Awalnya, aku sangat gusar saat mereka mengatakan bahwa kami sekeluarga akan pindah ke sebuah kota di Ozarks. Aku masih ingat saat itu hanya bisa menatap piring makan malam, sementara kakak perempuanku, meluapkan kemarahan –dengan histeris- yang berlebihan bagi sosok pelajar berprestasi berusia 14 tahun. Dia menjerit, merengek, dan kemudian memaki orangtuaku. Dia melempar mangkuk ke arah ayah dan mengatakan bahwa semua ini adalah kesalahan lelaki itu. Ibu meminta Whitney untuk menenangkan diri, namun Whitney kemudian berlari dengan marah, membanting semua pintu saat menuju kamarnya.
Diam-diam, aku juga menyalahkan ayah. Gosip yang beredar telah mampir juga ke telingaku: ayah telah melakukan sebuah kesalahan, sesuatu yang buruk, sehingga kantor sheriff harus memindahtugaskannya ke negara bagian lain demi menyelamatkan mukanya. Orangtuaku tak ingin aku mengetahui hal tersebut, namun aku tahu.
Saat itu umurku sembilan tahun, jadi tidak makan waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan perubahan; semua itu layaknya sebuah petualangan belaka. Rumah baru! Sekolah baru! Teman-teman baru! Sedangkan Whitney, tentu saja merasakan hal sebaliknya. Pindah sekolah bagi gadis seumurannya merupakan hal yang berat, dan jauh dari kekasihnya, terasa jauh lebih berat lagi. Saat kami mengemas barang-barang dan berpamitan, Whitney terus merajuk, menangis dan menjerit, serta mengancam akan kabur dari rumah. Namun sebulan kemudian, saat kami akhirnya berangkat menuju rumah baru kami di Drisking, Missouri, Whitney, yang duduk di sebelahku, berkirim sms layaknya orang kesurupan.
Sungguh beruntung, kami pindah sekitar musim panas sehingga aku punya waktu luang beberapa bulan untuk menjelajahi kota. Saat ayah memulai kerjanya di kantor sherrif, ibu mengajak kami berkeliling kota menjelaskan tentang ini dan itu. Kota ini jauh lebih kecil dari St. Louis namun juga jauh lebih nyaman. Tidak ada tempat “buruk” dan keseluruhan kota nampak layaknya tempat-tempat indah yang kerap muncul di kartu pos. Drisking dibangun di sebuah lembah pegunungan dan dikelilingi oleh hutan lebat yang di dalamnya terdapat jalur untuk berjalan atau mendaki dan danau sebening kristal. Umurku sembilan tahun, saat itu musim panas, dan semua hal itu nampak layaknya surga di mataku.
Kami baru tinggal sekitar seminggu saat tetangga sebelah berkunjung mengenalkan diri: Tuan dan Nyonya Landy beserta putra berumur sepuluh tahun mereka, Kyle. Sementara orangtua kami ngobrol sambil minum mimosa, kulihat putra keluarga Landy yang kurus dan berambut merah itu hanya diam di dekat pintu masuk dan dengan malu-malu menatap PS2 di ruang tamu.
“Eh, sering main?” tanyaku.
Dia nampak ragu. “Tidak juga.”
“Mau main? Aku punya game baru: Tekken 4.”
“Um …” Kyle melirik ibunya –yang baru saja meraih gelas mimosa ketiga. “Iya, mau.”
Dan sore itu, dengan mudah dan tanpa berbelit-belit, aku dan Kyle bersahabat baik. Kami menghabiskan pagi musim panas yang dingin dengan menjelajahi Ozarks, sementara pada sore harinya yang panas, kami bermain PS2 di ruang tamu. Dia mengenalkanku dengan satu-satunya anak di lingkungan kami yang seumuran: seorang gadis ramping dan pendiam bernama Kimber Destaro. Dia begitu pemalu namun ramah, dan selalu terbuka untuk segala hal. Kimber bersahabat dengan kami begitu baik dan luwesnya sehingga dengan cepat, dia menjadi sosok tak tergantikan dalam lingkaran trio bersahabat ini.
Dengan ayah yang selalu bekerja, ibuku yang tenggelam dalam hubungan persahabatan baru dengan tetangga, dan kakaku yang mengurung diri di kamar seharian, musim panas serasa sebuah persembahan untuk kami. Kyle dan Kimber menunjukan jalur hiking terbaik, yang mengarah pada danau terbaik (dan dapat diakses dengan sepeda), serta toko terbaik di kota. Saat harus masuk sekolah untuk pertama kalinya, aku sudah merasa layaknya di rumah sendiri.
