source: urbanlejen.wordpress
Ketika itu di suatu malam yang gelap gulita dan petir saling bergantian menghantam di sekitar pantai. Angin kencang berhembus dari laut dengan gelombangnya yang besar menerjang terjalnya karang ditepi pantainya. Beberapa kapal yang masih berlayar malam itu terjebak dalam bahaya, bertahan di atas genangan air yang ganas. Mereka ikut terserang badai dan beberapa dari mereka ada yang karam.
Angin membuat pintu-pintu dan jendela bergeretak dari rumah-rumah kecil di atas tebing yang melihat langsung ke bawah lautan. Dalam sebuah pondok kecil yang hangat, seorang wanita muda tengah memasak makan malam ketika dia tiba-tiba memanggil suaminya.
“Apakah kau mendengar itu?” tanyanya.
“Apa?” kata suaminya, menaruh pipa rokoknya di atas meja.
“Saya rasa saya mendengar tangisan seorang bayi di luar sana.” kata istri itu.
“Itu hanya suara angin,” jawab suaminya. “Atau mungkin seekor anjing laut. Kadang suara mengejutkan dari anjing laut terdengar seperti suara tangisan bayi.”
“Tidak, saya tahu itu seorang bayi ketika saya mendengarnya,” kata wanita itu.
Suaminya menggelengkan kepalanya. “Bagaimana bisa?” katanya. “Apa yang seorang bayi dapat lakukan di luar pada malam seperti ini?”
Keduanya lalu memandang ke luar jendela, melihat petir yang saling menyambar.
Keesokan paginya, pasangan suami-istri ini berjalan di sepanjang pantai ketika mereka menemukan beberapa barang terdampar di tepinya. Barang-barang itu pasti dari sebuah kapal yang karam selama badai menerjang. Sang suami lalu menemukan sebuah buaian bayi diantara rongsokan itu. Dia mengangkatnya keluar dan membawa pulang ke rumah mereka. Badai memang menerjangnya sedikit, tapi benda itu masih baik dan tidak rusak.
Bertahun-tahun setelah itu, wanita itu melahirkan beberapa orang anak dan tiap dari mereka tidur dalam buaian itu. Tapi, ada sesuatu yang aneh tentang itu. Kapan pun ada badai, buaian itu akan bergoyang dengan sendirinya. Seperti angin yang berhembus di luar, begitu pula buaian itu maju dan mundur, seperti ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya, menggoyang-goyangkan bayinya hingga terlelap.
Suatu hari, saudari istri ini datang berkunjung dan keluarga itu berkumpul di dapurnya unruk makan malam. Sementara sedang makan, saudari ini tak sengaja menengok ke dalam ruang tamu.
“Siapa wanita yang menggoyang-goyangkan buaian itu?” tanyanya setengah terkejut.
Ayah dan ibu ini saling bertatap-tatapan dan mengatakan, “Wanita apa? Tidak ada wanita, buaian itu memang suka bergoyang dengan sendirinya.”
“Ada seorang wanita di situ,” kata saudarinya. “Dia berambut hitam yang panjang, wajahnya pucat dan dia terlihat sangat sedih. