malam'. Tapi mereka tidak akan berbuat sejauh itu,"

Hanya itu yang manajernya bilang. Membuat Jeremy pasrah akan pekerjaannya ini. Jam hampir memperlihatkan jarum jam yang menyatu jadi satu. Jam dua belas malam.

Namun Jeremy lagi-lagi melihat alat elekroniknya menampakan game yang berbeda malam ini. Kali ini Jeremy melihat karakter yang ia mainkan adalah Marionette. Makhluk hitam-putih yang menangis-tersenyum itu. Mau tak mau Jeremy menggerakan sang Marionette.

GIVE GIFTS.

Begitulah yang tertulis di pojok kanan atas dengan ciri khas game arcade. Di suatu ruangan, hanya ada Marionette dan empat buah entah apa itu berwarna abu-abu. Di tengah ruangan ada kado merah-putih. Tampaknya kado itu diletakkan di dekat empat makhluk entah-apa-itu yang berwarna abu-abu. Kado itu terus ada sampai ke empatnya mendapatkannya.

GIVE LIFE.

Tiba-tiba game berganti mode. Jeremy menatap heran, ia kira sudah selesai permainannya, ternyata belum. Jeremy awalnya bingung. Lalu ia menggerakan karakternya mendekati empat makhluk abu-abu, masih sama dengan game sebelumnya. Namun kali ini ketika mendekati satu makhluk abu-abu itu, kepala mereka berubah warna. Yang pertama berwarna ungu, persis seperti Bonnie.

Yang ke dua berwarna kuning seperti Chica. Ke tiga berwarna coklat seperti Freddy. Jeremy mengerutkan alisnya. Ia tahu kalau game ini seperti menunjukan sesuatu. Ia merasa karakter yang ia gerakan sangat lambat.

Yang terakhir berwarna merah, seperti Foxy.

Seketika itu juga kepala Golden Freddy muncul di layar, menutupi seluruh layar televisi. Benar-benar mengejutkan Jeremy, terlebih suara teriakan melengking dari televisi itu. "Whuaaah! Apaan itu!?" pekiknya.

Jeremy bersumpah, sebelum ia melihat kepala Golden Freddy yang kosong itu muncul di layarnya, ia melihat di tengah-tengah layarnya ada satu lagi makhluk abu-abu itu.

"Ada lima makhluk—tunggu, aku juga mendengar ejaan tadi," ingatnya. Jeremy mendengar jelas ejaan saat game berlangsung tadi. Hampir sama sepertigame yang ia mainkan kemarin.

H-E-L-P T-H-E-M

"Menolong siapa?" Jeremy bergumam.

KRIIIIING

Jeremy terlonjak. Ia yang sedang asik-asiknya memikirkan apa yang menjadi misteri di restoran ini dan sembari memutarkan kotak musik itu terkejut mendengar deringan telepon. "Dia lagi, huh?" tebaknya.

Jeremy sedikit malas menerima pesan entah-dari-siapa-itu.

KRIIIIING

Jeremy menyeruput kopinya terlebih dahulu.

KRIIIING

Jeremy menerima pesannya.

"Hello, hello! Lihat? Sudah kubilang kau tidak akan memiliki masalah! Apakah... Uh... Apakah Foxy pernah muncul di lorong? Mungkin tidak. Saya hanya ingin tahu. Seperti yang saya katakan, dia selalu favorit saya. Mereka mencoba untuk membuat ulang Foxy, kau tahu? Uh, mereka pikir dia terlalu menakutkan, sehingga mereka di desain ulang, dia menjadi terlihat lebih ramah dan menempatkannya di Kid's Cove. Untuk menjaga anak kecil dan menghiburnya, kau tahu..."

"Tapi anak-anak zaman sekarang tidak bisa menjaga tangan mereka untuk diri mereka sendiri. Staf menempatkan Foxy kembali setelah setiap shift. Jadi akhirnya mereka berhenti mencoba dan meninggalkannya karena beberapa anak tetap 'membongkar dan memasang kembali' tubuhnya. Sekarang dia hanya tinggal beberpa bagian saja. Saya pikir karena itu karyawan menjulukinya sebagai 'The Mangle.' Uh ..."

"Kau tahu banyak, ya," Jeremy menghela nafasnya. "Tetap saja kami tidak tahu kau,"

"Oh, hey, sebelum aku pergi, uh, saya ingin meringankan pikiranmu mengenai rumor yang mungkin telah kau dengar akhir-akhir ini. Kau tahu bagaimana cerita-cerita lokal datang dan pergi dan kadang tidak berarti apa-apa. Saya pribadi dapat meyakinkan kau bahwa, apa pun yang terjadi di luar sana, dan bagaimanapun tragisnya mungkin, tidak ada hubungannya dengan apa yang kami dirikan. Hanya saja semua rumor serta spekulasi itu...orang yang mencoba untuk menghasilkan uang. Kau tahu…. Uh, penjaga pada siang hari telah melaporkan hal-hal yang tidak biasa. Dan dia menjaga sampai tutup."

"Oke, baiklah, bertahanlah di sana dan saya akan berbicara denganmu besok lagi,"

Jeremy menghela nafas sekali lagi. "Aku tidak begitu mengerti. Ya, sampai besok, pria-entah-siapa-dirimu,"

"Malam ke tiga, aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan lagi. Semoga tidak terjadi apa-apa,"

Tidak bosan, Jeremy selalu melihat ruangan bernamaPrize Corner dan memutarkan kotak musik itu. Selalu, setiap lima belas detik sekali. Jarinya pun sudah terbiasa, dan kecepatannya dalam menekan tombol-tombol patut diacungi jempol. Dia sanggup memeriksa sekeliling lalu memeriksa setiap ruangan dengan cepat.