Pada Sabtu terakhir sebelum sekolah dimulai, Kyle dan Kimber mengatakan akan mengajaku ke sebuah tempat spesial, tempat yang belum kami kunjungi sebelumnya: Triple Tree.
“Apa itu Triple Tree?” tanyaku.
“Tempat ini benar-benar keren, rumah pohon yang sangat besar di dalam hutan sana,” ujar Kyle bersemangat.
“Halah! Terserah, Kyle. Yang benar saja, jika memang ada rumah pohon yang kalian sebutkan ini, pasti aku sudah diajak ke sana sebelumnya, bukan?”
“Tidak-eh … kita belum pernah ke sana memang.” Kyle menggelengkan kepala. “Ada ritual dan semacamnya yang mesti dilakukan bagi siapapun yang pertama ke sana.”
Kimber mengangguk setuju, rambut ikal oranyenya memantul di pundak mungilnya. “Yep, itu benar, Sam. Jika kau masuk ke rumah pohon ini tanpa ritual yang layak, kau akan lenyap dan mati.”
Wajahku menegang. Aku tahu jika mereka sedang mempermainkanku. “Ngawur! Kalian bohong, ‘kan?!”
“Nggak, kok!” balas Kimber ngotot.
“Yah, akan kami tunjukan, nanti! Yang kita butuhkan hanya pisau untuk ritual itu.”
“Eh? Apaan?! Kenapa mesti pakai pisau? Ini ritual darah itu, yah?” desisku.
“Bukan, bukan semacam itu!” ucap Kimber berjanji. “Kau hanya harus mengucap beberapa patah kata dan mengukir namamu di batang pohon.”
“Yep. Cuma makan waktu semenit,” ucap Kyle menegaskan.
“Dan ini beneran rumah pohon yang keren, ‘kan?” tanyaku.
“Iya, iya!,” janji Kyle.
“Ok, aku ikut kalau begitu.”
Kyle memaksa menggunakan pisau sama yang ia gunakan untuk ritual sebelumnya, namun, kami harus menanggung akibatnya karena itu. Nyonya Landy ternyata sedang di rumah dengan putra termudanya, Parker, dan walau Kyle menolak dengan berbagai alasan, ibunya memaksa agar Kyle mengajak adiknya yang berumur enam tahun itu.
“Ibu, kami mau ke rumah pohon. Ini hanya buat anak-anak yang lebih dewasa. Parker nggak boleh ikut!”
“Ibu bahkan nggak perduli jika kalian mau nonton Exorcist secara beruntun. Pokoknya, kau harus ajak adikmu. Ibu butuh istirahat, Kyle, tolong pahami itu. Lagipula, Ibu pikir teman-temanmu nggak bakal keberatan.” Dia memberikan tatapan menantang padaku dan Kimber. “Benar, bukan?”
“Kami tidak keberatan sama sekali.” Aku dan kimber mengangguk setuju.
Kyle mendesah dengan cara dilebih-lebihkan dan kemudian memanggil adiknya. “Woy, Parker! Pakai sepatunya, kita berangkat. Sekarang!”
Aku kerap bertemu dengan anggota keluarga termuda dari keluarga Landy ini dan menyadari bahwa dia sungguh berbeda dengan kakaknya baik dari rupa maupun sosok. Saat Kyle punya rambut yang hanya bisa dipadankan dengan kobaran api, Parker merupakan anak gugup, dengan mata kecil dan rambut berwarna cokelat gelap.
Kami bersepeda menuju jalur hiking yang terasa asing bagiku. Saat kami bersepeda beberapa minggu sebelumnya, aku menanyakan akan mengarah ke mana jalur ini, namun, Kyle menjawabnya bahwa di ujung sana “tak ada apa pun yang menarik.”
Kami sampai pada ujung jalur dan menyandarkan sepeda kami pada sebauh papan penunjuk yang bertuliskan “Jalur Penambangan Prescott Lingkar Barat.”
“Kenapa banyak banget jalur di sini yang dinamai Prescott?” tanyaku. “Prescott ini gunung atau apa, sih?”
Kimber tertawa. “Nggak, bego, ini karena keluarga Prescott. Mereka keluarga yang tinggal di puri di Fairmont. Tuan Prescott dan putranya, Jimmy, merupakan pemilik setengah dari keseluruhan bisnis yang ada di kota.”
