17/03/19

[GOD'S MOUTH]



Aku menghela nafas seraya tersenyum penuh kesombongan saat melihat pintu masuk gua God's Mouth diatas sana.

Aku merasa bak seekor serigala ganas yang siap menerkam 3 babi kecil yang sedang bersembunyi di benteng rapuhnya.

Setelah penantian yang panjang, akhirnya aku bisa mengunjungi gua ini. Luar biasa.
Aku tersenyum dengan pemikiran itu dan melihat Margaret didepan sana.

Dia ada beberapa kaki didepanku sambil memegang sebuah tongkat untuk membantunya mendaki bukit ini.

"Cepatlah..!" Dia memanggilku.

Aku kembali tersenyum sambil terus mendaki bukit ini.

Kami akhirnya sampai didepan pintu masuk gua ini. Margaret terlihat sangat lelah, mungkin 2x lebih lelah dibandingku mengingat dia seorang wanita.

Kuamati keadaan diluar gua ini, sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di bebatuan sekitar sini.
Itu seperti sebuah tulisan.

Aku mengambilnya dan kemudian membacanya.

"God's Cave : Menjauhlah!". Ya, sebuah papan peringatan klise dan kukembalikan tulisan itu ke asalnya tadi.

"Hei lihat ini."

"Mulut tuhan? Lalu mana anggota tubuh lainnya?"

Ucapku menggoda Margaret sambil berfikir betapa anehnya nama gua ini.
Margaret terlihat cuek saja dengan ucapanku tadi.

"Berikan botol minumku." Ucap Margaret yang masih mengatur nafasnya. Ia pun meminumnya sampai raut mukanya berubah menjadi lebih tenang.

Aku mulai mengeluarkan senter dan mengarahkannya ke gua ini.
Hitam. Gua ini lebih terlihat seperti persembunyian roh ketimbang menyebutnya sebagai "mulut tuhan".
Kemudian aku berbalik untuk menghampiri Margaret yang sedang istirahat sejenak itu.

"Kau siap?" Tanyaku.

Akhirnya ia berdiri seraya mengangguk.
Aku menepuk halus punggungnya dan kami berjalan memasuki gua ini.

Aku menyesal sempat berpikiran buruk tadi. Nyatanya, pemandangan didalam gua ini sangat indah. Cahaya dari lampu senterku menerangi bebatuan dari dinding gua ini. Perlahan, cahaya di pintu masuk tadi semakin menghilang seraya kami berjalan lebih dalam memasuki gua ini. Lebih dalam.
Aku melirik sekeliling dan lampu senterku menangkap batuan stalaktit dan stalakmit dengan formasinya masing-masing.

Mungkinkah ini bagian "gigi"nya?

Jika ia, aku akan rela berada disini untuk tidur karena disana terlihat nyaman dan sangat indah.

Rupanya Margaret tak setuju denganku. Ia menggigil seraya melingkarkan tangannya di lenganku. Cuaca disini memang agak dingin.

Aku mengangkat alis.


"Apa kau ingin mantel lagi?." tanyaku sambil menatapnya. Dia tidak menjawab.

Aku mencoba mengartikan gerak-gerik Margaret saat ini tanpa komunikasi verbal. Dan akhirnya aku menyadari bahwa kami sudah berada terlalu dalam di gua ini.

Aku sedikit gugup.

Margaret masih belum menjawab pertanyaanku. Kami terus berjalan kedepan dalam diam meskipun tak tau arah.

Dia berhenti sesaat dan aku pun ikut berhenti.

"Kenapa kita ada disini sih?" kata Margaret. Ia terlihat kesal.

Aku mengangkat bahu dengan sikap santai dan mengarahkan lampu senter dibawah dagu untuk menyinari sebagian wajahku agar menimbulkan efek seram.

"Wuuuuuu takut." aku tertawa mengejeknya. Dia masih tak meresponku.

Aku menghela nafas.

"Ya, kupikir kau memang ingin pergi ke tempat ini kan?"
Suaraku bergema didalam gua ini.


"Maksudku.." aku memulai pembicaraan lagi sambil menggaruk dagu.

"Kau bilang ingin melihat sesuatu yang berbau alam untuk liburan kali ini. Dan kau terlihat sangat tertarik saat aku membicarakan kunjungan kita ke Gua Mammoth beberapa tahun lalu. Jadi kupikir...." suaraku melemah. Aku masih bisa merasakan kejengkelannya.

"Tidak." katanya. Aku mengerutkan kening.

"Tidak, kau sendiri yang ingin pergi ke gua ini. Aku hanya menuruti keegoisanmu saja. Aku berusaha menjaga perasaanmu selama di perjalanan karena aku tahu, kau begitu ingin mengunjungi gua ini. Aku memang ingin pergi ke suatu tempat seperti pantai atau apapun itu tapi bukan sebuah gua. Bukan sebuah gua Nathan!."

