12/03/19

Kemelut Angkara

- Kemelut Angkara -

by : - Kevin

Aku berdiri tegak jumawa. Sebilah parang hitam panjang tergenggam erat dalam jemari, berkilau diterpa kilasan surya. Mataku nyalang menatap benci pasukan siap tempur di hadapanku. Deru nafas yang memburu makin menambah kesan bengis, siap membantai diriku dan pasukanku.

"Hei makhluk-makhluk bedebah! kuberi kalian kesempatan untuk lari sebelum habis dimakan belatiku!" seruku lantang, mengacungkan parang di tanganku ke muka.

"Bangsat! sampai matipun kami tak akan mundur," sahut lelaki perawakan kekar pimpinan mereka.

Amarahku sudah tak lagi dapat dibendung. Gigi-gigiku bergemeletuk nyaring, bukan karena gigil, melainkan murka yang siap kumuntahkan. Aku menoleh menatap ksatria-ksatria yang mendampingiku di kedua sisi. Gurat mereka tiada beda, kemelut angkara kian menyelimut, harga diri dan kebanggaan siap ditukar nyawa.

"Bunuh mereka! jangan sisakan satupun" teriakku garang.

Segera setelahnya, aku dan ksatria-ksatriaku menerjang menyerbu pasukan musuh, derap-derap kaki riuh terdengar, tombak-tombak kedua kubu saling beterbangan. Aku tak pernah merasakan gejolak amarah yang begitu membuncah sebelumnya, nafsu binatangku menggeliat liar.

"Aaarrrrggghhhh,"

Salah satu ksatriaku jatuh tersungkur, ia terkena lemparan batu dari seorang musuh. Aku segera menghampiri dan mengusap keningnya yang berdarah.

"Bertahanlah, saudaraku," diriku berujar seraya membantunya bangkit.

"Aku... aku tak bisa melakukan ini, saudaraku. Aku belum siap mati," ucapnya lirih, kemudian melangkah menjauh.
"Maafkan aku...,"

Ia lalu berlari meninggalkan medan perang. Aku mengumpat pelan, pasukan kami memang kalah jumlah. Kemenangan seperti sebuah keajaiban.

"Lawan aku brengsek!,"

Aku terkesiap kemudian berbalik. Lelaki perawakan kekar itu kini berdiri dihadapanku, menantang. Ia menggenggam seutas rantai besi.

"Ayo lawan aku!,"




Nyaliku menciut, tubuh tinggi besarnya perlahan mendekatiku. Tak terbayang rasa sakit ketika rantai ditangannya menghantamku tepat diwajah.

"Sialan," aku bergumam.
Kugenggam erat parang dijemariku. Aku memberanikan diri, aku lebih baik mati ketimbang hidup sebagai pengecut.

Bunyi yang tak asing ditelinga tiba-tiba terdengar sesaat sebelum aku mengayunkan parang. Bunyi sirine yang menggaung dari segala penjuru.

Aku dan pasukanku kocar-kacir. Tiga truk Satpol PP mengepung kami. Petugas-petugas berseragam berhambur dan menodongkan senjata api. Kami tak dapat berkutik.

"Bubar! ayo bubar!"

Aku berhasil melarikan diri. Sejenak kulihat pasukanku dan pasukan musuh digelandang menaiki truk-truk besar.

Hari ini mungkin telah berakhir, namun pertikaian SMA-ku dan SMA Bojongkenyot takkan pernah usai sampai kapanpun.

***