16/03/19

[BEHIND CLOSED DOORS] creepypasta


Aku adalah anak angkat. Aku tak pernah tahu siapa ibuku sebenarnya. Dia meninggalkanku waktu aku masih terlalu kecil untuk dapat mengingat semuanya. Aku sangat mencintai keluarga yang mengadopsiku kini. Mereka sangat baik padaku. Aku mendapatkan asupan gizi yang baik, tinggal di keluarga yang hangat, sempurnalah sudah. Dan aku sudah cukup lama tinggal bersama mereka.

Izinkan aku bercerita mengenai keluargaku tadi. Yang pertama yaitu ibuku, Janice. Aku tak pernah memanggilnya 'ibu' secara resmi, dan dia pun tak pernah keberatan. Sepertinya, ia memang tak pernah memusingkan itu. Dia adalah wanita yang baik dan penuh kasih sayang.
Kadang-kadang aku suka tiduran di pangkuannya saat kami sedang menonton. Ia pun membalas dengan mengusap halus rambut serta leherku.

Kedua, yaitu ayahku. Nama aslinya adalah Richard. Entah mengapa, sampai sekarang aku tak menganggapnya sebagai ayah. Sulit rasanya, aku seringkali menarik perhatiannya namun sia-sia. Yah tidak apa-apa, dia tetap ayah angkatku walaupun ia tak menganggapku seperti anaknya sendiri. Oh ya, dia juga termasuk orang yang keras. Dia tidak takut untuk menekan anaknya saat mereka melakukan kesalahan. Bahkan ia pernah memukuklu. Yah, itu tak apa-apa karena memang benar, itu semua dilakukan agar aku tak melakukan kesalahan lagi.

Terakhir, yaitu saudariku. Namanya Emily. Ia masih kecil saat aku diadopsi dulu, kukira mungkin umur kita sama. Tapi nyatanya, ia lebih tua daripada aku. Kita berdua sudah mempunyai ikatan layaknya saudara kandung. Ia sering bercerita dan aku lebih sering diam, mendengarkan ceritanya karena aku menyayanginya.
Oh ya, kami juga berbagi kamar. Aku sangat senang bisa tidur bersamanya daripada harus tidur diruang tengah sendirian. Aku tidur di bagian bawah, sedangkan dia tidur di kasur atas.

Namun, semuanya berubah pada hari Rabu malam yang mengerikan. Aku sedang tidur siang dirumah saat Emily membuka pintu depan. Suara dari pintu yang terbuka telah membangunkanku dan reflek, aku berjalan menyusuri koridor untuk menghampiri sumber suara itu.

Sebenarnya, aku tak begitu mahir untuk menghapal hari. Dan sekarang, aku patut menyebut saat itu sebagai hari MENYERAMKAN. Akan tetapi, saat itu aku sadar bahwa itu adalah hari rabu karena Emily pulang telat, ia rutin menghadiri pertemuan jemaat muda di gereja. Ia berjalan dan memelukku. Diikuti oleh ayah dan ibu yang memasuki rumah.

"Hey, apa tidurmu nyenyak?". Kata Janice sambil mengusap halus rambutku.
Aku hanya mengangguk sambil menggerakan hidungku yang gatal.

"Jangan begitu kepada ibumu." kata ayah sambil menutup pintu dan menggantungkan mantelnya.
Emily langsung menuju kamarnya di lantai atas, begitupun dengan aku.
Dia bercerita panjang lebar, dan aku selalu jadi pendengar yang baik.
Setelah itu, kami turun kebawah untuk menonton televisi.
Emily suka menonton kartun atau sinetron, sedangkan aku lebih menyukai acara yang ada di discovery chanel atau animal planet. Itu lebih baik.

Malam sudah larut, Janice menghampiri kami dan berkata
"Emily, ini sudah melebihi jam tidurmu. Segera masuk ke kamar. Dan kau juga ya." ia menatap ke arahku.
Kami kembali ke atas, sepanjang perjalanan, aku mulai merasakan tak enak hati.

Emily sudah mematikan lampu kamar, aku menatap sesaat ke jendela dan aku menangkap sekelebat bayangan. Apapun itu, mungkin ia sudah pergi. Aku harus tetap waspada karena aku masih tak enak hati.

