Aku dan Stephen pertama kali bertemu ketika kami berada di tingkat Sekolah Dasar. Meski masih 9 tahun, kami begitu sering mengalami kejahilan dan pembully-an karena kami agak berbeda dari anak-anak kebanyakan.
Kami tak tertarik pada olahraga, kami juga tak menggemari musik rock ataupun metal. Kami lebih senang memainkan musik instrumen dan game dari pada sepak bola atau hockey. Kami sangat tertutup diantara orang sekitar, hingga hubungan pertemanan yang kami miliki hanyalah antara satu sama lain. Kami bahkan hampir terlihat seperti anak buangan di lingkungan sekolah.
Yah, namun hal tersebut tak pernah kami gubris. Hingga hari ini pun, masih tak terlalu kami perdulikan. Namun aku akui, kadang aku benci saat di jahili dan di ledek, tapi disamping semua itu masa kecilku amatlah menyenangkan.
Orang tuaku merawatku dengan baik, dan tubuhku selalu sehat. Hal yang tidak wajar tentangku adalah aku tak pernah mengalami patah tulang. Atau sakit keras. Bahkan sekedar flu pun tidak. Aku hanya sering mengalami kondisi dingin di kepala dan gejala perut kembung, begitulah, tak ada yang serius.
Saudariku dua tahun lebih tua dariku (lebih tepatnya dua tahun satu bulan). Dia berpenampilan dan berperilaku seperti yang sering dijuluki orang sebagai anak 'tomboy'. Dia selalu menjagaku, membelaku, dan bahkan nekat memukuli orang lain untuk melindungiku.
Namun seiring berjalannya waktu, aku kian merasa cukup percaya diri untuk membela diriku sendiri. Kekuranganku dalam hal otot kusiasati dengan kecerdasanku, bukan bermaksud sombong atau apapun
Anak lain yang suka menghinaku tak ku perdulikan atau malah akan ku ceramahi. Kata-kata yang kulontarkan terlalu pintar untuk anak seumuranku (14 th) hingga mereka tak dapat membalasnya.
Akhirnya mereka hanya bisa mencemoohku dengan ejekan amatir dan bodoh seperti, "yeah, pastinya, kau itu kan homo" dan semacam itulah. Sungguh cerdas!
Semakin aku beranjak dewasa aku mulai kembali diterima dalam lingkup pergaulan. Stephen juga dapat dengan mudah berbaur di lingkungan SMA, namun bagiku butuh beberapa waktu lebih lama. Tampaknya sekitar umur 16an jika kuingat, orang lain mulai berubah sikap jadi lebih bijaksana.
Namun pada fase tersebut, aku menyadari kalau Stephen mulai bertingkah aneh.
Keanehannya masih belum kentara. Dan pada waktu itu aku bahkan tak melihat sikapnya sebagai suatu permasalahan. Dia mulai menunjukkan ketertarikan besar terhadap Psikologi. Tentu saja tentang mempelajari kerja otak manusia. Dia sering melakukan trik atau permainan pikiran pada orang-orang, menanyai beragam pertanyaan untuk 'mengetes' mereka.
Aku ingat suatu hari, saat itu aku tengah mengantre di depan mesin penjual untuk mendapatkan wafer Mars harianku ketika dia muncul lalu bertanya,
"Apa kau akan nekat menyela antrean ini sampai ke depan jika kau tahu wafer Mars itu hanya tinggal sisa satu?"
Jawaban spontanku adalah,
"Tidak, tentu saja tidak."
Anak-anak di sekolahku memang suka seenaknya memotong antrean, tapi aku tak pernah begitu.
Aku rasa aku hanya bukan tipe orang semacam itu. Tanggapan yang dia lontarkan tak begitu menggangguku namun tetap saja aku merasa itu ada benarnya, dia bilang
"Ah tapi kau tahu bahwa alam bawah sadarmu berkata kalau orang lain yang mengantre itu lebih muda darimu. Mereka adalah penghalang untukmu. Kau bisa dengan mudah mengusir mereka dari antrean dan mereka takkan berdaya untuk melawanmu. Namun masyarakat beradab melihatnya sebagai suatu tindakan egoisme, atau sebutan sederhananya jahat."
Penjelasannya tersebut membuatku agak sedikit tercengang, namun aku tak terlalu memikirkanya. (Mungkin dulu seharusnya aku memberitahu seseorang akan itu).
Jenjang kuliah pun tiba dan, kejutan paling mengejutkannya, Stephen mengambil jurusan Psikologi.
Aku berkeinginan untuk kuliah di universitas yang sama dengannya dan mengambil mata kuliah Managemen Sumber Daya Manusia, tapi aku tak lolos tes masuk, alhasil aku harus berakhir di universitas lain.
Setiap akhir minggu kami rutin bertegur sapa. Dia masih Ste (nama panggilannya) yang dulu, periang, menyenangkan, dan rendah hati. Suka menghibur tapi juga ceplas-ceplos secara bersamaan, tapi itulah yang kusuka darinya.