“Lebih dari setengah,” ujar Kyle mengaskan.
“Yang mana contohnya? Dia pemilik Game Stop?” Satu-satunya toko di Drisking yang kuberi perhatian lebih.
“Aku nggak tahu kalau yang itu,” Kyle menyatukan semua sepeda kami menggunakan rantai, dan menguncinya dengan gembok yang harus menggunakan angka untuk membukanya. “Tapi toko perkakas, toko farmasi, Gliton, dan surat kabar, itu semua milik mereka.”
“Mereka yang membangun kota ini?” tanyaku.
“Nggak, kota ini bermula dari pertambangan. Kupikir mereka-“
“Aku mau pulang.” Parker sangat diam sebelumnya sehingga aku sampai-sampai tidak merasa akan kehadirannya.
“Nggak bisa,” ujar Kyle gusar sambil memasang mimik kesal. “Ibu bilang, aku mesti mengajakmu. Jadi ayo! Cuma berjalan satu atau dua mil saja, kok.”
“Aku mau naik sepeda,” jawab Parker.
“Sayang sekali, kita harus berjalan nantinya.”
“Aku nggak mau ikut. Aku di sini aja nungguin sepeda.”
“Hidih! Jangan kayak banci lah!”
“Enggak!”
“Kyle, jangan galak begitu!” desis Kimber. “Dia baru lima tahun.”
“Aku enam!” protes Parker.
“Mohon maaf, Enam. Iya, deh, umurmu enam tahun.” Kimber tersenyum padanya.
“Baik, Parker bisa menggandeng tanganmu kalau mau. Tapi dia tetap ikut.” Kyle berbalik dan mulai berjalan.
Parker merengut, namun saat Kimber yang memesona mengulurkan tangan dan memainkan jemari ke arah Parker, bocah itu meraihnya.
Kyle benar, tidak perlu berjalan jauh memang –hanya setengah mil dari jalur, dan kemudian mendaki setengah mil lagi menuju bukit. Namun, pendakian cukup terjal, dan saat sampai di rumah pohon, aku cukup kewalahan mengatur nafas.
“Gimana menurutmu? Tanya Kyle bersemangat.
“Ini …” kuamati pohon itu sambil mengatur nafas. “Cukup keren.” Aku tersenyum. Dan memang, tempat itu menakjubkan. Mereka tidak bohong, rumah pohon itu benar-benar besar, aku tak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Ada beberapa ruangan dan terdapat tirai sungguhan di jendela.
Terdapat tulisan di atas pintu berbunyi “Benteng Ambercot” dan sebuah tangga dari tali menggantung di bawahnya, beberapa anak tangga sudah hilang dari tempat semula.
“Aku duluan yang naik!” pekik Parker, namun Kimber menahannya.
“Kau harus melaksanakan ritual dulu, kalo nggak, kau bakalan lenyap,” ujarnya mengingatkan.
“Aku sih senang-senang saja, kalau gitu,” gumam Kyle jengkel.
Aku sendiri juga tak sabar untuk bisa segera masuk.
“Ambilkan pisaunya.” Kuulurkan tangan. Kyle tersenyum maklum, merogoh saku, dan mengeluarkan pisau lipat dari dalamnya.
“Ada sedikit tempat di belakang buat mengukir namamu.”
Kubuka pisau dan berjalan memutar menuju belakang pohon untuk menemukan tempat kosong. Begitu banyak nama yang terukir di sana sehingga aku harus berjongkok, sebab aku tak bisa mencapai bagian yang lebih atas. Kutemukan ukiran nama Kyle dan Kimber di pohon dan akhirnya, kutemukan sebuah tempat yang kusukai sedikit di belakang keduanya. Sambil menggigit bibir, kuukirkan nama Sam W. Di bagian bawahnya, terdapat sebuah tempat tersisa yang cukup untuk menggoreskan nama Paul S. Parker, namun nampaknya, dia terlalu kesulitan untuk mengukir sehingga Kyle harus menggantikannya mengukir.
“Beres! Ayo naik!” Aku segera berlari menuju tangga tali.
“Tunggu!” teriak Kyle. “Kau harus mengucapkan manteranya dulu.”
“Oh iya. Jadi, apa manteranya?”
Kimber mengucapkannya dengan setengah berdendang.