Aku berbaring di kegelapan. Entah mengapa, aku tak bisa tidur. Aku berani bersumpah bahwa beberapa kali kudengar suara ranting pohon, semak-semak, bahkan suara pakaian yang tertiup angin. Lama kelamaan, samar-samar aku mulai mencium bau darah!. Aku semakin membelalakan mataku dengan lebar.

Perlahan, suara gaduh dan bau darah yang tercium itu hilang juga. Aku menutup kelopak mataku dan berusaha untuk terpejam dengan tenang.

Tak lama setelah itu, aku mendengar suara yang sangat keras dari sisi lain rumah.
"BRAAAAAAAK"
Seketika pula aku tersentak dan bangun.

"Ada seseorang di rumah ini!!!". Aku berteriak dan jantungku berdegup kencang.
"Bangun, Emily!!." aku berteriak membangunkan Emily. Akhirnya ia bangun dan terduduk. Setelah melihatnya tersadar, aku segera berlari menuju kamar orangtuaku.

Aku tercekat melihat pemandangan yang ada saat itu.
Ayah sudah meninggal. Di lehernya ada bekas sayatan. Dari luka menganga itu mengalir darah segar yang menggenang di lantai. Aku melihat didepan pintu kamar mandi, ada orang aneh yang berdiri disana.

Dia sangat besar dan menyeramkan. Dia berbalik dan melihatku. Saat itu dapat kulihat matanya yang kecil seperti manik-manik, berputar melirik ke segala arah. Janggutnya lebat dan tidak terawat. Bajunya sangat lusuh namun dipenuhi dengan bercak darah. Saat itu juga aku dapat mencium bau darah yang sangat mengerikan. Bau yang menusuk indera penciumanku ini.
Ia melihat ke arahku sambil tersenyum menyeringai. Menampilkan barisan gigi kuningnya yang tidak beraturan. Senyuman itu membuatku terdiam sesaat dan saat itu pula aku berpikir bahwa aku akan mati.

Namun, pria itu berbalik menuju kamar mandi dan sepertinya ia tidak terganggu dengan kehadiranku.

Aku sangat ketakutan. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya bisa berteriak dan menangis.
Perlahan, aku melihatnya menggotong ibu. Ia menghempaskan ibu yang sudah terkulai tak berdaya itu. Ia mengangkat pisau besarnya dan mencabik-cabik ibu di hadapanku. Memotongnya dalam beberapa bagian.

Kemudiaan, aku mendengar sesuatu. Hal terakhir yang kudengar.
Itu jeritan Emily yang datang dari arah belakangku.
Pria itu menatap saudariku, kemudian berdiri dan dengan cepat berjalan menghampiri kami.
Saudariku berbalik arah dan berlari. Kemudian pria itu dengan sigap mengejarnya dan melewatiku begitu saja.

Aku ikut berlari mengikuti mereka. Aku mengira, dia juga akan membunuh Emily seperti ayah dan ibu. Ternyata aku salah. Pria itu menyeret Emily menyusuri lorong rumah ini.
Aku berteriak dan membuat kebisingan sebisaku, berharap ada orang yang sadar diluar sana dan membantuku.

Dia menangkap Emily dan membekap mulutnya.

Dia hanya melewatiku begitu saja. Aku menyandarkan diri ke dinding dan bertanya-tanya : "Mengapa?"

Dia kembali menyeringai ke arahku, menampilkan gigi kuning itu seraya berkata :
"Diam kau. Ya, tetaplah diam seperti itu. Anak baik. " dia mengusap kepalaku.

Aku mengikutinya saat ia menyeret Emily menuju ke pintu depan. Dia membukanya dan menarik Emily keluar rumah ini. Kemudian, ia segera membanting pintu itu.

Sekarang, aku terduduk dirumah bersama mayat dari kedua orangtua angkatku. Aku menggigil, gemetar dan cemas.

Pria itu sudah berada disuatu tempat diluar sana, bersama Emily. Entah apa yang ingin ia lakukan pada Emily dan aku tak bisa menyelamatkan saudariku. Andai saja jika aku bisa melakukannya, sayangnya aku tak bisa.

Aku ingin menangkapnya, tapi aku tak bisa.
Aku duduk disini, melihat ke arah pintu depan.
Aku melihat kebawah dan mendapati kakiku. Jika saja aku bisa membuka pintu itu....

[end]