"Hmmm, tidak ada apa-apa, hampir jam satu pagi, syukurlah,"

Jeremy menyeruput kopi hangatnya, selalu ia bawa dari rumah. Kali ini dia juga membawa obat sakit kepala. Ia tidak mau kehilangan fokusnya.

Jarinya menekan tombol senter, demi menyinari lorong di depannya.

"UHUK!"

Ia tersedak. Bukan, bukan karena di hadapannya ada Bonnie atau siapapun. Tidak ada apa-apa di depannya. Ia tersedak karena kopinya mengandung sesuatu. "Uhuk—"

Ia merogoh rongga mulutnya sendiri. Jarinya mencari benda yang menyangkut dalam mulut menuju tenggorokkannya. "Ugh—"

Matanya berair, ia merasa seperti ingin muntah namun tak bisa, ia ingin bangun dari tempat duduknya namun tak bisa. "Aghhhh! Uhuk!"

Jeremy mendapat benda yang menyumbat di antara mulut dan tenggorokkannya. Ia mengeluarkannya secara perlahan. Dan terlihatlah benda hitam berbentuk silinder, panjang, dan di dalamnya seperti ada serabut.

"Kh—kabel?"

Jeremy buru-buru melihat isi gelasnya. Cairan coklat pekat itu terlihat normal. "Dari mana kabel ini berasal?!" ia meletakan kabel yang sepanjang sekitar lima-tujuh sentimeter di atas mejanya. Matanya menangkap bayangan hitam dari atas. Jeremy tidak mau menengok keatasnya, tidak sebelum ia memakai topeng Freddy yang senantiasa menemani kerjanya.

Ia masih bisa melirik keatas, sedikit. Kabel yang menjuntai membelai topengnya. Suara mesin yang aneh menderu pelan. Ruangan menjadi redup seketika.

'Mangle!? Sejak kapan ia ada di sini!?' Jeremy mengumpat dalam hatinya. Ia lengah, namun Mangle tidak berlama-lama ada di kantornya. Mungkin karena Jeremy dengan cepat memakai topeng penyelamat hidupnya itu. Atau Mangle hanya mempermainkannya?

"Aduh! Kotak musiknya—"

Jeremy membeku. Lagi-lagi ia melihat Marionette, kepalanya menyembul keluar dengan menawannya. Senyumnya tak pernah absen dari wajahnya. Jeremy sigap memutarkan lagu kesayangan sang Puppet. Tak lupa ia melihat ruangan lainnya. Semua Animatronic masih pada tempatnya. Jeremy bernafas lega, terlebih Marionette kembali tidur di dalam kotaknya.

.

.

.

Jam tiga pagi. Jeremy heran, ia hanya diganggu oleh Mangle saja. Yang lain masih pada tempatnya—walau terkadang ada saja yang jalan. Namun tidak mendekati kantornya.

"Ahahahah!"

"Suara ketawa itu—" Jeremy menyalakan lampu padaventilasi kanan, tidak ada apa-apa.

Jarinya menekan lampu bagian kiri ventilasi. Wajah sumringah dari robot berbentuk anak kecil muncul. Mata birunya berbinar, pipi bulat merah merona memberi kesan lucu. Tapi, sesungguhnya dia sama sekali tidak lucu. Jeremy yakin di balik wajah bahagianya itu, Balloon Boy termasuk Animatronic yang berbahaya.

Reflek Jeremy sangat bagus. Ketika ia melihat wajah sumringah dari robot itu, ia tanpa basa-basi memakai topeng Freddy. Balloon Boy memang tidak terlalu suka berkeliaran, karena tugasnya memberikan balon kepada anak-anak. Tapi, karena insting Jeremy mengatakan bahwa BB cukup berbahaya, Jeremy tidak bisa menolak untuk melindungi dirinya sendiri.

Tidak terlalu lama untuk menunggu BB pulang ke tempat asalnya. Tak ingin nyawanya terancam lagi, Jeremy buru-buru memutarkan kotak musik itu.

IT'S ME

Lagi-lagi, bayangan itu muncul. Membuat kepala Jeremy merasa sakit. Sebelum ia meraih obatnya, ia memastikan bahwa sekitarnya aman. "Uh, lagi-lagi seperti ini,"

Jeremy terpaksa meminum obat yang ia bawa. Lalu kembali beraktivitas seperti biasa, walau sakit kepalanya tidak langsung hilang tentunya.

'Hi!'

Suara anak kecil menggema sekali lagi. Jeremy menyorot sekelilingnya, termasuk lorong di depannya. Nafasnya tercekat.

"Foxy?"

Makhluk merah itu berdiri di ujung lorong. Kepalanya menunduk, namun eyepatch hitamnya tak dapat disembunyikan. Begitu juga dengan hook di tangan kanan sang rubah besi. Jeremy tentu mengikuti saran dari pria-entah-siapa-itu.

"Uh, okay. Mereka mulai bergerak,"

Foxy memang sudah menghilang dari hadapan Jeremy. Namun saat setelah memutar musik dan melihat bagian Parts and Service Room. Mata Jeremy berkedip, melihat yang duduk di sana bukanlah Bonnie. Walau warnanya masih senada dengan Bonnie, tapi ia lebih gelap. Kepalanya dihiasi topi hitam kecil.

