“Ini belum berakhir, Kyle,” ucapku saat dia mengempaskan tubuh di atas bangku di sebelahku.
“Sudah. Sudah, Sam,” bisiknya parau.
“Aku tak percaya. Ayah Kimber juga menghilang. Alih-alih Kimber, mungkin ayahnya yang … yang ….” Aku benar-benar tak mampu melanjutkan perkataan.
“Kita hidup di neraka. Drisking benar-benar neraka sesungguhnya.”
Aku tak bisa menyangkalnya. Kota yang perlahan main kucinta, terasa begitu asing sekarang. Orang hilang merupakan hal yang biasa terjadi di sini. “Dan Jimmy Prescott rajanya. Dialah Iblis yang sesungguhnya.”
Begitu kata terakhir terlontar, Kyle menghantam pintu mobil, seolah terbangun dari kelesuannya dengan kemarahan memuncak. “Bakalan kubunuh Jimmy Prescott! Di mana bajingan itu?! Kau tahu dia terlibat dengan ini semua, Sam. Kau tahu-“
“Mungkin cuma sebagian,” ucapku sambil menatap entah dari balik jendela. “Ayahnyalah yang membangun kota ini beserta segala kekacauannya. Namun, aku cukup yakin keluarga Prescott hanya berbisnis narkoba. Kau tahulah, debu yang dimaksudkan ayahnya.”
“Yah … lantas? Dia merekrut orang-orang buat jadi pengedar ata apa?”
“Bisa jadi,” aku mengucap setuju untuk menyenangkan Kyle, walau sebenarnya aku tak memercayai pendapat itu. Dalam suara itu, suara mesin mengerikan Borrasca, aku mencium aroma pekat kematian darinya. Walau secara fisik hal itu tidak mungkin, pandanganku mengenai hal itu tak goyah sejengkal pun. Suasana terasa begitu berbeda setelah suara desingan logam itu berakhir.
Kami berkendara menuju Toko Kopi dan Kue di jalan 4th untuk membeli perbekalan wajib: beberapa kaleng Rockstar dan Monster. Saat sedang membayar empat kaleng yang kami ambil, kulihat Meera sedang duduk menghadap secangkir kopi di ujung bar. Aku langsung melihatnya sedang dalam suasana hati yang bagus, sesuatu yang jarang kulihat sejak aku bekerja untuknya. Sepertinya, saat itu merupakan waktu tepat untuk memberitahunya aku tak bisa masuk kerja.
“Hai, Meera,” sapaku saat mendekatinya. “Anu, aku tak bisa masuk lagi hari ini. Ada masalah yang sangat penting-“
“Oh, Sam! Wah! Apa kabarnya?”
“Ngg … B-baik, kok,” jawabku tergagap.
“Syukurlah!” ujarnya riang. “Nggak usah khawatir, biar kuurus toko. Nanti kutelepon Emmaline kalau aku butuh apa-apa. Tapi, Sam, sebenarnya ada urusan sanga penting apa, sih?”
Pikiranku kosong. Sebelum aku melontarkan alasan akan membantu ayah, Kyle muncur di belakangku.
“Kami mau mencari Borrasca,” selanya dengan nada murung.
“Oh iya. Owen bilang, beberapa waktu lalu kau menanyakan hal itu padanya. Itu cuma dongeng, Sam. Legenda itu sudah tersiar sejak aku masih bocah.”
“Iya. Kami berusaha mencari teman kami yang menghilang, Kimber. Pikir kami dia … ada di sana,” sambungku kikuk.
“Oh begitu? Dengar-dengar, mereka sekeluarga menginap di tempat saudara di Maine selama musim panas. Ah baiklah. Semoga berhasil.”
“Makasih,” suara Kyle terdengar kecut dan aku tahu kesabarannya begitu tipis.
Masing-masing dari kami membuka sekaleng Rockstar dan menenggaknya begitu sampai di mobil. Aku hendak menawarkan Kyle untuk mengganja mengingat dia belum melakukannya sejak Kimber menghilang. Dia merampungkan minumannya kurang dari semenit dan meremas kaleng kosong itu setelahnya.
“Aku nggak suka bosmu,” ujarnya.
“Meera? Kenapa?”
“Nggak tahu juga. Dia … agak aneh.”
“Yah, dia sudah menghadapi banyak masalah,” aku tak berusaha membahasnya lebih jauh atau membuatnya menjadi rumit.
“Ngapain juga kau tanya-tanya suaminya tentang Borrasca?”
“Saat itu kami sedang ngobrol-ngobrol kecil, dan kupikir dia tahu. Dia nampak seperti orang yang tahu banyak.”
“Terus? Dia tahu?”
“Nggak,” kutenggak banyak-banyak minuman penambah energi yang asam itu dan nyaris tersedak saat teringat sesuatu yang Owen katakan. “Eh, sebenarnya iya. Dia bilang “sebuah” Borrasca alih-alih cuma Borrasca. Maksudnya, dia mengatakan hal itu seolah Borrasca merupakan sesuatu, bukannya tempat.”
“Kyle menurunkan kaleng minumannya. “Lantas, benarkah seperti itu?”