Minatnya akan Psikologi kian besar dan besar dan besar. Seringkali dia memulai obrolan tentang eksperimennya Freud, Adler atau Pakar psikologis terkenal lainnya. Kadang dia membahas mengenai bermacam-macam eksperimen mereka saat kami sedang kumpul dengan teman-teman yang lain.
Dan beberapa eksperimen cukup mengganggu, semisal "The Prison Experiment". Ada juga yang brutal, seperti sebuah percobaan suatu keluarga untuk meyakinkan putra lelaki balia mereka, bahwa sesungguhnya dia itu adalah perempuan. Hasilnya? Semua anggota keluarga termasuk "perempuan" itu menjadi kehilangan kewarasan dan/atau menghabisi diri mereka sendiri. Parah.
Lepas dari semua itu, kami tetaplah sahabat karib yang tengah menjajaki usia dua puluhan. Dia berjumpa dengan gadis impiannya, memacarinya selama 7 bulan hingga akhirnya dia mengajukan lamaran.
Nama gadis itu Emily. Walau aku berpikir pernikahan mereka agak terlalu dini, tapi aku tetap merasa bahagia untuknya. Dia memperlakukan istrinya bak seorang putri. Sedangkan ia sendiri adalah sang ksatria dengan baju besi berkilaunya. Mereka memuja satu sama lain. Akupun merasa sangat bangga, dan begitu menggebu -gebu saat berpidato di pesta pernikahan mereka (selama kurang lebih 6 menitan seingatku). Upacaranya sangat indah.
************
Aku menyesal harus berkata bahwa setelah itu aku mulai jarang bertemu dengannya. Kami hanya saling berkomunikasi setiap beberapa minggu sekali atau kukira begitu, yang kemudian jadi berbulan-bulan, lalu akhirnya bertahun-tahun. Enam tahunpun telewat sejak terakhir kali aku mendengar kabarnya.
Aku mulai sering melupakannya. Pekerjaanku sebagai Manager Kesehatan & Keamanan membuatku terlampau sibuk. Apalagi setiap akhir minggu tugas semakin banyak. Aku tinggal di sebuah flat kecil bersama tiga orang rekan kerjaku, Paul, Rita dan Alexandria. Apartemen kami berada di pusat kota. Jendela besar di ruang santai memberikan pemandangan penuh kearah kota yang mempesona. Gedung-gedung pencakar langit menghiasi latarnya. Di dinding terpasang lukisan seni moderen. Flat kami sederhana namun nyaman untuk dihuni. Segala kebutuhan sudah tersedia. Seringkali di akhir minggu kami pergi ke klub malam atau pub, dan kami semua bersahabat baik. Selama bertahun-tahun aku belum pernah berjumpa dengan teman-teman semasa SMA.
Pada akhir minggu sekitar bulan Maret yang dingin, Rita, Paul serta Alexandria pergi melancong ke Yunani seminggu penuh dan menginap sementara di rumah ibunya Alex, dengan begitu sepanjang 7 hari seluruh kamar flat adalah milikku sendiri. Maka aku memutuskan untuk menghubungi teman lamaku Stephen. Aku masih menyimpan nomer hp-nya (juga nomer istrinya untuk jaga-jaga) jadi akupun menghubungi kedua nomor tersebut. Namun tak ada satupun yang dijawab. Faktanya, kedua nomor itu sama-sama teralihkan ke pesan suara.
Kuputuskan untuk nge-chat dia lewat facebook. Sayangnya dia sedang offline sehingga aku cuma bisa mengiriminya pesan email. Sementara dalam proses pengiriman, iseng-iseng aku menjelajahi dinding fbnya dan aku menyadari kalau update-an status terakhirnya adalah sekitar lebih dari empat tahun yang lalu. Wow! Pastinya dia sudah tak berminat dengan facebook. Aku sendiri tidak pernah merasa sebagai penggemar facebook. Meski sekarang aku mendapati diriku selalu online setiap hari menulis status-status bodoh.
Dengan waktu luang seminggu penuh, akupun berencana berkendara ke rumah Stephen guna mengetahui bagaimana kabarnya sekarang. Aku yakin dia masih menetap di rumah yang sama, karena tak mungkin jika ia pindah tanpa memberitahuku. Hampir semua kejadian penting dalam hidupnya ia ceritakan padaku. Bahkan dulu akulah satu-satunya teman yang dia beritahu tentang niatannya untuk melamar Emily. Kalau ingatanku benar, berarti sampai saat ini mereka berdua sudah berumah tangga sembilan tahun lamanya. Aku berharap keputusanku mengunjungi mereka tidak menyebabkan gangguan atau apapun. Lagi pula tidak ada masalah antara hubungan keduanya denganku. Maka akupun sudah mantap. Jadi aku mengepak tasku, tas yang cukup besar (bukan untuk membawa barang-barang penting sebenarnya, toh di apartement tak ada yang berharga, hanya berjaga-jaga kalau dia memintaku untuk menginp barang semalam)
jadi aku langsung naik ke mobil dan menderu pergi. Aku masih ingat jalan menuju tempat tinggalnya dan itu hanya sekitar 40 menitan berkendara dari apartemenku (satu jam kalau jalanannya macet, tapi aku ragu kalu lintas akan penuh khususnya pada sabtu siang seperti sekarang ini).
Perjalanan memakan waktu sedikit lebih lama dari yang ku perkirakan. Area dimana dia tinggal masih terlapisi salju setebal beberapa inci. Pasti di sekitar sini truk pengeruk salju masih belum diberdayakan. Sayang sekali, mengingat area tersebut adalah pemukiman penduduk yang sangat indah. Dengan rumah-rumah era 1950 berjejer rapi. Terlihat begitu klasik. Cukup luas. Hampir serupa seperti pedesaan Whysteria. Pepohonan berbaris di sepanjang pinggiran lajur jalan. Timbunan salju tebal menghiasinya.
Akhirnya aku pun tiba di rumah Stephen yang mana terlihat paling menonjol dari rumah-rumah lainnya tapi bukan karena alasan yang bagus. Rumahnya gelap, catnya pun sudah luntur begitu parah, halamannya ditumbuhi ilalang liar, seolah sudah bertahun-tahun tak dihuni manusia. Meski begitu aku melihat mobil yang sama sejak terakhir kali aku melihatnya enam tahun lalu terparkir usang di depan pintu garasi. Audi A4 yang berkilau. Namun waktu sudah begitu banyak mengubah penampilan mobil itu. Ilalang dan bukannya tanaman bunga mendekorasi pekarangannya. Setelah mengamati pekarangan baru kemudian aku menyadari bahwa semua jendela dipalang rapat dari dalam. Aku telah melewatkan kesempatanku. Kenapa dia tak mengabariku akan kepindahannya? Kenapa dia meninggalkan mobilnya di sini? Aku harus mencari tahu. Beruntung bagiku, salah seorang tetangganya sedang berkebun di depan rumah. Akupun menghampirinya. Pria itu kurus tinggi berusia kira-kira enam puluhan. Memakai topi bermotif bunga dan kaos oblong putih. Dia tersenyum. Tampaknya orang yang ramah.
"Permisi, tahukah anda dimana Stephen berada?" aku bertanya.
"Oh aku rasa sudah lama dia tak menempati rumah itu," jawabnya.
"Anehnya tak seorangpun pernah melihat siapapun pergi dari sana. Seolah-olah mereka hilang begitu saja. Tetangga yang tinggal di belakang rumah berkata bahwa mereka hanya pernah melihat Stephen tengah berada lantai atas, dan suatu hari, dia tiba-tiba saja.. menghilang."
"Itu... sang-sangat aneh," aku tergagap. Kini aku mulai merasa curiga.
Dia melanjutkan,
"Yah, setiap kali dipanggil, tak ada yang menjawab. Padahal dulu keadaannya berbeda. Aku ingat sebelumnya mereka adalah tetangga yang baik, dan suatu hari semuanya... mendadak berubah."
Dia memandang ke bawah sembari berkata begitu dengan menampakan sedikit ekspresi bingung kemudian dia meminta diri untuk kembali masuk ke rumahnya.
Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Akupun mencoba untuk meneliti rumah Stephen secara lebih seksama. Yang mana menimbulkan perasaan ganjil di benakku. Aku merasa seolah tempat itu mengawasiku. Terdengar konyol tapi memang begitu yang kurasakan. Namun aku terus melanjutkan pemeriksaanku dan kudapati gerbang ruang garasinya terbuka.
Di dalamnya ada sebuah pintu lain yang memberikan jalan masuk ke rumah. Aku mengamati ke sekeliling jika kalau ada seseorang melihat tindak tanduk ku. Situasi aman. Dengan agak enggan aku berjalan menuju garasi. Baru setengah jalan ke sana, aku menyadari adanya beberapa kamera pengawas menyoroti setiap gerakanku. Stephen memang sangat mengutamakan keamanan, tapi menurutku lingkungan ini tidak tampak seperti rawan pencuri. Jadi apa maksudnya memasang kamera segala? Rumah Stephen di sebelah kiri. Rumah si pria tua tadi di sebelah kanan.
Garasinya terlihat cukup normal bagiku. Seperti garasi kebanyakan. Ada rak peralatannya. Suku cadang terbengkalai berserakan. Kardus-kardus berdebu dan semacamnya. Kupegang kenob dari pintu masuk ke dalam rumah. Aku memutarnya. Terkunci. Sial! Maka aku mencari-cari ke sepenjuru ruang garasi, berharap menemukan kuncinya.
Aku memeriksa kaleng-kaleng cat usang, laci, dan rak. Nihil. Setelah beberapa lama berdiri di sana dan hampir berpikir kalau ini adalah kebuntuan, mendadak sebuah ide muncul di otakku. Seperti yang ku sebutkan sejak awal, aku bukanlah pria brutal penggemar kekuatan otot. Namun saat ini ototku sangat dibutuhkan. Aku mengambil beberapa langkah ancang-ancang dan langsung berlari sekuat tenaga menerjang pintu coklat kotor di hadapanku. Awww, bahuku. Aku mengulang aksiku. Masih belum terbuka. Akhirnya, aku mundur lebih jauh dan sekuat mungkin mendobrak daun pintu.
Pintu terhempas membuka sementara aku masih dengan kekuatan penuh melewatinya. Aku tidak mengira akan adanya lorong sempit di depanku, hingga akupun jatuh tersungkur menubruk lantai. Awww, lagi.
Aku bangkit berdiri, dibelakangku pintu terbuka lebar, aku melangkah kikuk memasuki rumah itu. Aku mulai mengamati bagian dalamnya. Sangat berbeda dari yang aku ingat. Stephen benar-benar telah mengabaikan rumahnya. Lantai kayunya sudah melapuk, debu tebal dan sarang laba- laba menempel di sana-sini, bingkai rusak serta lukisan usang berserakan di lantai, perabotan rumah tangga penuh karat dan lumut, tapi yang pertama aku sadari adalah baunya. Bau yang sungguh tak sedap. Pernahkah kau bernasib cukup sial sampai-sampai kau tahu bagaimana baunya anjing basah? Nah, semacam itulah aroma yang memenuhi rumah ini. Sebenarnya apa yang terjadi?
Setelah mengamati lebih jauh, tampaknya bagian ruang yang lain di lantai bawah tidak terlalu banyak berubah maka aku melanjutkan ke lantai atas. Keadaan diatas masih sama seperti yang dulu, rasanya seperti mengalami déjà vu dicampur dengan mimpi buruk serta kengerian. Suasana rumah itu sendiri penuh dengan aura yang tidak menyenangkan. Kondisi lantai atas tak ada bedanya dengan lantai bawah. Atap yang kotor, karpet lantainya kumal compang-camping, dindingnya pun berlubang-lubang.
Seekor tikus tiba-tiba saja melompat keluar dari salah satu lubang tersebut. Hingga membuatku tak karuan kagetnya. Akupun menjadi lebih awas dan waspada. Ketika itulah aku melihat ruangan tersebut. Tak ada peringatan apapun mengenai apa yang nantinya bakal kutemukan di dalam sana. Sesuatu yang jauh lebih buruk dari semua prediksi terburukku.
Hal pertama yang terlihat adalah semacam cahaya redup. Kemudian aku menyadari bahwa cahaya itu berasal dari sebuah layar LED. Aku melangkah masuk sangat perlahan. Korden-korden jendelanya tertutup, ruangan itu gelap dan satu-satunya sumber cahaya berasal dari layar tersebut. Semakin dekat, aku dapat melihat beberapa barang lagi. Sebuah kursi. Sebuah meja. Lemari penyimpanan. Ruangan ini pastinya adalah ruangan yang disebutkan orang tua tetangga sebelah tadi. Berdiri memunggungi ambang pintu, aku melihat ujung kepala di balik kursi. Seseorang tengah duduk di kursi itu. Air mata mulai mengaliri wajahku tanpa bisa terbendung.
"St-ste-stephen," aku tergagap. Pada titik itu aku benar-benar terguncang bak dilanda gempa bumi. Tak ada jawaban.
"Ste- Ste-STEPHEN!!!" bentakku yang tiba-tiba merasakan dorongan gejolak amarah menyesakkan dalam dadaku. Masih tak ada respon. Aku tak punya pilihan lain. Kupejamkan mataku. Menjulurkan tangan kedepan. Meraih punggung kursi. Perlahan mengayunkannya menghadap ke arahku. Setiap detik terasa seperti bermenit-menit dalam siksaan batin. Aku sungguh tak sanggup untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Tapi aku harus. Aku tak bisa begitu saja melarikan diri dari semua ini. Itulah yang seringkali Stephen katakan padaku. Hadapilah ketakutanmu. Dan sekarang aku benar-benar takut. Takut setengah mati. Kebingungan. Sendirian. Separuh bagian dalam diriku ingin lari, tapi aku tak mampu. Akupun membuka mata.
Sepasang mata pucat menatap nanar padaku. Aku terjerembab kebelakang dengan mulut menganga lebar menyaksikan pemandangan dihadapanku. Terdapat luka bolong lebar penuh ulat belatung di tenggorokan dan juga ubun-ubunnya. Hanya dengan melihatnya saja, aku sampai bisa merasakan kerumunan belatung itu merayapi tubuhku. Kulihat sebuah pistol berkarat usang masih tergenggam di salah satu kerangka tangannya yang menjuntai kaku. Kerutan kecil diwajahnya terasa membunuhku.