"Eh? Siapa dia? Freddy? Tapi, kok hitam-keunguan?" Jeremy bergidik dan langsung mengganti kamera ke bagian panggung.

Tiga Animatronic sang penguasa panggung, hilang. Tiga-tiganya.

"APA?!" Jeremy tidak bisa menahan paniknya. Ia gusar, memeriksa seluruh ruangan. Walau ia menemukan Toy Chica yang sedang ada di ruangan pesta ke empat. Tersenyum kearah kamera sambil membawa cup cake sepeti biasa. Namun matanya berwarna hitam pekat, dan paruhnya tidak ada.

"Paruhnya ke mana?" Jeremy tahu pertanyaan itu sangat tidak penting sekarang, yang ia tahu pasti bahwa teror terjadi lagi. Dia sudah tidak kaget lagi dengan kursi yang melarangnya pergi, dan sudah tidak asing lagi dengan suara maupun aura ganjil di sekitarnya.

Toy Bonnie datang, Jeremy bertahan di dalam topengnya. Toy Chica datang, Jeremy masih bisa bertahan dan tetap bisa memutarkan musik hanya untuk Marionette yang harus tidur nyenyak.

Jeremy sangat tidak suka di saat lampu yang menyinari kantornya itu meredup. Tepat di depannya ada tubuh besar ungu yang tak memiliki wajah, hanya rahang dan giginya terlihat jelas. Dia sangat amat tidak suka melihat kepala Bonnie, seakan ia melihat mimpi paling buruk dalam hidupnya.

Para Animatronic datang silih berganti. Membuat Jeremy beranggapan bahwa mereka semua mencoba untuk mengganggunya supaya tidak sempat memutarkan musik di ruang Prize Corner. Dan ia sering mendengar suara static saat Mangle muncul seakan mengatakan; TEN ONE. Jeremy tidak tahu apa maksudnya itu. Jeremy masih bisa bertahan, selama topeng Freddy ada padanya. Dan semuanya masih bisa ia kontrol, memutar musik dan bersembunyi di balik topeng.

Satu jam penuh Jeremy di teror, tidak ada waktu untuk memperdulikan kepalanya yang mulai terasa pusing lagi. Tidak ada waktu untuk menuangkan kopi barunya dalam gelas. "Jam empat pagi dan mereka semakin aktif," gumam Jeremy sangat pelan dari balik topengnya. Nafasnya justru lebih terdengar dari kata-katanya barusan.

Dia sedang berhadapan dengan Freddy. Perut buncit berwarna coklat itu terlihat dari lubang mata topengnya. Kalau saja Jeremy bisa berdiri, mungkin ia akan melawan Animatronic itu, jika ia bisa.

Lampu kembali terang, menandakan Animatronic itu pergi. Jeremy juga sedikit heran, apa mereka mengacaukan sistem listrik sehingga lampu dapat meredup ketika mereka datang? Anggap saja iya.

'Hello!'

Lagi-lagi, suara anak kecil menyapanya. BB bersuara, tapi belum tentu yang muncul adalah BB itu sendiri. Sudah keberapa kalinya ia mendengar suara BB namun yang ada di lorong maupun ventilasi bukanlah BB. Bisa saja ada Foxy, Bonnie, maupun yang lain.

"A-aduh-duh!" Jeremy bergidik, tak bisa di tahan bulu romanya berdiri. Bahkan sampai bulu di tangannya ikut berdiri.

Baru kali ini Jeremy merasakan seperti ini, dalam karirnya. Ia mendapat panggilan alam yang tak terduga. Sungguh hal yang tak terduga ini yang di benci Jeremy. "Si-siaaaal!" umpatnya. Kalau saja kursi ini dapat ia bawa walaupun menempel pada bokongnya. Panggilan alam ini sangatlah mengganggu konsentrasinya.

"Ce—cepatlah jam enam pagi!" erangnya menahan hasrat ingin buang air kecil. Diduga Jeremy terlalu banyak minum. Bagaimana tidak, ia harus meminum obat sakit kepala dan meminum kopi.

Tangan Jeremy semakin cekatan, antara memutar musik, melihat ruangan, dan melihat sekelilingnya. Keringat dingin menyelubungi kulitnya, dari kepala sampai ujung kakinya. Rasanya tersiksa untuk menahan, namun jika ia keluarkan disini juga, dia pasti menanggung malu.

Hawa dingin dari cuaca pagi buta dan kipas angin menambah bulu romanya berdiri, bergidik—menggigil karena menahan rasa ingin membuang air kecil.

"Argh!" Jeremy mematikan kipas angin di depannya. Ia tidak mau semakin 'menggigil'. Detik demi detik Jeremy lewati terasa lebih lama. Tapi, syukurlah ia masih bisa berkonsentrasi melakukan pekerjaannya.

Sempat Jeremy berpikir besok ia akan membawa botol atau tempat khusus, sehingga kejadian seperti ini tidak akan menghalanginya bekerja. Tapi pikiran itu segera ditangkisnya, besok ia berencana tidak akan duduk di kursi aneh ini lagi.

.

.

.

"Kau terlihat… tidak sehat, kenapa?" Manajer menepuk bahu Jeremy, anak buahnya yang satu itu terlihat lesu, urakan dan juga kantung mata yang menghiasi bagian bawah matanya.

"Ehm, mereka semakin aktif di malam hari. Dan kursi itu membuatku tidak bisa bergerak leluasa, Pak. Aku tidak bohong dan juga berhalusinasi. Aku tidak pernah memakai obat terlarang juga," Jeremy tertunduk lesu.