Dia terlihat seperti siluman serigala ganas sekarang.

"Aku tahu bahwa kau memiliki ketertarikan aneh dengan tempat-tempat di alam liar. Tapi aku tak ingin benar-benar tersesat didalamnya. Dan jangan salah paham. Maksudku berbau alam itu ya sesuatu yang bisa membawa kita untuk merasakan udara segar dari alam. Tapi ini?."
Aku dapat melihat pergerakan tangannya menunjuk sekeliling.

"Ini udara gua Nathan! Ibarat sisa-sisa udara yang terjebak dan diawetkan. Bukan udara segar. Ditambah, bukankah ini kegiatan yang illegal?. Jadi, bisakah kita tinggalkan tempat ini sekarang?."
Kami berdua berdiri disini dalam diam. Satu-satunya suara yang terdengar adalah gemuruh air yang tertahan dan tertutupi oleh suasana lembab.

Akhirnya aku mulai berjalan lurus ke depan. Aku tak mendengar Margaret mengikutiku dari belakang.

"Nathan." ia memanggilku.

"Berhenti. Tolong berhenti." ucapnya lagi, lalu aku berhenti.

"Maafkan aku.." aku bisa mendengarnya berjalan mendekat ke arahku.

"Aku hanya lelah. Aku tak ingin berlari, mendaki atau semacamnya lagi. Aku hanya lelah Nathan.."

"Tidak apa-apa. Sudahlah." dia menggenggam erat tanganku.

"Sungguh, tak apa-apa Margaret." kataku sambil menggeleng.

"Jadi, dimana jalan keluarnya? Aku tak ingat." kata Margaret, aku bisa merasakan kegugupannya.
Sial, aku pun tak mengingat jalan masuk tadi.

Kami berjalan terlalu jauh kedalam. Terpesona dengan keindahan gua ini di awal tadi.

Seharusnya aku membawa tali atau apapun itu yang bisa menjadi penanda untuk jejak kami tadi.

Aku harus mengambil tindakan, aku harus bisa menenangkan Margaret.

Akhirnya aku berbalik 180 derajat seraya berkata

"Lewat sini."

Kami masih terus berjalan. Nampaknya sudah berlangsung selama beberapa jam. Kakiku sudah lelah dan sakit. Aku pun bisa mendengar rintihan Margaret di belakangku, yang juga merasakan penderitaan ini. Ia menggenggam erat tanganku. Aku sungguh merasa bersalah. Ini salahku.

Kemudian aku terdiam sambil menyentuh salah satu dinding gua ini.

"Hei..hei." kataku.

"Letakkan tanganmu disini. Dan rasakan batu ini."

Aku bisa melihatnya mengikuti perintahku dan menempelkan telapak tangannya pada dinding gua ini.

"Bukankah ini terasa hangat? Aneh kan." kataku. Dia masih tak mengucapkan apa-apa.

Aku mulai menyusuri dinding hangat ini. Menyisir dan meraba setiap bagian dinding ini dibantu cahaya lampu senter.

Tiba-tiba, aku merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku.

Aku terbentur langit-langit gua.

"Oh Shit!" Aku berteriak, mengerang kesakitan.

"Nathan? Kau tak apa-apa?" aku mendengar suaranya dan merasakan cahaya lampu senter miliknya menyorot wajahku, menyilaukan mata ini. Ia terdengar panik.

"Aku tak apa-apa. Tenanglah, aku sedang memeriksa dan kita akan segera keluar dari gua ini. Aku berjanji."

Kemudian, aku menyorotkan lampu senter ini ke atas kepalaku.

Aneh, sepertinya langit-langit gua ini semakin menyempit. Maksuku, mengapa langit-langit ini berada begitu rendah hingga aku dapat membenturnya. Sungguh aneh.

"Margaret sayang." ucapku sambil mengatur nafas.

"Sepertinya kita harus memutar balik." aku mendekati Margaret dan dapat merasakan helaan nafasnya.

Sekali lagi. Kami berjalan tak tentu arah menyusuri gua ini.
Aku terus menyorot langit-langit gua ini dan benar saja.

Ruangan dalam gua ini sepertinya menjadi menciut, langit-langitnya pun menjadi semakin rendah.

Jika saja ada cahaya lain selain lampu senter kami yang terfokus pada jalan dan langit-langit.

Mungkin, Margaret dapat menyadari kepanikan yang tersirat di raut wajahku.

Kami benar-benar terserat.

Aku melepaskan genggaman tangan Margaret seraya berlari menyusuri dinding. Aku benar-benar panik.