“Maksudmu?”
“Nama tempatkah itu?”
“Aku nggak tahu. Belum pernah dengar. Aku sudah mencari-cari di google mengenai apapun yang aneh tentang kota ini, tapi nggak ada apapun yang kutemukan.”
“Kau mengejanya dengan benar?”
“Ya nggak tahu juga, sih,” ucapku sambil menggaruk kepala. “Memangnya kau tahu ejaan yang benar untuknya?”
“Nggak.”
Kukeluarkan ponsel dari saku.
“Nggak usah google-google-an,” ujar Kyle. “Kita mesti ke tempat Kathryn Scanlon. Kimber bakal mengatakan itu kalau di sini.”
Dia benar. Kathry Scanlon bisa jadi merupakan orang yang paling banyak tahu mengenai banyak hal di kota ini, dan mungkin, dia merupakan orang yang tepat untuk ditanyai. Aku segera tancap gas menuju tempatnya, berharap semoga dia sudah di kantor. Saat memarkir mobil, aku kecewa karena melihat toko dalam keadaan gelap. Kyle menunjuk tanda “BUKA” murahan yang tergantung di pojokan pintu. Semoga saja tanda itu milik kantor Kathryn.
Sungguh lega saat mendapati pintu tak dikunci, kemudian kami bergegas melewati barang-barang antik menuju bagian belakang toko. Di sana, pintu kantor Kathryn terbuka dan mendapati wanita itu sedang duduk di mejanya.
“Hai!” Dia langsung berdiri saat melihat kami. “Pagi benar? Ini kan sedang liburan? bagimana esainya?”
“Eh … lancar,” kataku. “Sebenarnya, kami butuh bantuan.”
“Ketertarikan pribadi,” tambah Kyle.
Kathryn menaikan alis. “Sungguh mengejutkan.”
Aku harus cepat-cepat. Jika memang Kimber masih hidup, maka setiap detik sungguh berharga. “Kami ingin tahu apakah Borrasca adalah sebuah tempat atau sebuah benda.”
Kembali dia menaikan alis. “Aku ingat legenda itu saat kecil. Jujur saja, aku malah nggak tahu jika bukan berkat Wyatt. Dia tahu begitu sedikit mengenai begitu banyak hal,” ujarnya sambil tertawa. “Dia menceritakan sebuah fakta menarik mengenainya. Borrasca adalah kedua-duanya.”
“Maksudnya?” aku menyondongkan tubuh ke arah mejanya.
“Jadi, istilah Borrasca merupakan kosakata usang yang sudah jarang dipakai. Kata itu dulu sering digunakan para penambang untuk menggambarkan pertambangan yang sudah tak aktif lagi.”
“Sebuah pertambangan …,” desisku
Kyle menggeleng. “Jadi selama ini kita mencari pertambangan.”
“Jadi … semua tambang di Butler merupakan Borrasca?” tanyaku.
“Yah, umumnya, ini mengacu pada tambang pertama dalam sistem yang kehabisan bahan tambang agar bisa disebut Borrasca.”
“Apa kau tahu tambang mana yang pertama kering? Di system penambangan kita?” tanya Kyle dari dekat pintu sambil mengepal-kepalkan tangan.
“Ah, aku tak bisa mengingatnya di luar kepala,” guraunya. “Tapi bisa kucarikan informasi. Kurasa aku punya catatannya. Sebentar.” Kathryn berjalan di belakang meja dan membuka sebuah laci yang berisikan banyak file. “Aneh rasanya anak-anak seumuran kalian tertarik sama hal seperti ini. Tapi aku senang kalian begitu semangat belajar, padahal sedang liburan.”
“Yep. Kami benar-benar bersemangat,” ujar Kyle.
“Apakah Borrasca, tambang pertama yang kehabisan bijih loga, emm … adalah tempat di mana anak-anak itu hilang?”
“Anak-anak McCaskey? Oh, sepertinya tidak. Tambang yang kau maksud itu ada di baratdaya pertambangan dan sangat dekat dengan kota. Kupikir tempat itu merupakan pilihan terakhir. Ah! Ini dia. Seharusnya ada informasi dalam bundelan ini.”
Kathryn terlalu banyak membuang waktu menyinkirkan buku-buku di mejanya untuk bundelan kertas yang ia pegang. Aku dan Kyle mondar-mandir di ruangan dengan gugup, berusaha untuk bersikap wajar, sementara itu, minuman energi yang kami tenggak mulai bekerja.
“Ini dia! Tambang pertama yang ditutup merupakan tambang pusat di utara. Iya … ini merupakan tambang pertama yang dibuka, tentu saja.”
“Tapi, di mana letaknya?” Kyle berjalan mendekati meja dan menyengkeram tepiannya. “Di mana tambang itu?”
“Um ….” Kathryn mengeluarkan tumpukan kertas lain dan mulai memilah-milah. Setelah serasa menunggu amat lama, wanita itu kemudian bersuara ‘a-ha!’ sambil mengeluarkan selembar kertas lebar berwarna kekuningan, yang ditekuk dan dimasukan ke dalam sebuah folder ukuran A4. Dia menggelarnya di atas meja dan mulai membaca tanda-tanda yang tertera. Aku tahu saat melihatnya bahwa lembaran kertas itu merupakan peta, dan aku paham betul; kami tak akan keluar dari tempat ini tanpanya.