Manajer merasa iba, sangat iba. "Baiklah, terserah kau jika masih ingin bekerja di sini atau tidak. Kalau masih mau bekerja, besok datang lebih awal dan langsung menemuiku,"

.

.

.

HELP THEM

SAVE THEM

SAVE HIM

SAVE—

YOU CAN'T

IT'S ME

"Hhhhaaaahhh!"

Jeremy terbangun dari mimpi anehnya. Nafasnya sesak, badannya mengeluarkan bulir-bulir keringat di pelipisnya. Mimpinya terasa seperti nyata. Jeremy seakan berada di dalam tubuh Freddy, di panggung bersama Chica dan Bonnie. Kata-kata itu terus terngiang. Panggung yang ia mimpikan berbeda dengan panggung di mana ia bekerja. Seakan dia itu Freddy.

"Mimpi… tadi?"

Jeremy menutup matanya, menenangkan dirinya. Ia sangat ingat, pandangan dirinya seperti sedang memakai topeng Freddy namun ia berada di panggung, bukan kantornya. Bonnie memiliki wajah utuh juga tangannya, sedangkan Chica masih bagus, tangan juga utuh. Awalnya mereka berdua menghadap kearah meja yang terjejer rapih dengan topi pesta berbentuk kerucut yang berbaris di atasnya.

Namun lama kelamaan, Bonnie dan Chica menggerakan kepalanya. Melirik kearah Jeremy yang berada di dalam tubuh Freddy. Semakin lama, Bonnie dan Chica benar-benar menatap kearah Jeremy. Tatapan mereka seperti tatapan tidak suka dan kesal, walau temaram dan tak dapat melihat langsung ke dalam mata Endoskeleton itu. Tak lama kepala Marionette melayang di antara mata Jeremy—yang memakai topeng tentunya.

Seketika itu Jeremy merasa sesak dan terbangun dari mimpinya.

.

"Jadi, kau masih ingin bekerja di sini?"

Jeremy mengangguk mantap. "Ya,"

"Kenapa? Setelah semua yang kau hadapi, kau masih bisa bertahan, aku salut. Tapi, ini bisa menyangkut nyawamu sejujurnya," sang manajer menatap serius.

"Ah, ya. Mungkin? Firasatku mengatakan mereka berbahaya. Tapi saat siang hari dan melayani anak kecil, mereka terlihat biasa-biasa saja. Karena itu saya penasaran,"

"Karena itu. Sebenarnya, ada beberapa hal yang belum kuberi tahu padamu,"

Jeremy mendengarkan seksama.

"Kau pasti sudah dengar insiden yang pernah terjadi di restoran sebelumnya. Dan mengenai orang yang memberimu pesan dan arahan di telepon," manajer berhenti sejenak.

"Kurasa itu adalah pegawai lama di restoran sebelum ini. Aku tidak tahu persis. Saat aku kecil, restoran ini bernama Fred Bear's Family Diner. Lalu ditutup karena suatu insiden juga, dan beberapa tahun kemudian mereka membuka lagi, Freddy Fazbear's Pizza. Dan insiden lima anak kecil menghilang dalam restoran itu yang paling sering terdengar,"

Jeremy mengangguk pelan. "Ya, aku pernah dengar insiden lima anak menghilang itu,"

"Ya, karena itu restoran yang sudah dipegang oleh orang lain itu harus ditutup. Dan sekarang, kami membuka lagi. Namun pemiliknya telah berganti. Karena itu, aku tidak terlalu tahu tentang pekerja lama yang sudah berpengalaman menghadapi Animatronic itu,"

"Kami menjunjung tinggi keselamatan para pekerja juga para konsumen. Jadi, kutawarkan sekali lagi. Apa kau masih ingin kerja di sini?"

"Ya!" Jeremy menjawab dengan mantap. "Kenapa?" tanya manajer sekali lagi.

"Karena teror itu seperti menyampaikan sesuatu padaku. Setiap sebelum jam kerja dimulai, televisi itu memainkan game yang berbeda lagi, Pak. Dan pria yang memberi pesan itu selalu bilang sampai besok lagi. Dan selalu meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa selama aku mengikuti apa katanya,"

"Hm, baiklah jika itu maumu,"

"Ehm, satu lagi, Pak. Teleponnya mati lagi,"


*****

.

.

.

"Hallo? Hallo? Uh, hei kau, malam ke empat! Sudah saya katakan kau dapat menguasainya! Ok, jadi uh, hanya untuk memberitahumu, uh, sudah ada yang, uh, investigasi sedang berlangsung. Uh, kita mungkin akhirnya harus menutup restoran selama beberapa hari... Aku tidak tahu persis. Saya ingin menekankan bahwa meskipun itu benar hanya untuk berjaga-jaga. Uh, Fazbear Entertainment membantah melakukan kesalahan. Hal ini terjadi kadang-kadang. Um... Ini semua akan selesai dalam beberapa hari. Teruslah awasi para Animatronic, dan aku akan tetap memantaumu,"

"Uh, sebagai catatan, cobalah untuk menghindari kontak mata dengan salah satu Animatronic malam ini jika kau bisa. Seseorang mungkin telah merusak sistem pengenalan wajah mereka—namun aku tidak yakin. Tapi Animatronic telah bertindak sangat tidak biasa, hampir agresif terhadap staf. Mereka berinteraksi dengan anak-anak baik-baik saja, tetapi ketika mereka menghadapi orang dewasa, mereka hanya... menatap."

"Uh... Lagi pula, tetap di sana. Kau akan melewatinya. Selamat malam!"