Aku harus segera menemukan jalan keluar demi menyelamatkan kami berdua. Cukup sudah, aku tak mau membuat Margaret kelelahan lagi.

Biar aku yang berusaha mencari jalan keluar, kemudian kembali dan menyelamatkannya.

"Tidak Nathan!"

"Jangan tinggalkan aku!" aku bisa mendengar teriakannya.

Aku harus terus berjalan. Jika kita berdua hilang, tak ada seorangpun yang menemukan kami. Maka dari itu, kuputuskan untuk sejenak menyusuri gua ini sendirian.

Aku masih terus berjalan sampai aku memukul sudut dinding ini.

"Sial!" gerutuku sambil berteriak.

"Margaret, sepertinya ini jalan buntu. Tunggu dan diam ditempatmu, aku akan segera kembali kesana."

Aku memutar balik.

"Margaret?".

Hening..

Tak ada jawaban. Sial.

Aku mulai menyusuri jalan tadi untuk kembali ke Margaret. Akan tetapi, aku mendapati diriku berada di sudut gua ini lagi. Di jalan buntu tadi.

"Sial sial sial!!!!" aku berteriak kesal.

"Margaret..." aku meneriakkan namanya sekeras mungkin.

Aku kembali berjalan, bahkan berlari namun kudapati diriku berada di sudut gua sialan ini lagi.

Tiba-tiba, aku mendengar suara. Kedengarannya seperti suara statis di televisi.

Aku menempelkan telingaku di dinding gua ini. Dan nampaknya, dinding ini terasa lebih hangat dari sebelumnya.

Samar-samar, aku mendengar suara Margaret di sisi lain batuan dinding. Ia berteriak seperti sedang kesakitan.

"Tidak.. Tidak.. Tidak.!!" aku berteriak.

"Ini tidak mungkin!."

Aku berlari tak tentu arah. Aku sangat khawatir dengan Margaret.

Sial. Tak ada jalan masuk. Begitupun dengan jalan keluar.

Yang kudapati hanya empat sudut dari dinding gua ini. Dan diriku sendiri yang sedang terjebak.

"Aaaaarrggh."

Aku mulai merasakan sakit akibat bersentuhan dengan sisi dinding yang runcing dari gua ini saat aku bersender.

Aku segera menjauhi dinding tadi dan mulai mengamati sekeliling dengan bantuan cahaya lampu senterku ini.

Kuperhatikan setiap sisi di gua ini selama beberapa saat.

1 hal yang dapat kusimpulkan.

Gua ini mulai menghimpitku.

Sepertinya, dinding gua ini semakin mendekat ke arahku, ia akan menghimpit dan siap meremukkan badanku kapan saja.

Akhirnya, aku benar-benar merasakan dinding ini meyentuh punggungku dengan sendirinya.

Bukan aku yang bersandar seperti tadi. Melainkan, dinding ini yang mendekati tubuhku.

Aku duduk disini, terjebak selama berjam-jam menunggu kematian.

Senter yang kupegang mulai meredup.

Perlahan, tapi pasti.

Aku mulai menangis dan berbaring di tanah.

Aku membiarkan senterku terjatuh, beguling menuruni celah sempit di salah satu sudut sana.

Sepertinya, langit-langit gua ini sudah berada tepat di atasku. Aku dapat merasakan tetesan air dari batuan di langit-langit.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke celah sempit tadi, dimana senterku berguling melewatinya.

Aku menyipitkan mata agar dapat melihat apa yang tersorot oleh lampu senterku yang berguling tadi.
Mataku terbelalak dan aku menangis sejadi-jadinya.

Batuan runcing itu perlahan menusuk kulitku semakin dalam. Aku merasakan sakit yang luar biasa dan darah sepertinya masih terus mengucur dari seluruh tubuhku yang mulai terhimpit ini.

Dalam kesendirian, aku masih terus merasakan kesakitan.

Ini seperti penyiksaan untuk menjemput ajalku sendiri.

Batuan runcing itu terus menusuk kulitku, menembus setiap inci daging yang ada di tubuhku secara perlahan.

Aku merasakan ngilu yang luar biasa saat mereka sampai dan menyentuh tulang dalam tubuhku ini.
Perlahan tapi pasti.

Aku melihat cahaya terakhir yang tersorot oleh lampu senterku tadi.

Cahaya itu menyorot sebuah tangan yang tergeletak di bawah dengan kutek berwarna merah di kukunya. Itu tangan Margaret.

Pandanganku mulai kabur dan aku berteriak sejadi-jadinya, merasakan kesakitan akibat ulah dari mulut tuhan yang sedang melumat badanku ini. Tak ada ampun.



[end]