Malam minggu … saat yang selalu membuat sesak dada bagi seorang jomblo nista seperti diriku. Bukannya tidak laku, tapi terkadang pembawaanku yang eksplusif membawa cukup banyak masalah. Masih kuingat beberapa bulan lalu saat pacarku meminta mengakhiri hubungan. Dia kerap mengeluhkan temperamenku yang meledak-ledak. Ah … tak pernah kurasakan kekecewaan yang begitu besar di sore nan hangat itu. Aku sangat mencintainya, bahkan sampai sekarang. Kadang aku sering membayangkan suaranya yang jernih dan tegas.
Sungguh wanita yang mengagumkan.
Senja tenggelam berganti malam dimana orang-orang sibuk dengan kencannya masing-masing. Sedangkan aku hanya bisa berduaan dengan laptop, berselancar di dunia maya sampai kebosanan hinggap juga akhirnya. Suara AC yang mendengung hanya menambah kesepianku.
Sial!
Kubantingkan tubuhku di atas kasur. Kubayangkan masa-masa dimana sebuah obrolan ringan bisa membuat segalanya menjadi lebih baik. Namun masa-masa itu telah lewat sejak sore itu. Kini keheningan terrasa seperti mencekik dalam rumah kosong ini.
Kemudian telingaku menangkap sebuah suara yang tak asing: suara seseorang yang tengah berdendang. Suaranya jernih dan kesan tegas dalam tiap kata-katanya terartikulasikan dengan baik. Dendangan itu seperti berasal dari luar kamarku berada, namun semakin dekat dan dekat. Betapa pun lirihnya suara itu, aku bisa mendengarnya dengan jelas mengingat keheningan yang begitu menyesakkan. Kutajamkan pendengaranku hingga akhirnya aku yakin bahwa suara tersebut adalah suara pacarku.
Suara itu semakin keras kini. Nadanya bertambah tinggi hingga membuatku sedikit ngeri.
“Rina! Kaukah itu?!” Sungguh tolol, pikirku. Dia tak akan pernah kembali padaku. Aku sungguh menyesal telah melakukan hal teramat buruk padanya.
Suara itu kian mendekat, kini kemerduannya telah berganti dengan suara serak dan parau. Kupikir semua itu hanyalah halusinasiku saja, produk dari kesendirian keparat ini, namun suara itu tak kunjung hilang atau mereda bahkan semakin terdengar nyaring. Hingga suara ketukan di pintu membuatku tersentak dan melompat dari ranjang.
“Aku datang, Rio. Ini Rina.”
Jantungku terrasa berhenti berdetak saat mendengar suaranya yang parau dan serak. Suaranya jauh terdengar seperti suara seorang nenek-nenek renta. Dengan menahan kengerian teramat sangat, aku segera membuka jendela kamar yang terhubung dengan halaman samping rumah. Aku segera melompat dan berlari sekencang mungkin meninggalkan rumahku.
Siapa pun yang berdendang dan mengetuk pintu kamar, jelas bukan Rina. Aku yakin itu. Sebab tadi pagi dirinya masih berada di kolong tempat tidur walau telah berbentuk tulang belulang belaka.