“Baiklah. Tambang itu berada agak jauh dari puncak bukit, agak susah untuk diakses. Lihat, ‘kan?”
Dan dia menunjuk sebuah titik kecil dip eta yang ternyata berjarak sekitar empat mil dari tempat kami mencari-cari selama ini.
“Boleh kami membawanya?” tanya Kyle. “nanti kami kembalikan.”
“Tentu. Aku punya kopiannya, kok. Tapi dengar, jika kalian hendak menjelajah-“
“Ayahku ikut,” ucapku berbohong.
“Oh, Bagus! Selamat bersenang-senang!” teriaknya saat kami bergegas keluar gedung. Kami tak berhenti untuk menjawabnya, ‘bersenang-senang’ sungguh hal yang jauh dari pikiran kami.
“I-ini, j-jauh banget dari tempat k-kita mencari selama ini,” gumam Kyle gagap. “Kita harus ke sana sekarang. Kita butuh senjata!”
“Senjata? Dari mana, Kyle?”
“Ayahmu.”
“Dia nggak bakalan pinjami kita senjata, bego!”
“Baiklah, kita mengamati tempat itu dulu, nanti kita kembali dengan senjata.” Tidak terdengar bagiku sebagai ide bagus, namun, apa pilihan yang kami punya? Setelah mengamati peta selama beberapa menit, kami tahu bahwa jalan termudah yang bisa ditempuh menuju tambang masih tetap harus melewati Jalur Lingkar Barat.
Setelah memarkir mobil kami melakkan pendakian yang sudah begitu akran dan terus berjalan hingga mencapai jalan setapak yang tak terpakai. Kami sadar bahwa ternyata kami harus melewati Benteng Ambercot. Aku yakin bahwa kami berada di jalan yang benar. Kami melangkah di atas jalan yang telah dilalui banyak orang sebeulm kami saat menuju Borrasca. Namun, apa yang mereka temukan di sana?
Kami melewati rumah pohon itu yang nampak sebisu pagi. Kami berjalan memasuki hutan, terus menuju utara. Kami berjalan begitu jauh, dan hal ini merupakan sesuatu yang pertama kali kami lakukan hingga tak berapa lama, kami seperti hilang arah. Kami hanya mengikuti arah yang tertera di peta, semementara dalam hati, kami selalu berharap agar masih berada di jalur yang benar. Setelah satu jam berjalan, aku mulai menyesal karena kami berangkat tanpa perbekalan. Emosi kami kacau dan sangat tergesa.
Menjelang siang, kami telah berjalan selama empat jam lamanya dan nampaknya, kami tersesat. Kurasakan panik yang begitu hebat saat pikiranku melayang mengenai nasib Kimber dan Whitney, serta jawaban atas misteri yang terus menghantuiku bertahun-tahun lamanya.
Sementara Kyle, tak mengucap apa pun. Dia terus menatap lurus; misinya merupakan prioritas terpenting. Hingga kemudian, saat kira-kira matahari tepat di atas ubun-ubun, kami melihat tempat terbuka di dalam hutan, diikuti gambaran kasar dari sebuah bangunan. Kyle mempercepat langkah, sementara aku berusaha menyusulnya.
Saat sampai di batas pepohonan, nafasku tercekat dan terhuyung hingga punggungku tersandar pada batang pohon. Di depanku, terhampar sebuah perkemahan yang sunyi. Sebuah papan penunjuk dari kayu yang nyaris selebar tempat lapang itu berdiri tegak di jalan masuk pertambangan. Umurnya pastilah sudah sangat tua, sebab huruf-hurufnya nampak kabur dan terhapus dimakan usia. Dari huruf-huruf yang tersisa, aku bisa menerka apa bunyinya dulu:
DRISKING UNDERGROUND MINE (Tambang Bawah tanah Drisking)
Namun, huruf-huruf yang tersisa hanya berbunyi: SKIN ND MIN
“Skinned men.”
“Lewat situ.” Kyle menunjuk ujung utara perkemahan.
Kami keluar dari bayang-bayang pepohonan menuju daerah terbuka. Ada beberapa bangunan besar yang masih berdiri dan pintu masuk pertambangan ditutup dengan papan.
“Kita nggak akan masuk ke sana,” bisikku.
“Ayo kita periksa gedung itu,” katanya sambil menunjuk gedung trdekat yang paling besar dan setinggi kira-kira dua tingkat. Kami menghitung sampai tiga, kemudian berlari melewati perkemahan menuju pintu kayu bangunan. Pintu berderit terbuka dan kami menyelinap masuk. Tak diragukan lagi, kematian benar-benar membayangi Borrasca.