“Di bawah Triple Tree
Seseorang telah menanti
Akankah aku pergi atau tetap di sini
Nasibku takkan berbeda, tak berarti.”
“Wah … seram,” ujarku. “Maksudnya apa, yah?”
Kimber mengangkat bahu. “Tak ada seorangpun yang tahu lagi. Cuma semacam tradisi.”
“Baiklah, bisa kau ulangi lagi? Jangan cepat-cepat, tolong.”
Setelah Parker dan aku menggumamkan mantera, kami siap untuk naik. Kupanjat tangga tali dan mengamati sekitar. Rumah pohon itu kurang lebih kosong, hanya beberapa kain kotor di sana-sini dan beberapa sampah lainnya: kaleng soda, kaleng bir, dan pembungkus makanan cepat saji.
Kudatangi ruang demi ruang –ada empat totalnya—dan tak ada satu pun yang menarik sampai di ruang terakhir. Sebuah matras tua tergeletak di sana, dan terdapat tumpukan baju apak yang sobek di sana-sini. Beberapa di antaranya tercecer begitu saja di atas lantai.
“Apa ada gelandangan yang tinggal di sini?” tanyaku.
“Nggak. Ruangan ini sejauh yang aku ingat ya memang begini ini,” kata Kyle dari ambang pintu di belakangku.
“Baunya memuakkan,” ujarku.
Kimber berjalan sampai ambang pintu namun menolak untuk maju lebih jauh. “Bukan baunya yang membuatku ngeri –tapi itu.” Dia menunjuk ke atap dan aku mendongak untuk membaca apa yang tertulis di sana.
Road to the Gates of Hell Mile Marker 1
“Apa pula ini maksudnya?” tanyaku.
“Cuma anak-anak lebih besar yang usil,” ujar Kyle. “Ayo! Kutunjukan tempat terbaik dari tempat ini!”
Kami berjalan kembali menuju ruangan pertama dan Parker mendongak sambil tersenyum ke arah kami, menunjukan karyanya yang berupa ukiran di permukaan lanai kayu.
“Kentut.” Kyle membacanya keras-keras. “Wah! Lucunya, Parker.” Kyle memutar bola mata, namun adiknya yang tidak memahami sindiran itu justru tersenyum pongah.
Kimber duduk di sebelah Parker, begitu juga aku. Kyle mengambil pisau dari adiknya dan berjalan ke seberang ruangan. Dengan menggunakan pisau, dia mencungkil dua buah papan kayu dari dinding. Dia mendorongnya sehingga sebuah kompartemen tersembunyi dalam dinding terlihat. Kyle mengambil sesuatu dari dalamnya dan menyusun kembali papan sebelumnya.
“Lihat, nih!” Dia berbalik dan dengan bangga memamerkan dua kaleng bir Miller Lite pada kami.
“Whoa!” pekikku tertahan.
“Dih! Bir hangat? Menjijikan. Bagaimana kau tahu benda ini ada di dalam sana?” tanya Kimber.
“Phil Saunders yang bilang.”
“Kita akan meminumnya?” tanyaku.
“Tentu saja!”
Kyle duduk bergabung dengan kami, membuka kaleng bir pertama dan menyodorkannya pada Kimber. Gadis itu memberikan raut muka seolah sedang menatap diaper kotor.
“Ayolah, Kimmy.”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu!” bentaknya pada Kyle dan kemudian, menerima kaleng bir dengan enggan. Dia membauinya dan mengernyit, kemudian, dengan memencet hidung, Kimber menyesap sedikit. Kimber bergidik. “Lebih parah dari yang kubayangkan!”
“Aku nggak mau! Kubilangin ibu nanti!” kata Parker cepat begitu kaleng bir lewat di depannya menuju ke arahku.
“Bagus. Kau memang nggak bakalan dapat jatah,” ujar Kyle. “Dan kau nggak boleh mengadu sama ibu!”
Kupasang muka sedatar mungkin dan menenggak banyak-banyak bir hangat itu sebelum sempat membauinya. Sungguh kekeliruan besar. Saat bergidik merasakan betapa pahitnya bir itu, cairan bau kekuningan itu tumpah membasahi baju.
“Kampret! Bakalan bau bir, nih!”
Sekitar satu setengah jam sesudahnya kami lewatkan untuk menghabiskan dua kaleng Miller Lite yang seiring berlalunya waktu, rasanya jadi semakin layak telan. Aku tak bisa mengatakan apakah saat itu diriku berubah menjadi lelaki dewasa secara tiba-tiba atau sebenarnya hanya mabuk.
Kuharap, yang pertamalah yang benar. Saat tetes bir terakhir habis, kami menghabiskan duapuluh menit lamanya untuk memastikan apakah kami mabuk atau tidak. Kyle mengaku mabuk sementara
Kimber merasa tak yakin. Aku merasa tidak mabuk, namun gagal dalam semua tes untuk memastikannya.
Kimber sedang mengeja alphabet secara terbalik keras-keras, saat kemudian, suara geretan logam yang saling beradu dan bergesekan, membelah keheningan hutan layaknya tembakan meriam.
Kimber berhenti seketika, dan kami saling pandang selang beberapa menit, menunggu suara itu berhenti. Parker meringkuk dan mendekatkan tubuhnya pada Kimber sambil menutupi telinga dengan kedua tangannya. Setelah kurang lebih sepuluh menit berlalu, suara tersebut hilang sama tiba-tiba dengan kemunculannya.
“Suara apa itu?” tanyaku dan Parker seperti menggumamkan sesuatu.
“Kalian pasti tahu, ‘kan?” Aku mencoba mencari tahu sekali lagi.
Kimber hanya menatap kakinya yang disilangkan dengan tak jenak.
“Jadi?”
“Bukan apa-apa, kok,” ujar Kyle pada akhirnya. “Kadang, kami memang mendengarnya; bukan masalah. Cuma memang terdengar lebih nyaring di atas sini.”
“Tapi … apa yang membuat suara semacam itu?”
“Borrasca,” bisik Kimber tanpa mengalihkan tatapan matanya.
“Siapa itu Borrasca?” tanyaku
“Bukan siapa, tapi di mana,” jawab Kyle. “Borrasa adalah nama tempat.”
“Kota lain?”
“Bukan. Itu sebuah tempat di dalam hutan.”
“Oh.”
“Hal-hal buruk terjadi di sana,” ujar Kimber nyaris pada dirinya sendiri.
“Contohnya?”
“Hal-hal buruk,” ulang Kimber.
“Ya. Jangan pernah coba-coba mencarinya,” kata Kyle dari belakangku. “Atau hal buruk juga akan menimpamu nantinya.”
“Tapi … hal buruk macam apa?” Aku berbalik. Kyle mengacuhkannya dan Kimber berdiri dan berjalan menuju tangga tali.
“Sebaiknya kita lekas pulang. Aku harus menjaga ibuku,” kata Kimber.
Kami menuruni tangga satu demi satu dan kemudian berjalan kembali dalam keheningan yang menggelisahkan. Sungguh aku penasaran setengah mati mengenai Borrasca ini. Namun aku tak bisa memutuskan untuk menanyakan langsung, jika pun hendak bertanya, aku tak tahu harus menanyakan apa.
“Jadi, siapa yang tinggal di sana?”
“Di mana?” tanya Kyle.
“Borrasca.”
“Skinned Men,” timpal Parker.
“Pfft.” Kyle tertawa mengejek. “Cuma bayi yang percaya begituan.”
“Seperti orang yang dikuliti? Orang yang kulitnya hilang?” tanyaku antusias.
“Yah, begitulah yang bakalan dikatakan bocah-bocah. Kebanyakan dari kami sudah tak percaya sama yang begituan lagi. Yah, saat umur sudah mencapai belasan,” kata Kyle.
Aku menoleh ke arah Kimber yang masih berumur sembilan tahun sepertiku, namun, tatapannya lurus ke depan, mengacuhkan kami sepenuhnya. Nampaknya, hal itu merupakan akhir percakapan, dan saat sampai di tempat sepeda yang kami tinggal sebelumnya, suasana kikuk menguap sudah, kami terkekeh geli dan menebak-nebak apakah kami terlalu mabuk untuk bersepeda atau tidak.
Sekolah dimulai dua hari setelahnya, dan aku benar-benar lupa mengenai Borrasca. Saat pagi itu ayah mengantarku dan menepikan mobil, dia mengunci pintu sebelum aku bisa keluar.
“Sebentar,” ujarnya terkekeh. “Sebagai ayahmu, aku punya hak istimewa untuk memelukmu dan mengucapkan selamat menikmati hari pertama sekolah.”
“Tapi Ayah, aku harus cepat-cepat!”