Begitulah pesan malam ke empat dari sang 'Phone Guy'. Jeremy telah memutuskan untuk menyebut pria itu sebagai 'Phone Guy'.

"Malam ke empat. Kurasa aku akan baik-baik saja,"

Tampaknya Jeremy sudah terbiasa, ia tidak perlu melihat ruangan lain selain Prize Corner. Bukan karena ia tidak perlu khawatir akan ada pencuri—pencuri akan berpikir dua kali kalau ia ingin mengacaukan tempat ini. Jeremy hanya tertuju pada Marionette, lorong dan ventilasi kiri-kanannya.

Setiap ia menyinari lorong, sekalipun ada Foxy, Bonnie maupun Animatronic lainnya, ia tak gentar. Hanya perlu menyinari mereka berkali-kali. Dan jika ada yang masuk dari ventilasi, Jeremy cukup memakai topeng Freddy sampai mereka pergi, begitu juga para Animatronic yang tiba-tiba muncul di hadapannya, benar-benar di hadapannya.

"Hhhhh, hhhh," tetap saja Jeremy merasa terancam. Terlebih ia sangat benci Bonnie jika masuk ke ruangannya. Bagaimana tidak, tubuh gempal tak punya wajah itu bisa datang tiba-tiba. Orang yang lemah pasti jantungnya tidak kuat. Tidak hanya Bonnie yang ia benci. Chica dan Toy Chica juga suka mengganggunya.

'Mungkin aku sudah gila. Tetap bekerja di sini walau mungkin taruhan nyawa, dan telepon tak pernah berfungsi. Tapi, sungguh aku penasaran kenapa mereka berperilaku seperti ini. Saat aku ikut menjaga siang hari, mereka memang ramah dan membuat anak-anak senang. Tapi, saat malam mereka begitu berbeda,'

Jeremy terlalu memikirkan mereka, para Animatronic itu. Suara Mangle membangunkannya dari lamunannya. Mulutnya yang terbuka ter-ekspos dariventilasi bagian kanan. Jeremy buru-buru memakai topengnya, dan menunggu sampai suara statik itu menghilang. Selanjutnya justru yang datang adalah Balloon Boy. Cukup menghitung lima detik atau lebih saat Jeremy memakai topengnya, Balloon Boy sudah pergi lagi. Jeremy memang terselamatkan oleh topeng Freddy yang kosong itu.

"Hah? Siapa yang menaruh kertas kreasi itu di sana?" Jeremy memicingkan matanya, menatap dinding di depan bagian kanan.

Sejak ia pertama bekerja di sini, sang Manajer juga hanya menjelaskan kalau ia tak perlu khawatir. Cukup memeriksa ruangan lewat kamera. Jeremy mengira ia akan berjalan-jalan di malam hari mengelilingi tempat ini. Ternyata tidak, dan Jeremy merasa bersyukur. Kalau saja ia disuruh berkeliling, sudah jadi apa Jeremy nanti.

Namun yang Jeremy tidak menduga selain Animatronic yang tidak punya 'modus malam', ia harus mengalami hal spiritual seperti ini. Bagaimana bisa benda sebesar itu dapat menghilang dan berjalan-jalan kesana kemari seperti ninja.

.

.

.

Jam enam pagi datang tanpa terasa. Jeremy tampaknya sudah terbiasa dengan teror dari mereka. "Huaaah~! Akhirnya—"

Jeremy menatap layar televisinya, gelap tiba-tiba. Lalu garis merah secara horizontal muncul. Beberapa detik kemudian ia melihat game itu lagi. Namun mode yang sangat berbeda. Enam anak kecil, di tengahnya ada Freddy. Tentu mereka semua dalam bentuk pixel arcade game.

Jeremy mau tak mau memainkannya, karena ia yakin ini petunjuk dari para Animatronic. Tugas Freddy adalah memberi kue kepada anak-anak yang berwarna merah agar menjadi hijau, dalam arti memberi kue kepada anak yang marah agar mereka senang lagi.

Mata Jeremy tertuju pada anak kecil yang menangis tersedu-sedu di luar ruangan sana. Dan ia merasa kecepatan karakter yang ia mainkan semakin melambat saat mobil ungu datang. Dan semakin melambat, sangat lambat saat manusia berwarna ungu dalam pixel mendekati anak yang menangis tersedu itu. Dan karakternya tak bisa digerakan sama sekali.

"Huh?"

Jeremy kaget melihat anak kecil itu melebar matanya dan berubah menjadi abu-abu. Seperti gamesebelumnya, lima anak kecil abu-abu itu ternyata tandanya sudah mati. Jeremy kini paham gamemacam apa ini.

"HUAAHHHH!"

Jeremy berteriak, ia kaget melihat Marionette seperti loncat dari dalam layar televisi itu. "Di-dia? Kenapa ada—" Jeremy tersentak, seakan ia menemukan teka-teki baru. "Kenapa, Jeremy?" suara Manajer muncul, di hadapannya dan memasang wajah khawatir.

"Tidak—hanya kaget. Game itu muncul lagi," jelasnya sambil membereskan mejanya. "Game itu lagi? Siapa yang usil memasukannya? Televisi ini tidak seperti komputer—maksudku mana bisa ada game di dalam situ." Jeremy setuju, namun yang terjadi tadi itu sungguhan.

Jeremy berkemas dan hendak pulang. "Hey, kau sudah selesai bekerja pada malam ke empat? Hebat!" sapa pria paruh baya itu lagi. Jeremy menatapnya, dan menghampirinya. "Boleh aku tahu namamu? Dan kau bekerja sebagai apa di sini?"