Kami berdiri dalam sebuah tempat yang kuterka sebagai sebuah kilang pemurnian. Di tengah-tengah ruang terdapat sebuah mesin keperakan berbentuk kerucut. Seutas ban berjalan terhubung padanya. Ruangan itu mengeluarkan bau asam. Bahkan permukaan tanah di bawah kaki kami, nampak diperciki noda-noda merah terang.
“Ini mesinnya. Ke sinilah mereka membawa mereka,” ujarku. “Di sinilah orang-orang mati.”
“Kimber nggak di sini. Ayo!”
Aku begitu lega bisa pergi dari tempat itu. Dengan berjingkat, kami berjalan menyusuri samping bangunan. Saat sampai di ujung tembok, kami mendapati sebuah truk hijau mengilap yang diparkir.
“Truknya Jimmy Prescot,” ucapku tercekat.
“Aku tahu siapa bajingan pemiliknya!” umpat Kyle menggeram.
Kami meningkatkan kewaspadaan; benar-benar waspda. Kyle merendahkan badan dan memerintahkan untuk merangkak mengitari bangunan. Aku mengikutinya dan dengan was-was bersiap menunggu terdengarnya teriakan atau suara tembakan. Namun tak ada apa pun yang terdengar.
Saat sampai di belakang bangunan, Kyle menoleh padaku sambil meletakkan jari telunjuk pada bibir. Kemudian dia menunjuk sebuah bangunan cokelat tak bertingkat yang hanya berjarak beberapa kaki saja. Dengan terus membungkuk, dia bergerak secepat mungkin meuju gedung itu. Aku mengikutinya di belakang.
Begitu sampai di dinding di sebelahnya, Kyle memutar badan dan kembali meletakkan telunjuk pada bibir. Kali ini dia menunjuk sebuah jendela tepat di atas kami.
Suara yang muncul dari baliknya –bahkan bagi seorang perjaka berumur 16 tahun sepertiku sekalipun- tak salah lagi merupakan suara orang yang tengah bersenggama. Suara geraman dan nafas memburu, serta deritan ranjang tua benar-benar jelas dalam heningnya suasan sekitar. “Apa-apaan ini?!” bisikku setengah tak percaya pada Kyle. Namun, dia sudah pergi kembali menyusuri pinggiran bangunan.
Aku mengikutinya hingga sampai pintu pertama yang kami jumpai, seketika, pemandangan menjijikan dan jorok, serta sisa-sisa kepedihan manyambut. Bau busuk menyengat seperti menampar, namun Kyle terus berlari. Aku mengikutinya melewati, sisa-sisa mie instant dan sisa-sisa makanan siap santap lain, tumpukan botol air minum bekas, dan begitu banyak kotak-kotak lainnya yang tak sempat kubca labelnya. Kulewati pintu lainnya dan tiba-tiba saja aku bertemu dengan begitu banyak manusia. Sungguh sangat banyak. Aku mundur selangkah dan kusadari kemudian, aku berada di sebuah tempat yang boleh jadi dikatakan semacam asrama. Berderet-deret ranjang di samping kiri dan kananku yang berisikan orang-orang yang terikat di atasnya. Beberapa di antara mereka mengenakan pakaian compang-camping, sementara beberapa lainnya, tak mengenakan selembar busana sekalipun.
Banyak di antara mereka berperut busung dan aku menunggu salah satu dari mereka mengucap namaku, namun, mereka semua tetap membisu. Beberapa menatapku lewat mata lelah dan tatapan kosong, sementara lainnya berpaling. Setelah mengamati sekitar, aku baru sadar bahwa semua dari mereka berjenis kelamin perempuan. Dan perut-perut busung itu adalah mereka yang hamil. Beberapa dari mereka yang hamil diikat di ranjang, sementara beberapa lainnya tidak.
Aku menyisir isi ruang dengan mataku dan melihat Kyle berdiri agak jauh dari ujung ruang yang memanjang itu. Wajahnya menyiratkan kebingungan, serta ekspresi shock yang -aku yakin- aku tunjukkan juga. Kurasa, Kyle kemudian tersadar akan kenyataan yang ada, kupanggil namanya, namun dia sudah pergi dengan tergesa.
Aku kehilangan jejaknya tidak lama kemudian. Kupikir, akan lebih baik jika aku terus berlari, menyebar dan tetap mencari Kimber. Aku tidak melihatnya di ruang ini, aku sangat yakin jika Kimber melihatku, dia akan memanggil kami.
Aku mengalihkan pandangan ke pintu lain dan melihatnya sedikit terbuka pada bagian belakang barisan ranjang sebelah kiri. Kutatap lekat-lekat pintu itu dan segera menuju ke sana, dengan bersusah payah untuk mengalihkan perhatian dari tatapan kosong wanita-wanita di sekitarku. Pertama, kami harus membantu Kimber, kemudian yang lain.
"Aku akan kembali, aku janji. Secepatnya setelah kutemukan Kimber.’
Tanpa pikir panjang, kubuka pintu itu selebar mungkin hingga kemudian, kutemukan sumber suara yang kudengar dari luar sebelumnya.
