02/03/19
Home »
urban legend
» CREEPYPASTA : Liontin Keramat
CREEPYPASTA : Liontin Keramat
Maya si gadis belia hidup serba kekurangan dengan ibunya yang kini renta. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir hutan yang dulunya digunakan sebagai tempat menyimpan gelondongan kayu ulin. Gubuk itu, adalah satu-satunya warisan ayah Maya yang tersisa setelah meninggal.
Maya dan ibunya bergantung pada uang hasil kerja serabutan. Kadang, jika ibunya merasa sedang sehat, ia akan menjadi buruh cuci pakaian keliling. Menawarkan tenaganya pada para penduduk desa dari pintu ke pintu. Namun, di usianya yang telah mendekati kepala enam, tubuhnya mulai terasa kian melemah. Jika demikian, Maya hanya bisa berharap pada ranting-ranting kecil yang tersebar dalam penjuru hutan, guna menjualnya sebagai kayu bakar.
Suatu hari, Maya kembali ke rumah dan mendapati ibunya tergolek tak berdaya di atas kasur. Dari mulutnya mengucur busa berwarna putih, busa itu merembes hingga membasahi pakaian yang ibunya kenakan.
"Ya, Tuhan. Apa yang terjadi?" Maya berlari panik mendekati ibunya yang sekarat.
"Waktuku telah tiba ...," lirih sang ibu, matanya mendelik-delik menatap langit-langit.
Maya terisak sedih, ia memegangi jemari tangan si ibu rapat-rapat. Ditangkupkannya telapak berkerut wanita itu ke wajah. Tak rela melepas kepergian orang tercintanya.
Si ibu mencabut kalung liontin yang menggantung di leher, kemudian dengan gemetar memberikannya pada sang gadis.
"Benda ini dulunya milik ayahmu. Aku ingin kau memilikinya."
Maya meraih liontin berbentuk oval tersebut. Dan menatapnya sejenak.
"Liontin itu keramat. Di dalamnya terdapat sesuatu yang hanya boleh kau buka ketika kau benar-benar merasa kesulitan."
Si gadis memandang ibunya bingung. Ia mengusap airmatanya perlahan.
"Ingat. Hanya ketika kau benar-benar kesulitan." bersamaan dengan kalimat terakhir itu pula, si ibu meninggal.
Empat tahun kemudian, Maya telah pindah ke kota. Ia lebih memilih bertindak realistis. Ia kini menjadi pramunikmat di salah klub ternama di pusat kota. Hanya dengan begitu, ia tak lagi sering kelaparan sebab tak punya uang untuk membeli makanan.
Hanya beberapa bulan bekerja, nyatanya nasib sial masih menghantui Maya. Ia terjangkit virus HIV setelah melayani nafsu pria hidung belang yang berbeda tiap harinya. Ia telah berobat ke dokter spesialis, hingga dokter klenik, namun tak pernah membuahkan hasil.
Satu malam, Maya duduk termenung di apartemennya. Ia menyesali jalan hidup yang dirinya pilih. Jika bisa memutar waktu, ia lebih baik hidup miskin saja. Lebih baik ketimbang tiap harinya senantisa dibayang-bayangi kematian. Maya kemudian teringat barang pemberian mendiang ibunya. Ia meraba dada, dan menyentuh liontin itu di sana. Si gadis kemudian mencabutnya.
"Aku sangat kesulitan sekarang, kupikir ini saat yang tepat untuk membuka liontin locket pemberian ibu," lirih Maya. Meski ragu, ia akhirnya memutuskan untuk melihat isi dalam benda wasiat tersebut.
Sesaat setelah melihatnya, Maya jatuh pingsan. Apa yang tertulis sungguh membuatnya terkejut.
Di sana tertera:
"BUNUH DIRI JALAN SATU-SATUNYA."
Maya dan ibunya bergantung pada uang hasil kerja serabutan. Kadang, jika ibunya merasa sedang sehat, ia akan menjadi buruh cuci pakaian keliling. Menawarkan tenaganya pada para penduduk desa dari pintu ke pintu. Namun, di usianya yang telah mendekati kepala enam, tubuhnya mulai terasa kian melemah. Jika demikian, Maya hanya bisa berharap pada ranting-ranting kecil yang tersebar dalam penjuru hutan, guna menjualnya sebagai kayu bakar.
Suatu hari, Maya kembali ke rumah dan mendapati ibunya tergolek tak berdaya di atas kasur. Dari mulutnya mengucur busa berwarna putih, busa itu merembes hingga membasahi pakaian yang ibunya kenakan.
"Ya, Tuhan. Apa yang terjadi?" Maya berlari panik mendekati ibunya yang sekarat.
"Waktuku telah tiba ...," lirih sang ibu, matanya mendelik-delik menatap langit-langit.
Maya terisak sedih, ia memegangi jemari tangan si ibu rapat-rapat. Ditangkupkannya telapak berkerut wanita itu ke wajah. Tak rela melepas kepergian orang tercintanya.
Si ibu mencabut kalung liontin yang menggantung di leher, kemudian dengan gemetar memberikannya pada sang gadis.
"Benda ini dulunya milik ayahmu. Aku ingin kau memilikinya."
Maya meraih liontin berbentuk oval tersebut. Dan menatapnya sejenak.
"Liontin itu keramat. Di dalamnya terdapat sesuatu yang hanya boleh kau buka ketika kau benar-benar merasa kesulitan."
Si gadis memandang ibunya bingung. Ia mengusap airmatanya perlahan.
"Ingat. Hanya ketika kau benar-benar kesulitan." bersamaan dengan kalimat terakhir itu pula, si ibu meninggal.
Empat tahun kemudian, Maya telah pindah ke kota. Ia lebih memilih bertindak realistis. Ia kini menjadi pramunikmat di salah klub ternama di pusat kota. Hanya dengan begitu, ia tak lagi sering kelaparan sebab tak punya uang untuk membeli makanan.
Hanya beberapa bulan bekerja, nyatanya nasib sial masih menghantui Maya. Ia terjangkit virus HIV setelah melayani nafsu pria hidung belang yang berbeda tiap harinya. Ia telah berobat ke dokter spesialis, hingga dokter klenik, namun tak pernah membuahkan hasil.
Satu malam, Maya duduk termenung di apartemennya. Ia menyesali jalan hidup yang dirinya pilih. Jika bisa memutar waktu, ia lebih baik hidup miskin saja. Lebih baik ketimbang tiap harinya senantisa dibayang-bayangi kematian. Maya kemudian teringat barang pemberian mendiang ibunya. Ia meraba dada, dan menyentuh liontin itu di sana. Si gadis kemudian mencabutnya.
"Aku sangat kesulitan sekarang, kupikir ini saat yang tepat untuk membuka liontin locket pemberian ibu," lirih Maya. Meski ragu, ia akhirnya memutuskan untuk melihat isi dalam benda wasiat tersebut.
Sesaat setelah melihatnya, Maya jatuh pingsan. Apa yang tertulis sungguh membuatnya terkejut.
Di sana tertera:
"BUNUH DIRI JALAN SATU-SATUNYA."