"Aku? Uh, seperti yang kau lihat, aku waiter di sini. Bekerja di siang hari mengawasi para Animatronic. Uh, namaku?"

Jeremy memasang wajah seriusnya. Ia merasa pernah mendengar suara 'uh' itu, setiap malam. "Namaku—"

"Hey! Siap-siap membuka restoran! Jangan mengobrol saja! Nyalakan para Animatronic!" suruh seseorang. "Uh, maaf. Aku harus kerja dulu," Jeremy pun tak dapat berbuat apa-apa. Di restoran ini para pegawai tidak memakai name tag sendiri. Hanya memasang name tag jabatan, dan itu hanya beberapa orang.

.

.

.

"Yo! Bagaimana kerjamu? Tidak terjadi apa-apa, 'kan?" seperti biasa, teman dekatnya menanyakan. "Tidak juga. Teror para robot itu masih ada. Aku juga baru saja menemukan teka-teki. Tapi, masih bingung sebenarnya apa yang terjadi,"

"Hmmmm, kurasa ada yang bersangkutan dengan ilmu hitam? Penganut ajaran sesat? Atau lainnya? Itu menurutku. Soalnya hanya beberapa orang saja yang bisa mengontrol atau menjadikan boneka maupun robot jadi berbahaya, terutama pada malam hari,"

"Berbahaya itu hanya menurut instingku," ujar Jeremy. "Tapi instingmu tajam. Aku tidak pernah meragukan temanku! Seandainya Manajer-mu itu mengizinkan aku untuk berjaga bersama. Aku juga ingin melihat mereka,"

"Kau ke sana saja kalau begitu, menggantikanku," sarannya, temannya itu tahu kalau Jeremy bercanda. "Kau istirahat saja, sana! Kau bisa terlambat berangkat kuliah nanti,"

.

.

.

Semenjak Jeremy kerja malam, konsentrasi dalam belajar berkurang. Sering ia tertidur dalam kelas, dan sering melamun. Terkadang ia menggambar beberapa Animatronic dalam bukunya. Membuat orang yang melihatnya bergidik ngeri, antara tidak mengerti gambar apa itu dan mungkin gambarnya terlalu bagus.

Saat Jeremy pulang, ia dicegat teman baiknya itu. "Jeremy! Aku menemukan sesuatu!"

.

"Memang benar Manajer bilang ada insiden di Fred Bear's Family Diner. Tapi, ini fakta?" tanya Jeremy setelah menerima beberapa berkas dari temannya itu. "Ya! Ini sungguhan terjadi!"

Jeremy membaca artikel itu lagi; Fred Bear's Family Diner ditutup karena di depan restoran terjadi pembunuhan. Sang korban diketahui anak angkat dari pemilik restoran. Pembunuhnya tidak diketahui, dan mereka menutup restoran itu tak lama kemudian.

"Kau tahu? Tadi pagi aku memainkan game aneh itu lagi yang muncul dalam televisi. Aku melihat anak kecil terbunuh di depan restoran kecil. Mungkin—"

"Ya! Mungkin saja ada hubungannya dengan ini!"

"Kalau diingat kembali. Setiap ada manusia berwarna ungu, game itu berakhir. Kurasa ia penjahatnya, siapakah dia?" Jeremy manggut-manggut. "Misteri ini belum lengkap semua, karena itu aku masih ingin kerja di sana,"

"Apa Animatronic bisa bicara? Maksudku selain bernyanyi, kau pernah mengajak mereka bicara?" temannya sangat penasaran rupanya.

"Pernah—namun tentu mereka tidak menjawab. Hanya menjawab dengan kata-kata basic yang diprogramkan,"

"Iya, sih. Kalau begitu coba kau sarankan kepada Manajer untuk memanggil peramal ataupun pengusir hantu? Pendeta?"

"Percuma saja, ia susah dibujuk, Fritz. Manajer orangnya tidak percaya kecuali melihat dengan mata kepalanya sendiri," Jeremy mendengus kesal. "Suruh saja dia berjaga malam!" temannya ikut emosi.



****



.

.

.

Jeremy menyeruput kopinya. Malam ke lima, ia sudah terbiasa dengan teror. Teror telepon maupun dari Animatronic, juga sudah tahu kalau teleponnya tidak akan berfungsi setelah dia menyampaikan pesan.

"Hello, hello? Hei, kerja bagus, malam ke lima! Um, hei, um, tetap jaga mereka malam ini, ok? Um, dari apa yang saya pahami, bangunan ini dikunci, uh, tidak ada yang diperbolehkan masuk atau keluar, kau tahu, terutama mengenai segala... karyawan sebelumnya. Um, ketika semua beres, kita dapat memindahkanmu ke-shift siang hari, posisi itu jika menjadi... tersedia. Uh, kita tidak memiliki pengganti untuk pergeseranmu, tapi kami sedang mengusahakannya. Uh, kita akan mencoba untuk menghubungi pemilik restoran asli. Uh, saya pikir nama tempat itu... Fred Bear's Family Diner atau sesuatu seperti itulah. Dan tempat itu telah ditutup selama bertahun-tahun, meskipun saya yakin kita bisa melacak siapa pemiliknya. Nah, hanya melewati satu malam lagi! Uh, bertahan di sana! Selamat Malam!"