“Ayah tahu, tapi peluk dulu, dong. Beberapa tahun lagi, kau akan menyetir sendiri untuk berangkat.
Biar aku menikmati peran sebagai sosok ayah selagi bisa.”
“Iya, deh,” ujarku kesal dan kemudian menyondongkan tubuh untuk memberinya pelukan singkat.
“Terima kasih. Sekarang, silahkan temui kawan-kawanmu. Ibumu nanti menunggumu di sini pukul 3:40.”
“Aku tahu. Kenapa aku nggak naik bis saja seperti Whitney, sih?”
“Kalau sudah duabelas tahun, kau boleh naik bis.” Dia tersenyum dan membuka kunci pintu. “Sebelum saat itu datang, Ayah bakalan mengantarmu tiap pagi. Tapi, kalau kau ingin kelihatan seperti jagoan, kau boleh duduk di belakang, di balik kerangkeng sana.”
“Ayah … nggak usah! Tolong!” Buru-buru, aku membuka pintu truk cruiser sebelum ayah berkata-kata lagi dan segera berlari sementara dia terus terkekeh.
Kyle sudah menungguku di dekat tiang bendera, dan dia bersama Kimber juga. “Woy! Kau nyaris terlambat!” teriaknya saat melihatku.
“Iya! Maaf!”
“Kau di kelasnya siapa?” tanya Kimber. Dia mengenakan sweater merah dan legging bergambar kodok. Rambut oranyenya yang ikal tergerai dan bibirnya yang merah muda serta licin berkilat, membuatnya terlihat sangat cantik. Sungguh sangat disayangkan bahwa kelak, aku takkan pernah melihatnya tumbuh sebagai gadis yang telah matang.
“Oh, aku di kelas Pak Diamond.”
“Aku juga!” ujarnya riang.
“Beruntungnya,” dengus Kyle. “Aku di kelasnya Nyonya Tverdy. Cuma ada dua guru di kelas empat, dan aku sial harus berada di kelasnya.”
Kimber meringis. “Yeah. Ibuku juga di kelasnya, dulu.”
“Apa masalahnya di kelas itu? Memangnya, dia seperti apa, sih?”
“Dia punya aturan yang sungguh ketat, dan kerap memberi tugas di akhir pekan.”
“Di akhir pekan? Mampuslah kau!”
“Maaf, Tuan Landy?” seketika, aku menyadari pria tinggi besar yang tiba-tiba muncul di belakang Kyle.
“Ma-maaf, Pak. Aduh, saya menyesal sekali!”
Kimber terkikik geli.
“Yah, saya harap, anda memang menyesal.”
“Hai, Sherrif Clery.” Walau aku baru bertemu dengannya beberapa kali saja, aku sungguh menyukainya, begitu juga sebaliknya.
“Halo juga, Sammy. Suka dengan hari pertamamu di sekolah?” Sherrif Clery bersidekap, dan bergaya sok galak dengan membusungkan dada sambil mengangkang lebar, sementara bibirnya melengkungkan senyum lebar.
“Ya, Pak!” jawabku. Dan kemudian dengan polosnya menambahkan, “Bapak ngapain di sini?”
“Bapak mau memberikan pengarahan serta presentasi pada murid-murid kelas lima dan enam mengenai keselamatan selama berangkat maupun pulang dari sekolah.”
“Iya, dia melakukannya setiap tahun,” gumam Kyle.
“Wah! Asyik!” Aku tersenyum.
Sherrif Clery mengangguk padaku dan berbalik pergi. Aku menoleh dengan bingung kemudian. “Kimber ke mana?”
“Pergi. Menyebalkannya, dia merasa harus tepat waktu dalam semua hal.” Seolah menggambarkan maksud Kyle, bel berbunyi. Kami berlari menaiki tangga dan masuk.
Aku berjalan memasuki kelas dan melihat Kimber telah memilihkan tempat duduk untuku di belakang, dekat dengan tempatnya duduk. Pak Diamond, seorang pria berumuran 40 tahun yang pendek dan gempal mengangguk saat melihatku.
“Tuan Walker, bukan?”
“Um, iya,” gumamku sambil berjalan tergesa melewatinya menuju bangku di sebelah Kimber.
“Selamat datang di SD Drisking. Dan untuk kalian semua: selamat datang kembali. Hidup Grizzlies!”
Seisi kelas membeo dengan lantang pekikan itu: “Hidup Grizzlies!”
Kimber mengenalkanku pada anak-anak lain selama pagi itu. Kebanyakan dari mereka menyenangkan. Mereka menyapa dan menanyakan asalku, kemudian percakapn biasanya berakhir dengan ucapan datar bernada bosan: “oh … oke.”
Segerombolan siswi yang duduk di barisan depan kerap mencuri pandang dan terkekeh-kekeh. Aku menanyai Kimber mengenai mereka, namun dia tidak menggubris. Saat istirahat kedua, mereka mendatangiku.
“Kau berteman dengan Kimber Destaro?” tanya seorang gadis tinggi dengan rambut gelap.
“Iya,” jawabku sambil menoleh ke arah Kimber. Dia menatapku dengan tatapan khawatir.
“Kalian bersaudara?”
“Nggak.”
“Kupikir juga tidak, sebab rambutmu tidak berwarna oranye.” Sungguh aku tak tahu harus menimpali apa.
“Kau tak perlu berteman dengannya, asal kau tahu saja,” kata gadis kedua yang berwajah bulat dan terasa ganjil bagiku.
“Aku mau berteman dengannya.”
Gadis ketiga yang berdiri di belakang keduanya mendengus keras. Gadis itu berambut pirang dan hidungnya sangat mancung.
“Yah, kalo begitu, kau bakal jadi anggota kelompok anak berwajah jelek.” Si gadis pertama mengingatkanku. “Dan kalau kau sudah bergabung, kau nggak bakal bisa keluar.”
“Lebih baik daripada kelompok anak-anak keparat,” ujarku. Si Hidung Mancung dan si Wajah Bulat terperangah mendengar jawabanku, namun si Rambut Gelap tersenyum.
“Lihat saja nanti,” katanya dan ketiganya kembali menuju pojokan kelas. Aku kembali duduk di sebelah Kimber dan merasa layaknya seorang jagoan. Itu pertama kalinya aku berkata kasar di depan anak-anak selain Kyle.
“Mereka bilang apa tadi?” tanya Kimber gugup.
“Katanya, kau terlalu cantik di dekat mereka. Dan kau membuat mereka kelihatan jadi menjijikan, jadi, kita harus jauh-jauh dari mereka.”
“Gombal,” kata Kimber, namun aku tahu dia tersenyum.
Kami bertemu Kyle di kantin saat makan siang, dan yang muncul dari mulutnya hanya berupa hal-hal buruk yang ia alami seharian. Nyonya Tverdy tidak hanya tua tapi juga galak, dan dia membuat semua muridnya maju ke depan kelas untuk menceritakan mengenai diri mereka masing-masing, walau kelas itu hanya berisi empatbelas murid yang sudah saling kenal. Saat bel berbunyi dan aku hendak membuang sisa makan siang, aku berpapasan dengan seorang anak yang belum pernah kutemui sebelumnya.
“Hai, kau Sam Walker?” tanyanya.
“Yeah.”
“Oh. Kakakmu pacaran sama abangku.”
“Wuidih!” Kyle tertawa. “Kakakmu pacaran dengan salah satu Whitiger!”
“Diam, Kyle!” gerutu anak itu.
“Jadi, kakakmu bakalan bernama Whitney Whitiger!”
Walau terdengar konyol, namun aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Bukannya tidak memperhatikan, namun selama musim panas, aku hanya melihat Whitney keluar rumah satu kali saja.
“Eh, mereka bertemu di mana?” tanyaku pada bocah Whitiger itu.
“Nggak tahu. Mungkin di tempat kerja kakakku.”
“Di mana?”
“Di Pusat Penampungan Air Drisking.”
Terdengar tidak masuk akal bagiku, namun kuanggap itu sebagai angin lalu. Aku masih ingat ibu memang memberi tugas remeh pada Whitney, hanya agar dia keluar dari rumah dan sedikit bersosialisasi. Mungkin, dalam satu kesempatan, Whitney bertemu dengan pemuda itu dan mulai berkirim pesan. Remaja memang aneh.
Minggu setelahnya, tidak jauh berbeda dengan minggu pertamaku bersekolah. Kami baru memasuki bulan pertama saat kemudian nama Skinned Men disebut-sebut kembali. Kami sedang bermain di lapangan, aku dan Kyle hendak menyalakan api menggunakan dua papan. Aku baru hendak menjentikan pemantik saat kemudian suara deritan logam yang saling beradu itu terdengar, seolah membungkam semuanya di lapangan.