Di sana, kulihat Jimmy. Sesuatu yang memang kuharapkan. Namun tidak dengan pemandangan yang ada di depanku. Dia sedang di atas ranjang, mengangkangi Kristy yang nyaris tak kukenali dan tak bisa berbuat apa-apa layaknya orang mati. Sungguh perlakuan Jimmy padanya layaknya binatang saja. Kristy menatapku dari mata kosongnya yang sedikit terbuka, namun, dia tak meminta bantuanku. Kurasa, aku melihat air mata mengalir pada pipinya sebelum dia memalingkan muka ke arah dinding.
“Apa-apaan?” Aku bahkan tak menyangka suaraku itu terdengar.
Sungguh, aku belum pernah menyaksikan penderitaan yang begitu mendalam yang bisa dialami seorang manusia.
Kepala Jimmy tersentak untuk melihatku. Dia terlihat terkejut selama sepersekian detik namun kemudian, dia tersenyum dengan cara yang membuat seluruh tubuhku menggigil. Dia tidak menghentikan apa yang tengah ia perbuat, dan tak ada hal lain yang kuinginkan selain merangsek maju dan mendorongnya menjauhi Kristy. Namun sungguh memalukannya, aku tak bisa memaksa diriku untuk melangkah lebih jauh ke dalam ruang itu.
“Sam! Sam!” Suara Kyle menggema di seluruh bangunan dan seketika itu juga, membebaskanku yang tertegun ngeri. Kudapati diriku berlari kembali menyusuri asrama pertambangan itu, menjauh dari Jimmy Prescott dan Kristy.
“Kyle!”
“Di belakang sini! Cepat! Kimber di sini!”
Kuikuti suaranya yang terdengar melewati deretan ranjang dan ruangan-ruangan lain. Kemudian, suara-suara seperti mengikuti.
“Tolong kami. Tolong”
Mungkin, teriakan itu hanya berasal dari seorang gadis, namun bagiku, suara itu terasa menggelegar, mengguncang tubuhku yang kian dipenuhi rasa bersalah. Beban penderitaan mereka tak bisa kubayangkan, dan hal itu nyaris membuatku tak bisa melangkah lagi.
“Nanti! Akan kuminta bantuan! Aku bakal menolongmu!” Aku berjanji pada mereka sambil terus mengikuti suara Kyle yang masih terus berteriak putus asa dari ruang sebelah. Aku berlari kencang menuju pintu lain dan melihatnya sedang membungkuk dekat sebuah pojokan, berusaha melepaskan ikatan dari kulit dengan susah payah.
Aku membentur ranjang dan berlutut, berusaha membantu apa yang sedang ia kerjakan. Aku berusaha tidak melihat kea rah ranjang, sebab, aku tak mampu untuk melihat Kimber dalam keadaan seperti itu. Aku tak mampu untuk melihatnya. Jika dia menatapku dengan tatapan bersalah dan sedih lewat sepasang mata kosong seperti Kristy dan lainnya, aku mungkin akan berbaring di lantai di sebelahnya dan meringkuk remuk.
“Ke sisi lainnya! Buka ikatan lainnya!” Mata Kyle sungguh terlihat layaknya orang yang begitu marah hingga nyaris kehilangan kewarasan. Aku bergegas ke sisi lain dan membuka ikatan dengan tangan gemetar yang nyaris tak bisa kukendalikan.
“Wah, wah!” Suara Jimmy terdengar dari suatu tempat di gedung. Aku baru melepaskan ikatan di kaki Kimber dan sedang berusaha membuka ikatan di pergelangan tangan. Kimber meringkik saat mendengar suara Jimmy dan membenamkan mukanya di pundakku. “Kalian pikir bisa sembunyi? Aku tahu di mana tempat gadis itu disembunyikan.”
“Kubunuh kau, Prescott! Anjing! Bajingan kau! Kuremukkan tulangmu! Kuperas darahmu, bajingan!” Kyle benar-benar lepas kendali. Tak ada ketakutan dalam dirinya, hanya kemarahan belaka yang ada dalam dirinya, dan hal itu lebih membuatku lebih takut lagi. Kutarik lengan Kimber dari ikatan terakhir dan berteriak, “pergi sekarang!”
Kami mengangkat Kimber dari ranjang dan langusng tahu bahwa kainya tak bisa menopang berat tubuhnya. Dia dibius parah dan nafasnya sangat lemah. Kami memapahnya bersamaan dan bergerak secepat mungkin menuju pintu terdekat – menjauh dari Jimmy.
Kami berada di bangsal lain, namun, yang ini nyaris berisikan ranjang-ranjang kosong. Aku melihat cahaya matahari memancar dari pintu di ujung ruang nan panjang itu, kami berlari kalang kabut hingga kemudian mendengar Kimber menjerit kesakitan. Kupikir, hatiku tak bisa jauh lebih sakit lagi, namun aku keliru, sebab pada momen selanjutnya, hatiku benar-benar remuk. Remuk seremuk-remuknya ….
Aku nyaris menjatuhkan Kimber saat melihatnya menatapku. Sorot matanya begitu kosong dan hampa. Dan saat aku menoleh, dia memalingkan muka cepat-cepat seolah tidak tahan akan keberadaanku di tempat itu.
“Whitney,” panggilku pelan.