"Hm, dua malam ini dia tidak terlalu mengoceh. Lagi pula apa maksudnya kalau tempat ini akan ditutup dan ada investigasi seperti yang ia katakan kemarin? Manajer tidak bilang apa-apa,"

Tanggap Jeremy sembari memutar musik yang masih sama, ia tidak terlalu terkejut saat nama restoran lawas itu disebut olehnya. Sang penjaga menyinari lorong depannya juga ventilasi kiri-kanannya. Ia sudah terbiasa mengira-ngira kapan kotak musik harus diputar lagi sebelum lagunya habis. Jeremy sigap dalam pekerjaan seperti ini.

'Hi!'

Jeremy tidak langsung panik, ia masih menyinari lorong di depannya. Menyinari Foxy dan Mangle yang sama-sama membuka mulutnya. Seram memang, karena gigi mereka sama-sama bertaring. Jeremy memutar kotak musik itu lalu memakai topengnya, membukanya di saat ia merasa aman.

'Hallo!'

Jeremy sudah hafal, jika suara BB sudah terdengar dua kali atau lebih, biasanya dia ada di ventilasi kiri, mengembangkan senyumnya. Di saat itu Jeremy hanya perlu memakai topengnya. Dan menunggu selama lima detik atau lebih agar BB pergi. Taktik itu ampuh melawan BB.

Kalau sisanya, hanya perlu menghambat mereka dengan senternya. Jika beruntung, mereka pulang ke tempat asal atau menghilang—walau kadang masih ada yang memaksa masuk ke dalam kantornya. Jeremy tentu masih kaget kalau ada yang muncul tiba-tiba di hadapannya, tangannya reflek memakai topeng Freddy. Bersyukur reflek-nya bagus, ia bisa bertahan selama ini.

Jeremy menaklukan malam ke lima ini tanpa hambatan yang berarti. Ia terima teror dengan resiko olah raga jantung tentunya. Ia tidak membuat Marionette terbangun, tidak membuat Foxy datang terlalu dekat, apa lagi mengelabui Animatronic yang ada di hadapannya secara tiba-tiba.

'BZZZZZT'

"Game lagi?" Jeremy menatap layar televisinya menghitam dan dihiasi garis horizontal berwarna putih.

Kali ini game berlatarkan suatu ruangan, di tengahnya ada sesuatu berbentuk tabung ungu berhias bintang. Jeremy berpikir itu adalah tirai, karena di dalamnya keluar karakter berwarna merah yang akan ia gerakan. Karakter itu mirip sekali dengan Foxy.

"Jadi kali ini aku bermain sebagai Foxy?"

Gumam Jeremy sambil menggerakan karakternya, mengikuti arah panah untuk keluar ruangan itu. Lalu Foxy yang ia gerakan bertemu dengan lima anak kecil yang bersorak riang ketika ia datang. Lalu karakternya kembali lagi ke awal, ruangan di mana ia semula muncul. "Eh?" Jeremy kira game-nya rusak atau entah kenapa, ternyata tidak.

"Dia lagi—"

Umpat Jeremy ketika matanya menangkap sosok ungu sedang tersenyum memandang Foxy yang ia gerakan. Jeremy menggerakan Foxy ke ruangan sebelah sesuai anak panah yang membimbingnya untuk yang ke dua kalinya. "Ap—apa-apaan ini?"

Matanya melihat lima anak berwarna abu-abu, tidak seperti yang sebelumnya anak-anak terlihat senang dan berwarna. Kini diam dan berwarna abu-abu. Sama seperti waktu kemarin, anak yang menangis, juga empat makhluk berwarna abu-abu dalam Give Gift / Give Life itu.

"Ja-jadi, begitu!?" Jeremy seakan menemukan sinar terang dalam teka-teki ini. "Apanya?" suara Manajer mengagetkannya. Sang Manajer telah datang ternyata, ia memang datang pagi sekali, sekaligus mengecek bawahannya yang satu ini. "A—tidak ada apa-apa, kok! Oh, iya, Pak! Boleh aku tanya sesuatu?"

"Ya?"

"Aku ingin tahu nama…. Waiter yang sedikit tua itu, ehm," Jeremy sulit menjelaskan ciri-ciri khusus orang yang ia maksud itu.

"Hm? Di sini banyak yang berumur lanjut juga, termasuk aku," ujar Manajer sedikit terkekeh. "Ehm, yang suka bilang 'uh', ada?" berharap Manajer tahu maksud Jeremy.

Manajer terdiam sejenak, berpikir. "Vincent? Kurasa itu yang kau cari. Dia memang sedikit gugup kadang,"

"Vincent, ya?"

"Memangnya ada apa? Ada masalah dengannya?" Manajer bertanya seperti itu membuat Jeremy menggeleng dengan cepat. Mana mungkin Jeremy langsung menuduh Vincent sebagai orang yang mengirim pesan dan membimbingnya setiap malam hari itu. Jeremy tidak punya bukti yang pasti.

"Tidak, kok! Hanya penasaran saja, kemarin belum sempat kenalan," Jeremy tersenyum canggung.

.

.

.

"Huhuh... huhuh,"

Tertawa dengan suara berat, perutnya yang besar, ditambah gerakannya yang tersendat-sendat itu. Toy Freddy sedang menghibur anak-anak yang sudah datang, rupanya ada pesta ulang tahun. Toy Chica membagi-bagikan kue, Toy Bonnie yang menemani dua maskot itu memegang gitarnya—atau Banjo? Pemandangan yang damai.

"Hmmm," Jeremy yang sudah berkemas dan siap pulang itu justru terdiam melihat aksi para trio maskot restoran ini. Sudah yang keberapa kalinya Jeremy berpikir kalau Animatronic bersifat aneh hanya malam saja.

"He? Kok, mereka diam saja?"