Aku terhempas jatuh dan membekap wajahku dengan kedua telapak tangan. Sesenggukan hebat. Aku berada di alam lain. Aku mulai meragukan realita. Ini tak mungkin terjadi. Aku hanya berkhayal. Tapi khayalan ini terlalu nyata. Ini terlalu mengerikan untuk ukuran mimpi buruk. Walaupun lututku terasa selemas karet, aku mencoba bangkit berdiri. Aku bahkan tak sanggup melihatnya lagi. Aku tak mampu. Aku kemudian hanya berjalan pelan melewatinya. Setiap otot pada tubuhku terasa kaku. Lalu tanpa alih-alih, ku sambar kursi beserta tubuhnya, berlari ke koridor dan dengan murka aku melemparkannya sekuat tenaga jatuh terhempas menuruni anak tangga.
"SIALAN KAU STEPHEN! KAU SEHARUSNYA TAK MELAKUKAN INI. KENAPA KAU LAKUKAN INI BIADAB?! KAU TELAH MENGHANCURKAN BEGITU BANYAK KENANGAN BERHARGA MILIKKU!"
Sesaat kemudian aku tercenung sejenak. Pelampiasan amarahku ini cukup mengagetkan bagi diriku sendiri. Aku memandang tubuh Stephen teronggok di dasar tangga dengan kursi menindihnya. Aku bergegas kembali ke dalam ruangan untuk memeriksa. Mau tak mau aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku mempelajari layar LED. Rekaman CCTV? Aku melangkah maju dan menyaksikan sesuatu yang terlalu rumit untuk ditelaah. Sebuah ruangan bercat putih polos dan tak terdapat benda apapun di dalamnya. Ruangan putih dengan cipratan darah mewarnai salah satu bagian dindingnya, juga genangan darah terlihat di beberapa tempat.
Tiga sosok tubuh tergeletak kaku disana. Dua mayat anak-anak berjejeran dan tubuh seorang wanita terbujur di bawah dinding yang berlumur cipratan darah. Badanku serasa bergetar hebat, dengan perlahan aku mundur ke belakang, lalu muntah sebanyak-banyaknya. Rasa syok bercampur jijik membuatku sungguh mual.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyaku pada diri sendiri lagi dan lagi. Bagaimana bisa ada empat orang mati disini tanpa ada yang mengetahui?
Aku kemudian kembali memeriksa ke sekitar ruangan itu. Pulpen-pulpen usang dan lembaran kertas kusam berserakan di atas meja. Cangkir-cangkir kopi kotor terletak di sisi-sisinya. Ku buka tirai supaya cahaya dapat memasuki ruangan. Sebuah bingkai foto bergambar sosok Freud terpajang di dinding. Debu menyelimuti segala benda di ruangan tersebut, serta sarang laba-laba terlihat bertengger di setiap sudut jendela. Sebuah laci kabinet berdiri di samping meja. Laci paling atas memiliki label bertuliskan,
" Eksperimen : Starving Dogs". Dua laci dibawahnya berlabel "Catatan" dan "Perlengkapan". Laci paling atas terkunci. Tak mungkin aku mendobrak yang satu ini. Terutama setelah semua yang telah kulalui. Aku pun mencari kuncinya di sekeliling meja serta laci-lacinya. Aku mencari selama sekitar dua menitan. Dan binggo! sebuah kunci mungil perak kutemukan.
Setelah terdengar bunyi klik dan putaran, aku mendapati beberapa rekaman serta folder didalamnya. Folder tersebut dilabeli, "Starving Dogs" sedangkan rekaman-rekamannya terlabeli,
"Hari ke-1", "Hari ke-9", "Hari ke-42", "Hari ke-104", "Hari ke-235", dan yang terakhir "Hari ke ke-401". Setelah kukumpulkan semua rekaman berikut foldernya aku langsung bergegas pergi. Sekali lagi aku berlari melompati mayat Stephen lalu menuju pintu yang menghubungkan ke garasi.
Ketika aku tengah berlari tiba-tiba saja aku terhenti. Aku melihat satu ruangan di lantai bawah yang belum ku masuki. Perasan mencekam meluapi tubuhku. Sebuah pintu baja dilengkapi kode yang menghubungkan kedalam ruangan putih polos itu yang awalnya kukira adalah ruang makan.
Tentu saja aku tak dapat memeriksanya, tapi yang kucemaskan ialah rasa penasaranku untuk sekilas saja melihat kedalamnya. Aku tengah dilanda rasa ketertarikan yang tak wajar saat ini. Aku tak suka akan pengaruh dari seluruh situasi ini terhadapku. Dan setelah aku menyadarinya, aku segera lari dari sana. Aku menyelinap melalui celah pada pintu di garasi lalu berlari ke mobil.
Cuaca di luar sudah berubah mendung dan suasana amat sunyi. Tampaknya akan segera turun salju. Pria tua itu melihatku berlari keluar dari garasi, tapi tak ada waktu untuk menjelaskan situasiku padanya. Kulemparkan folder dan rekaman-rekaman itu ke jok depan, lalu menderu pergi dari sana secepat yang ku bisa. Aku berkendara menuju rumah Ayah dan Ibuku. Aku merasa tak sanggup tidur sendirian di apartemen. Apalagi setelah semua yang terjadi.