“Sam, aya cepat pergi!” bentak Kyle.
“T-tak bisa.” Aku menoleh kea rah Kyle, dan kurasakan hangat pada mata dan pipiku. Kyle melihatnya juga.
“Aku … a-aku nggak bisa bantu,” ujar Kyle sambil terus berlari menuju pintu. “Aku mesti menjauhkan Kimber dari sini. Tolonglah ….” Namun, dia tahu aku takkan pergi ke manapun.
“Semoga berhasil, Kawan,” ucapku. Kemudian kami berlari menuju arah berlawanan.
Rambut Whitney begitu panjang, namun tubuhnya sangat kurus, begitu juga wajahnya. Segala yang ada pada dirinya terlihat rapuh, kecuali perutnya yang membengkak layaknya balon. Dia terus memalingkan muka dariku dan menghindar serta menyentakkan tubuh saat aku menyentuhnya, berusaha untuk membebaskan ikatannya dari ranjang dengan putus asa. Ikatan pertama belum juga rampung saat kemudian, kudengar Jimmy berjalan di belakangku. Aku sama sekali tak mengalihkan pandangan ke arahnya, atau berhenti berusaha melepaskan ikatan kakaku. Aku sungguh tak tahu apa yang seharusnya kuperbuat dalam keadaan seperti itu.
“Kuhargai perjuanganmu, Nak,” kata Jimmy dan kemudian duduk di ranjang di belakangku, terus menontonku, tanpa keberatan sedikit pun atas apa yang sedang kulakukan. “Mungkin, kau pikir kawanmu bisa kabur. Namun, harapan palsu bukanlah sesuatu yang masuk akal, ‘kan?”
“Tak ada satu pun dari semua ini yang masuk akal,” suaraku terdengar kering dan gemetar.
“Kau keliru,” ujar Jimmy mendesah. “Tapi, asal kau tahu, Clery sudah kuperintahkan buat memburu mereka. Orang-orang selalu berisik saat menuruni bukit ini. Pegang kata-kataku.”
“Sherif Clery?” Aku begitu putus asa untuk membuatnya terus bicara, atau apapun demi mengalihkan perhatiannya, agar dia tidak menghentikanku.
“Hm hm. Dia seharusnya mundur dari bisnis ini, tapi, tak seperti sherif sebelumnya, dia menyimpan beberapa kuda untuk bisa terus bertanding.”
“Kuda?” Tak satu pun yang masuk akal.
“Yep.” Jimmy menepuk kasur di sebelahnya. “Kami menamai bangunan ini sebagai kandang kuda,” ujarnya, dan kemudian tawanya pecah.
Kulepaskan ikatan terakhir dan menatap Whitney. Aku mengharap dia bangun dan berlari menuju pintu, sementara aku menghadapi Prescott. Namun, yang dia lakukan hanya menggosok pergelangan tangannya dan menggaruk tulang selangkanya. Kemudian, dia meletakkan lengannya pada posisi semula, memalingkan muka dan memejam. Aku berguling ke ranjang di sebelahnya dan menggenggam tangannya yan luar biasa dingin. Jika dia tak pergi, begitu juga aku. Segalanya telah berakhir. Dalam diam, aku mengucapkan doa agar dua sahabatku selamat.
“Kau mau tahu tentang apa semua ini, Sam?”
Aku hanya diam. Hal itu tidaklah penting lagi sekarang.
“Semua ini mengenai bayi-bayi.”
Aku menatap Whitney dan perutnya yang membesar, namun tak menunjukan reaksi atas apa yang Jimmy ucapkan.
“Uang dalam industry ini sungguh luar biasa. Ayahku memang orang yang pintar. Dia tahu kami tak punya apapun yang berharga yang bisa dijual, saat itu keluarga Prescott melarat bukan main, dan kami Cuma penambang biasa layaknya orang-orang. Ide pertamanya dalah saat dia menjual kakakku untuk membayar jasa hukum buat melawan pihak kota. Tiap orang akan menghargai mahal bayi yang baru lahir, bahkan pada masa itu. dan organisasi yang membeli mereka, wah, itu jauh lebih banyak lagi. Tapi, kami menutupnya dengan sangat rapi. Kami sungguh berhati-hati.”
Jimmy berdiri dan mengeluarkan pistol dari sarung di pinggangnya, kemudian, dia melemparkannya ke atas ranjang seberang.
“Cobalah mengerti, Sam. Ini bukan melulu tentang uang. Kami menggunakan kandang kuda juga sebagai layanan masyarakat. Banyak orang di kota mendatangi kami, asal kau tahu. Sejak tahun 50an.”
Aku tak tahan lagi. Aku tak ingin ada di tempat ini, mendengarkan ocehannya, aku tak mau melihat Whitney dalam keadaan begitu menyedihkan, dan aku tak mau menunggu datangnya kematian. Apa yang ada di sana merupakan siksaan, semurni-murninya siksaan. Siksaan yang paling menyiksa.
“Apa yang kau tunggu? Bunuh aku sekarang! Ini bukan film James Bond, aku nggak peduli sama segala tahi kucing itu!”