"Heeey, Toy Chicaaaa?"

"Kakak, apa mereka rusak?"

Keributan kecil membuyarkan lamunan Jeremy, ia baru sadar kalau ke tiga Animatronic menatapnya dan hanya diam. "He?" Jeremy melangkah mundur perlahan. 'Benar apa yang dikatakan pria itu! Mereka bertindak aneh saat melihat orang dewasa, mereka hanya menatap dan diam,'

"Sedang apa kau di sini!? Ayo ikut aku!"

Seseorang menariknya keluar restoran. "Mereka menatapmu, kau dianggap ancaman bagi mereka," jelasnya setelah berada di luar. "Anu, kau Vincent, 'kan?" Jeremy menatap waiter itu. "Uh…. Bagaimana kau tahu namaku?" dia mengerutkan alisnya. Wajar, karena terakhir bertemu ia belum sempat mengatakan namanya.

"Dari Pak Manajer,"

"Pantas saja, hey! Uh, kau sudah melewati malam ke lima? Hebat!" ia menepuk bahu Jeremy. "Kau yang mengirim pesan setiap malam untuk membimbingku bekerja, 'kan?"

"Uh, ya, bisa dibilang begitu—soalnya aku pernah bekerja di tempat yang lama sebelum ini. Karena itu aku cukup tahu banyak. Uh…. Tapi rekaman yang kukirim akhir-akhir ini baru kurekam sebelum kau bekerja. Artinya aku memang memberitahumu hal-hal baru!"

"Begitu? Ehm, terima kasih, ya. Kalau aku tidak mendengar pesanmu dan mengikutinya, mungkin aku tidak akan bertahan," Jeremy tersenyum.

"Sama-sama!" Vincent terseyum lebar.

"Boleh aku bertanya? Kurasa kau tahu banyak tentang restoran ini. Aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya dan apa maksudmu kalau aku ini ancaman bagi para Animatonic itu?"

"Uh. Aku tentu mau membagi info denganmu. Tapi kurasa di tempat lain saja kita bicarakan hal itu. Satu hal yang pasti ada satu pegawai yang sudah bergelagat mencurigakan dan merugikan restoran ini. Pak Manajer tidak memberitahumu?"

Jeremy menggeleng.

"Aku juga tidak tahu pasti, namun yang kudengar mereka akan menutup tempat ini sementara waktu, sesuai yang kurekam. Dan aku masih belum tahu kapan tempat ini akan ditutup. Jadi berhati-hatilah! Mungkin saja ada pegawai yang mengincarmu, atau aku, atau ia mengincar restoran ini, dan para Animatronic terkadang berperilaku seperti tadi karena merasa ada ancaman, mungkin,"

Jeremy manggut-manggut.

"Ah! Sudah dulu! Aku harus bekerja!" pria paruh baya yang bernama Vincent itu pergi ke dalam restoran. "Orang yang misterius, namun baik," celetuk Jeremy sambil melangkah pulang.

.

.

.

"Kali ini aku mendapat game tentang lima anak yang terbunuh itu," Jeremy membuka percakapannya. Fritz menengok dan langsung bersemangat. "Benarkah? Siapa yang membunuhnya?"

"Aku tidak begitu tahu. Yang aku mainkan sebagai Foxy, tapi aku benar-benar curiga dengan manusia berwarna ungu di game tersebut,"

"Setiap ada dia, pasti ada yang mati, ya, 'kan?" Fritz berujar. "Ya, aku juga sering mengatakan hal itu kepadamu, menurutmu dia itu termasuk pegawainya, 'kan?"

Fritz mengangguk mantap. "Tentu! Kalau orang lain kurasa tidak mungkin. Ia dengan leluasa keluar masuk tempat itu seperti yang kau ceritakan,"

Jeremy sering bercerita pada teman dekatnya itu. Tentang apa yang ia ketahui, termasuk game misterius yang muncul. "Dan ada salah satu pegawai yang sudah kuketahui dia sebagai Phone Guy. Dia yang mengirim pesan setiap malam dari awal aku berjaga. Namanya Vincent, dia tahu banyak tentang tempat itu, kurasa dia tahu semua insiden yang pernah terjadi pada restoran itu,"

"Jadi dia yang membimbingmu? Hm, apa dia memberitahumu tentang restoran?"

Jeremy menggeleng pelan. "Belum. Dia akan memberitahu nanti, entah kapan itu. Kurasa dia kunci teka-teki ini. Tapi, belum tentu ia tahu pembunuh dan di mana tubuh lima anak itu disembunyikan—"

"Atau dia yang melakukannya?" Fritz memotong kalimat sahabatnya itu. "Hey! Untuk apa dia membimbingku jika dia yang menyebabkan insiden ini? Kita tidak punya bukti, Frtiz," Jeremy menghela nafas.

"Whoa, aku tahu, aku hanya mengutarakan pendapatku. Dia bersikap cukup aneh, kau tahu? Kau pasti merasakannya juga. Kau marah karena aku tuduh pahlawanmu itu?"

Jeremy memijit pelipisnya. "Ah, terserah. Justru dia yang memberitahuku bahwa ada pegawai yang mencurigakan, lalu tempat kerjaku terancam tertutup dan lainnya,"

"Hm, ya, ya. Dia orang yang baik. Tapi apa berita yang ia beri padamu itu fakta? Tanyakan saja pada atasanmu," saran Fritz.

"Justru aku mencurigai Manajerku sendiri. Dia selalu tak percaya padaku. Dia selalu menatapku aneh, itu menggangguku,"