Beberapa hari selanjutnya terasa begitu berat. Aku menceritakan semua yang kualami pada orang tuaku, dan mereka cukup memahamiku. Ibu memeluku, dan menghiburku, melakukan segala cara untuk membangkitkan kembali semangatku. Begitupun juga ayah. Mereka selalu menjadi sosok orang tua yang penuh pengertian.
Sebenarnya aku bisa saja hanya duduk-duduk santai sepanjang hari tanpa harus melakukan apapun, tapi aku sadar bahwa aku memiliki sebuah tanggung jawab untuk diselesaikan. Aku melambaikan salam perpisahan pada ayah dan ibuku, kemudian aku pun berkendara pulang ke apartemen. Paul, Rita dan Alex pasti sudah kembali sekarang.
Beberapa hari telah berlalu semenjak aku mengalami peristiwa mengerikan itu. Seminggu penuh aku cuti kerja karena sakit. Paul punya pemutar video yang bisa kupakai. Kebetulan sekali dia meninggalkannya di apartemen. Dia begitu gemar menonton film-film jadul yang kebanyakan dia dapat dari ayahnya. Dia sering mengajak kami semua di sini untuk menontonnya, tapi kami tak terlalu terpikat. Dia selalu saja membanggakan film-film jadul itu. Karena itulah akhirnya kami pun terbujuk untuk menonton. Tuhan suka dengan orang yang pantang menyerah, aku rasa.
Malam itu, aku memutuskan untuk menghadapi mimpi burukku dengan memainkan rekamannya. Aku sangat penasaran mengapa Stephen menyimpan beberapa rekaman ini. Pasti didalamnya tersimpan data-data penting dari penelitiannya. Aku memulai dengan meneliti catatan-catatan dalam folder terlebih dahulu. Kuhabiskan waktu sekitar satu setengah jam untuk membacanya. Begitu banyak rincian mengenai eksperimen ini. Aku benar-benar tak percaya akan perubahan Stephen yang begitu jauh. Aku paham kalau dia sangat mencintai hal-hal psikologi, tapi aku tak menyangka kalau dia bisa sampai melakukan semua ini.
Secara garis besar, inti dari eksperimen "Starving Dogs" adalah : dia mengurung keluarganya selama kurun waktu yang telah ditentukan, yaitu tiga tahun. Wanita di ruangan itu adalah istrinya, Emily dan dua anak kecil yang bersamanya adalah anak kandung mereka berdua
satu perempuan dan satu laki-laki bernama Sandra dan Michael, usia mereka lima dan tiga tahun pada awal eksperimen tersebut di laksanakan. Ini pertama kalinya aku tahu kalau Stephen sudah punya anak. Dia merahasiakan rencananya ini, yang justru adalah bagian "paling menyenangkan" di sepanjang pelaksanaan eksperimen. Bagaimana manusia akan bereaksi terhadap perubahan mendadak dari gaya hidup mewah mereka ke insting alamiah untuk tetap bertahan. Selama eksperimen berlangsung, setiap harinya, dia memberi mereka makan dengan roti dan air. Hanya itu. Tanpa sarana hiburan sama sekali. Tanpa suatu benda apapun. Bahkan toilet pun tidak. Hanya ruangan kosong putih polos, roti serta air. Sudah itu saja.
Dia bereksperimen selama sekitar dua setengah tahun sebelum akhirnya bunuh diri. Dasar bedebah gila. Aku tak percaya kalau sahabat karib pertamaku ini ternyata adalah monster berpenyakit jiwa. Sungguh tak disangka. Namun ini barulah permulaan. Isi dalam video rekaman jauh lebih buruk.
"Hari ke-1" menayangkan rekaman dari anak-anak Stephen yang ketakutan. Aku tak terlalu paham mengenai apa yang kusaksikan ini. Mereka bergelayut pada Emily mencari perlindungan. Sedangkan ibu mereka terus menjerit dan menjerit. Melontarkan sumpah serapah dan kata-kata yang terlalu nyaring hingga tak dapat tertangkap audio. Reaksinya yang acap kali berubah-ubah sangat menakutkanku. Sudah bawaan aku rasa. Adegan ini berlangsung selama beberapa saat sampai rekamannya habis. Tampilan statis di layar televisiku berpendar terang dan berbanding terbalik dengan ruangan gelap tempatku berada.
Aku melanjutkan memutar rekaman "Hari ke-9". Kali ini menampilkan keadaan dimana Emily mengiba agar dibebaskan. Menangis putus asa. Sambil berlutut dan memohon. Anak-anaknya entah bagaimana tampak tak perduli. Si gadis yang berusia 5 tahun, yaitu Sandra, hanya terduduk di salah satu sudut ruangan. Raut sedih menghiasi wajahnya. Begitupun si kecil Michael. Ia merangkak kesana kemari dan seperti anak normal kebanyakan, ia sering melihat ke arah kamera dengan ekspresi polosnya. Aku rasa ia terlalu belia untuk dapat mengerti situasi naas yang tengah terjadi.