Jimmy tertawa keras-keras, seolah baru saja mendengar guyonan terkonyol. “Membunuhmu? Duh, Nak. Kalau mau, kau sudah mampus dari dulu. Tapi aku nggak boleh membunuhmu. Aku dari tadi berpikir, gimana kalau kutunggangi kakakmu tepat di depanmu. Dia bukan milikku, tapi, asyik juga sepertinya melihat ekspresimu nanti.”
“Bunuh- bunuh saja aku dan biar dia pergi! Aku rela bunuh diri kalau kau melepasnya!” Aku bangkit dan Jimmy maju dua langkah. Kemudian dia menghantam wajahku begitu keras sehingga aku terjengkang. Aku mengerang sambil menahan dan berusaha mengenyahkan tangis dan bintang-bintang dari kepalaku.
“Nggak bisa, goblok! Dia punya sesuatu untuk layanan masyarakat. Dia sedang mengandung. Grace bilang dia butuh beberapa minggu lagi, sudah pesanan!” Jimmy menatap Whitney dan menggeram. “Sayangnya dia mengandung bayi cacat. Begitu yang ini keluar, dia mesti berhadapan dengan Shiny Gentleman.”
“Apa maksudnya itu?!” jeritku, kemudian dengingan yang senyap mengikuti. Jimmy mengacungkan jari dan menggoyangkannya, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku.
“Bentar, aku ada panggilan bisnis, nih. Dua menit lagi, yah, nanti kita lajutkan ngobrolnya.” Jimmy berjalan menuju pojok ruangan dan aku berusaha menyeret Whitney dengan putus asa.
“Ayo! Ayo, Whit! Kita harus pergi! kita nggak bisa di sini!” Dia terus memejamkan mata dan menegangkan tubuh. “Whitney! Mereka bakal membunuhmu!”
Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar suara decit ban dari luar. Jimmy mengakhiri telepon dan Killian Clery masuk, mendorong Kyle yang berdarah-darah dan limbung di depannya.
“Kehilangan sesuatu, Prescott?”
“Mana yang cewek?”
“Nggak ketemu.”
“Bangsat! Kau mengacau, Clery! Sana keluar, dan temukan dia secepatnya!” Jimmy meraih pistolnya dari atas ranjang dan menyrungkannya kembali.
“Dengar, yah, kunyuk keparat!” umpat Clery menggeram. “Aku bukan jongosmu! Aku nggak punya waktu buat main petak umpet di hutan sana. Tadi dia tidak bersamanya, jadi, kalau kau ingin menemukannya, tanya sama yang satu ini” Clery melempar Kyle dan meludah di kakinya.
“Aku mesti menggarap tugasmu sekarang?!” Jimmy berjalan mendekat dan tanpa ragu menendang Kyle begitu keras tepat pada bagian dada sehingga kudengar sesuatu ratak dari dalamnya. Aku mencoba berdiri tapi masih pusing dan berkunang-kunang. Mana pacarmu, Landy?” Prescott mengangkat bootnya dan menginjak pergelangan kaki Kyle. Kyle menjerit kesakitan. “Aku bisa terus melakukan ini, Nak.”
Clery duduk di ranajng dan menyalakan rokok, dia menonton dengan acuh tak acuh. Jimmy mendirikan Kyle dan kemudian meninjunya di muka. Beberapa gigi Kyle tercecer di atas lantai. “Katakan padaku, bajingan!” Jimmy menghajar muka Kyle lagi dan sehingga dia terkapar.
“Kau membunuhnya!” jeritku meloncat dari ranjang dan berlari dengan gelap mata menuju Jimmy.
Hanya kemarahan yang ada dalam diriku. Tak ada yang lain. Clery berdiri sigap, menangkapku dengan mudah dan mengunci lenganku. Dia tertawa dengan batang rokok terselip di sudut bibir, sementara aku terus meronta tanpa hasil.
Jimmy menindih Kyle dan menghujaninya dengan tinju di muka dan di dada. Kyle nampak setengah sadar, aku berharap dia segera pingsan saja agar siksaannya berhenti. Setelah satu menit, Jimmy berdiri sambil mengusap kepalan tangannya yang penuh darah. “Kesempatan terakhir, Landy.”
“Anjing kau,” maki Kyle dengan nafas tersengal dan meringkik. Jimmy meludahinya dan mengangkat kakinya tingi-tinggi dan menghempaskannya kuat-kuat ke wajah Kyle. Injakan itu begitu kuatnya sehingga kudengar suara tengkorak yang berderak. Pitingan Killian Clery melonggar dan dia menjathukanku di depan kakinya.
Jimmy mengambil rokok dari bibir Clery dan mengisapnya, kemudian, dia berdiri di samping ranjang Whitney menonton aku yang menangis. “Wah! Berantakan sekali!”
Setelah beberapa menit berlalu, Clery mengeluarkan ponsel dari saku. “Nah, Sam, sekarang bawa temanmu pergi.”
Aku tak mengerti maksudnya.
“Nggak bisa! Kunyuk Landy itu nggak boleh pergi dari sini.”
