02/03/19
Home »
urban legend
» CREEPYPASTA : Bilal
CREEPYPASTA : Bilal
Tak ada lagi kubah-kubah besar yang berdiri megah di kota ini. Tak ada lagi ramai manusia yang berkerumun di kios-kios pasar lokal saat menjelang pagi dan sore hari. Seperti mati, sebab terlalu sunyi. Hanya itu yang bisa kautemui di jalan besar hingga sudut gang gelap tempat pemuda-pemuda bengal biasa bermain maisir dadu sembunyi-sembunyi.
Paling tidak, itu yang kerap kudengar dari Bilal tiap kali ia bernostalgia.
"Dulunya tempat ini sungguh menyenangkan. Seperti surga dunia, kami hidup bahagia di sini."
Selalu kalimat pembuka itu yang awalnya akan menghantarku menuju dongeng-dongeng peninggalan masa lalu.
Bilal adalah satu-satunya anak yang mau berteman denganku, atau lebih tepatnya, bisa. Kami terpaksa hidup terpisah-pisah sejak beberapa bulan lalu. Dan ketika ia datang berkunjung, selalu ada cerita baru yang hendak ia sampaikan.
"Hujan besi ini selalu membuatku kagum. Bagaimana tidak? Aku dapat menyaksikan bunga-bunga api yang meletup-letup cantik secara cuma-cuma."
Aku sungguh penasaran. Sejak lahir hingga umurku yang kini telah menginjak dua tahun, ibu tak pernah sekali pun mengizinkanku melihat hujan, meski aku sudah mulai lancar berjalan, dan hujan makin rutin turun akhir-akhir ini. Ibu juga sering memandangku bingung setiap kali aku bercakap dengan Bilal. Entah mengapa aku juga tak mengerti.
"Kapan pun hujan besi jatuh, mereka selalu lari tunggang langgang. Namun aku tidak, setelah pertama kali melihatnya dari dekat beberapa minggu silam, aku sadar mereka begitu cantik dan sayang dilewatkan. Kau tahu? Konon, hujan itu kelak membawamu ke nirwana sesungguhnya."
Hujan turun lagi malam ini, bahkan lebih dahsyat dari biasanya. Aku hanya geming mematung menyaksikan sosok Bilal yang tubuhnya berkobar merah bermandikan api. Ia melambai-lambaikan tangan, mengajakku untuk turut ikut serta.
Meski ibu terus menjerit-jerit memanggil namaku agar segera kembali ke reruntuhan puing, aku tetap tak peduli. Aku ingin melihat hujan sekali ini saja. Dan, jika beruntung, mungkin aku dapat menyambangi Al Jannah dan berjumpa ayah.
Paling tidak, itu yang kerap kudengar dari Bilal tiap kali ia bernostalgia.
"Dulunya tempat ini sungguh menyenangkan. Seperti surga dunia, kami hidup bahagia di sini."
Selalu kalimat pembuka itu yang awalnya akan menghantarku menuju dongeng-dongeng peninggalan masa lalu.
Bilal adalah satu-satunya anak yang mau berteman denganku, atau lebih tepatnya, bisa. Kami terpaksa hidup terpisah-pisah sejak beberapa bulan lalu. Dan ketika ia datang berkunjung, selalu ada cerita baru yang hendak ia sampaikan.
"Hujan besi ini selalu membuatku kagum. Bagaimana tidak? Aku dapat menyaksikan bunga-bunga api yang meletup-letup cantik secara cuma-cuma."
Aku sungguh penasaran. Sejak lahir hingga umurku yang kini telah menginjak dua tahun, ibu tak pernah sekali pun mengizinkanku melihat hujan, meski aku sudah mulai lancar berjalan, dan hujan makin rutin turun akhir-akhir ini. Ibu juga sering memandangku bingung setiap kali aku bercakap dengan Bilal. Entah mengapa aku juga tak mengerti.
"Kapan pun hujan besi jatuh, mereka selalu lari tunggang langgang. Namun aku tidak, setelah pertama kali melihatnya dari dekat beberapa minggu silam, aku sadar mereka begitu cantik dan sayang dilewatkan. Kau tahu? Konon, hujan itu kelak membawamu ke nirwana sesungguhnya."
Hujan turun lagi malam ini, bahkan lebih dahsyat dari biasanya. Aku hanya geming mematung menyaksikan sosok Bilal yang tubuhnya berkobar merah bermandikan api. Ia melambai-lambaikan tangan, mengajakku untuk turut ikut serta.
Meski ibu terus menjerit-jerit memanggil namaku agar segera kembali ke reruntuhan puing, aku tetap tak peduli. Aku ingin melihat hujan sekali ini saja. Dan, jika beruntung, mungkin aku dapat menyambangi Al Jannah dan berjumpa ayah.