Keadaan mulai semakin terasa menganggu pada "Hari ke-42". Emely duduk di pojokan. Mengayunkan tubuhnya maju mundur. Rambutnya kumal, bajunya sobek di sana-sini. Menggumamkan celotehan aneh yang separuhnya tak dapat kumengerti. Dia bernyanyi lagu "selamat ulang tahun" berulang-ulang selama beberapa saat lalu kemudian meracau tentang seekor anjing bernama "blanket" dan mengatakan bahwa anjing itu sedang berada persis di depannya. Setelah itu ia membisu dan tangannya mulai mengais-ngais udara kosong terus-menerus.
Sedangkan kedua anaknya tengah berkelahi dengan ganas. Menendang-nendang, menjerit-jerit, dan menggigit satu sama lain. Sorot mata mereka tampak memancarkan kebengisan. Begitulah. Di sepanjang video hanya menampilkan adegan dimana mereka terus-terusan saling menendangi satu sama lain. Dan sepertinya mereka mulai kehilangan kewarasan.
Rekaman "Hari ke-104" kuputar setelah video sebelumnya berakhir. Pada video ini, Emily terus berteriak-teriak semacam, "menyembah si pria mata bolong" dan lalu beralih membentaki anak-anaknya tanpa henti. Tinja berceceran di seluruh permukaan lantai. Menjijikan. Emely tampak jadi sering memaki, meneriaki dan menyakiti anak-anaknya sendiri. Acap kali pemukulan yang ia lakukan sangatlah brutal dan kadang sampai mencakari perut, lalu pernah sekali saat ia sedang menyiksa Michael wanita ini mengancam bocah kecil itu kalau ia akan mengelupas kulit wajah Michael untuk ia jadikan topeng lalu dipakainya.
Anak-anak itu merespon dengan mendesis dan menggeram sambil memukuli kaki ibu mereka dengan kepalan tangan. Anak-anak itu juga sering berlari menghantamkan tubuhnya ke dinding sampai terpental jatuh hanya untuk kembali berdiri dan melakukannya lagi secara berulang-ulang. Isi rekaman ini pun jadi semakin mengenaskan.
Rekaman "Hari ke-235" adalah yang selanjutnya. Yang kali ini dimulai dengan Emily yang mengayunkan tubuhnya ke depan dan kebelakang sambil menggumam tidak jelas sama seperti di rekaman Hari ke-42. Kondisinya sangat menyedihkan begitupun dengan si anak-anak. Anak-anak itu juga hanya diam berbaring disana. Tak lagi berkelahi ataupun saling berinteraksi. Hanya berbaring. Tiba-tiba Emily berhenti mengayunkan tubuhnya dan ia bangkit berdiri, kelakuannya itu menarik perhatianku.
Dia berdiri kaku selama kira-kira dua menitan, kemudian berjalan perlahan menghampiri anak-anaknya, dengan ganas mencengkeram kedua kaki Michael, dan tanpa basa-basi mengayunkan kencang tubuh Michael dengan kepalanya terlebih dahulu membentur dinding bercat putih itu. Sandra berdiri lalu berlari menghindar, namun karena kecepatan yang tak sebanding, ia pun berakhir sama seperti Michael. Mereka dihantamkan ke bagian dinding yang sama. Dua tubuh mungil bersimbah darah pun akhirnya tergeletak berdampingan di sana. Apakah saat itu mereka telah tewas atau pingsan aku tak tahu. Aku bangkit berdiri oleh rasa ngeri. Gerakanku ini terjadi begitu saja. Ku dapati diriku menggumamkan kata, "Tidak tidak tidak tidak tidak" di depan layar televisi.
Emily kemudian perlahan mendekati salah satu tubuh anaknya, merunduk ke bawah dan mulai menggigiti Michael, mencabik-cabik daging lunak Michael dengan gigi-giginya. Aku muntah sekali lagi. Seorang ibu memakan anak kandungnya sendiri, sungguh pemandangan yang tak tertahankan untuk di lihat. Aku pun kembali teringat akan tampilan di layar CCTV yang kusaksikan untuk pertama kali ketika memasuki rumah Stephen. Kulihat tubuh dua anak itu terbaring di sana dengan sekujur tubuh mereka penuh luka gigitan menganga. Segera setelah teringat hal itu, aku mematikan videonya. Aku sudah tak sanggup lagi. Satu rekaman terakhir. Satu lagi yang harus ku tonton.
Aku harus tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Cukup butuh waktu beberapa lama sampai aku memasukan rekaman terakhir ke mesin pemutar, meski kudapati diriku sendiri gemetar hebat, entah bagaimana aku mendapat kekuatan untuk kembali menyaksikannya.
Rekaman itu dimulai dengan menampilkan Emily yang hanya menatap ke arah salah satu sisi dinding. Dia sedang mengukir sesuatu dengan kuku-kukunya. Aku pun melihat lebih cermat, dan kulihat dia sedang menuliskan kata-kata gumamannya sendiri.