“Kau mau membereskan kekacauan ini, Prescott?”
Aku berdiri dengan lutut gemetar. “Aku takkan pergi tanpa kakakku,” kataku. Tawa Jimmy meledak lagi.
“Kau pergi sekarang juga,” ujar Clery. “Kalau mau menyelamatkan nyawa temanmu. Dia belum mati, Sam, tapi sebentar lagi dia mati.” Dia melemparkan kunci mobilnya. “Jalan turun ada di belakang kilang.”
Kubiarkan kunci mobil memantul dan tergeletak di lantai. Clery memakikku. Aku tahu dia benar. Aku sungguh pengecut, dan aku akan meninggalkan kakakku beserta yang lainnya agar aku bisa lolos dan menyelamatkan nyawa Kyle.
Kuraih kunci dan tanpa menatap dua orang itu, kupapah Kyle. Kepalanya lunglai begitu saja saat kuangkat, seolah tidak terhubung dengan tulang belakangnya. Wajahnya bengkak dan tertutup darah, dan aku berjuang keras untuk tetap bernafas tenang saat membawanya pergi menjauhi gedung. Clery dan Prescott menatapku sambil merokok tanpa mengatakan apa-apa. Mereka bisa saja bohong padaku; Kyle mungkin telah tewas saat akhirnya kami turun dari bukit. Atau bisa saja, nyawanya telah melayang saat ini.
Kubuka truk Ford tua Clery dan menempatkan Kyle di bangku depan. Butuh waktu satu jam hingga akhirnya bisa sampi kaki bukit walau aku mengemudi layaknya orang kesetanan. Aku langsung menginjak pedal gas dalam-dalam menuju layanan gawat darurat rumah sakit. Di sana, tim medis telah menunggu. Jelas sekali bahwa mereka telah ditelepon oleh seseoang, karena mereka seperti telah menungguku, dan sudah bersiap dengan brankar, serta infus yang siap dipasang.
Kutinggalkan truk Clery begitu saja dan menghabiskan dua jam setelahnya di ruang tunggu, menghubungi ayah berulang kali.
Tak seorangpun mencatat keterangan dariku atau menanyaiku. Ibu Kyle tiba sebelum ayahku dan menjerit-jerit begitu melihat wajahku. Ayah masuk dan seorang deputi menenangkan wanita tu. Ayah mengantarku pulang tanpa berkata-kata, namun hal itu tak bertahan lama.
“Apa ada yang bakal bikin laporan? Apa ada yang perduli atas apa yang terjadi?”
“Sam.” Dia tak menoleh. “Ayah lakukan yang terbaik agar situasinya tidak bertambah buruk. Tapi, jika Kyle tewas, atau orangtuanya menuntut, tak ada apapun yang bisa Ayah perbuat untuk menjauhkanmu dari pengadilan.”
“Ayah pikir aku pelakunya?” jeritku.
“Kita takkan memberitahu ibumu. Dia sudah cukup khawatir.”
“Ayah, ini –aku-Kimber- ini si bangsat Prescott! Juga Sherif Clery!”
“Benar. Kau datang ke rumah sakit menggunakan truknya Killian. Kami sudah bicara dengan keduanya.”
Aku begitu frustasi dan marah sehingga kata-kataku selanjutnya yang keluar hanya ocehan gugup yang berakhir dengan teriakan histeris. Kami menepi dan ayah mematikan mobil. Kemudian, akhirnya dia menghadapku sementara aku berjuang mengatur nafas.
“Samuel, kita takkan membahas hal ini lagi … kapanpun. Paham?”
“Yang benar saja! Kyle bisa jadi tewas. Aku melihat Kimber-“
“Cukup! Jika kau bisa selamat dari hal ini, tutup mulutmu rapat-rapat, jangan bicara apapun ke orang lain. Ayah akan sewa pengacara terbaik untuk membereskan kekacauan yang kau buat. Ayah tak tahu kenapa kau menghajar temanmu hingga nyaris tewas. Kau-“
“Anjing kau!” teriakku padanya dan membuka pintu mobil. Kemudian aku kabur, menjauh darinya dan dari rumah, serta dari kehidupanku yang berantakan. Dia tak mengejarkau. Tidak untuk hari itu maupun hari-hari sesudahnya. Tidak kapanpun.
Karena semua orang di kota menganggapku sebagai berandalan berbahaya, tak ada seorangpun yang mengijinkanku untuk menginap saat kuhubungi. Akhirnya aku menginap di motel, di pinggiran kota. Kukuras tabunganku untuk membayar sewa kamar.
Aku kembali untuk mengambil mobilku di kaki bukit. Namun, mobilku sudah tidak ada, kuharap Kimber telah mengambilnya. Kubaca koran tiap pagi, mencari-cari kabar mengenai Kyle. Kulihat berita pemberitahuan perayaan kelahiran dari keluarga Daley sekitar sepuluh hari setelahnya. Mereka punya seorang putra yang dinamai William. Desingan dari Shiny Gentleman meliputi lembah dengan aroma kematian tepat pada hari perayaan itu. Itulah kali terakhir aku mendengarnya.