02/03/19

CREEPYPASTA : Words Of Silence

Sosoknya selalu membuatku terkesan. Mata kehitamannya yang terkesan malu-malu, rambutnya yang hitam dan terkadang agak kusut, pipinya yang gemuk menggemaskan, semua dari dirinya selalu membuatku terkesima. Namun, dari semua kelebihan yang ada pada dirinya, sikapnya yang terkesan murunglah yang menjadi sumber ketertarikan terbesar dariku. Semua itu menjadikannya sosok seorang bocah yang misterius. Ada gemuruh badai serta keliaran tersendiri dalam sosok pendiamnya, sebuah emosi yang terkubur rapat, dimana kata-kata tak bisa mewakilkan semua itu.

Kami berdua merasakan ikatan batin yang sangat kuat, saling berbagi kepedihan dan kesepian saat terasing dari kubangan sosial. Tidak ada kata “milikmu” atau “milikku” yang ada hanyalah kami –sebuah kata yang mewakili kebersamaan dan berbagi.

Awalnya kami hanya berkomunikasi dalam diam. Hingga suatu saat, aku berhasil membuatnya tertawa. Sebuah keajaiban terbesar yang pernah kulihat sepanjang keberadaanku. Ada perasaan ngeri yang merayap saat melihatnya tertawa, sebuah emosi verbal yang akhirnya terlahir dari sosoknya yang terlihat mati. Namun, perasaan bahagia jauh lebih kurasakan saat itu.

Cinta dan persahabatan nan tulus terkadang melahirkan keajaiban.

Hingga kemudian kami kedatangan seorang pembantu di rumah. Seorang pembantu yang kerap berlaku kasar terhadap sahabatku, namun di sisi lain sangat baik padaku. Jujur saja aku merasa risih saat dia mengelus dan menciumiku, sahabatku juga nampaknya merasakan hal yang sama. Bisa kulihat dari sorot matanya yang menunjukan kemarahan dan jijik dalam waktu yang bersamaan. Aku khawatir sahabatku ini menjauhiku kemudian karena cemburu, bagaimanapun juga, dialah sosok yang paling berarti bagiku.

Pada suatu hari, pembantu kami ini bersikap sangat kasar terhadap sahabatku. Dia mengomel dan berkata-kata kasar saat tak ada seorang pun di rumah. Tak pernah kurasakan kemarahan yang begitu hebat. Saat pembantu kami mengangkat sapu hendak memukul sahabatku, tanpa pikir panjang kuraih sebuah pensil yang tergeletak di meja dan kutancapkan pada kakinya. Pembantu kami menjerit ngeri, namun tak berlangsung lama, sebab setelahnya, kutancapkan lagi pensil itu pada lehernya.

Lagi dan lagi hingga akhirnya dia berhenti menggelepar di atas lantai kamar.

Ada hening yang tegang setelahnya. Namun kemudian sahabatku menghambur dan mendekapku dengan erat.

“Terima kasih,” ucapnya lirih dengan tubuh terguncang menahan tangis.

“Bisakah kau lakukan hal yang sama terhadap Ayah? Aku tak mau dia menyakitiku lagi,” katanya dengan suara serak.

Aku terkejut mendengarnya. Kupikir saat ayah menindihnya pada malam-malam tertentu, hal itu merupakan bentuk kasih sayang. Aku tak pernah menyadarinya sebagai sebuah hal yang keji dan menyakitkan. Aku telah bersumpah untuk melindungi sahabatku, akan kulakukan apa pun demi membuatnya bahagia.

“Baiklah,” jawabku pendek. Aku akan merencanakan sesuatu, termasuk membereskan semua kekacuan ini. Aku yakin bisa melakukannya walau diriku hanyalah seonggok boneka.



OSC : –Ventura-