Semacam kata-kata tak jelas semisal "tikus" "bocah" dan "suara desingan". Aku tak bisa menyebutkan sisanya, tapi seluruh dinding tercoreti tulisan. Huruf-huruf serta nomor. Kau tak tahu apa yang sebenarnya ia tulis tapi kau bisa melihat coret-coretannya di dinding.
Mendadak dia berhenti. Dia berdiri, menatap dingin ke arah kamera selama sekitar 3 atau 4 menitan. Dengan mata bengkaknya yang penuh urat kemerahan. Lingkaran ungu hitam mengelilingi sekitarnya. Wajah pucat berminyak, rambut panjang awut-awutan beruraian di sekitar pipinya. Sungguh gambaran horor dari seorang wanita muda yang dulunya begitu cantik jelita. Gambaran horor yang masih menjadi mimpi burukku hingga hari ini. Mataku terpaku ke layar. Kemudian dengan suara datar dia berucap,
"Aku harap kau melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan."
Lalu dia mulai berjalan mundur perlahan sambil tatapan mata kehitamannya itu tetap mengarah pada kamera. Ini berlangsung selama satu menitan, namun bagiku terasa seperti seumur hidup. Bak siksaan abadi.
Dia berbalik menghadap dinding, melihat ke noda cipratan darah, bagian dimana ia tadi membenturkan kepala anak-anaknya.
Lalu itu pun dimulai.
Dia membenturkan kepalanya sekuat tenaga, sambil berteriak-teriak, secara berulang-ulang,
"Tidak sewajarnya manusia menyakiti diri sendiri"
Lagi dan lagi. Membenturkan dan membenturkan dan membenturkan, terus menerus. Setiap benturan kian menguat dalam tempo lebih cepat dari sebelumnya.
Teriakan
"TIDAK SEWAJARNYA MANUSIA MENYAKITI DIRI SENDIRI"
menjadi semakin kencang di setiap hantaman. Keadaan ini sampai pada titik dimana hanya terdengar teriakan dan benturan kepala secara berturut-turut. Perlahan aku berdiri lalu berjalan mundur sambil terus menatap layar televisi. Aku ingin pergi namun aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari layar. Hingga sampailah pada kondisi dimana genangan darah mulai menggenang di lantai sekitar tubuh olengnya. Aliran darah mengucur mengaliri seluk beluk tubuhnya. Setiap benturan kian melemah sedangkan teriakannya kemudian berubah jadi gumaman. Akhirnya dia tersungkur jatuh ke lantai dengan darah segar merembes dari kepalanya.
Kemudian keadaan sunyi mencekam. Nafasku terasa lebih berat daripada sebongkah batu. Layar putih sunyi itu menatap balik padaku. Terlalu banyak teror dalam satu adegan hingga sangat meluapiku. Aku memejamkan mata. Lalu...
DOR.
Suara letusan pistol menggema nyaring dalam tempurung kepalaku. Tubuh Stephen yang bersimbah darah berkelebat di mataku dan menjelma menjadi teror di setiap mimpi malam-malamku sejak saat itu. Dan sekarang, aku tersiksa oleh gambaran imajinasiku sendiri.
Segera saja aku terjerembab di lantai, menangis hebat sambil menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Alexandria mendengar isakanku lalu datang dan menghiburku. Butuh waktu satu jam lamanya hingga aku dapat menenangkan diri. Apa yang menyebabkan Stephen melakukan ini? Mengapa? Begitu banyak pertanyaan yang takkan pernah terjawab bersarang di kepalaku.
Ada banyak eksperimen lainnya, tapi kenapa dia harus melakukan yang ini. Aku tak sanggup menanggung ini semua sekarang. Aku butuh istirahat.
Sudah dari seminggu yang lalu aku kurang tidur, dan semua kejadian ini semakin memperburuk kondisiku. Aku bisa saja hanya duduk dan terus terusan merenung selama yang aku ingin, tapi untuk sekarang, hanya istirahat yang aku butuhkan.
Malam itu, aku kembali bermimpi buruk. Aku terduduk di sebuah kursi ditengah kegelapan total. Semua yang dapat kudengar hanyalah suara rintihan menyayat hati serta jeritan dari seorang wanita. Sebuah pistol tergenggam di tangan kiriku. Aku menjejalkan ujungnya ke dalam mulutku. Aku mencengkeram erat pegangannya. Dan tanpa pikir panjang lagi, aku menarik pelatuknya.
Dalam mimpiku, aku memandang kegelapan selama bermenit-menit. Sontak aku terperanjat bangun dengan keringat dingin bercucuran dan amat merasa kehausan. Aku menengok ke sekelilingku. Aku kembali pada kenyataan. Aku begitu jauh tertelan oleh ketakutan.
Aku bahkan masih bisa merasa seolah belatung-belatung itu merayap di sekujur tubuhku...
Credited to : CrashingCymbal
Source : Creepypasta Wikia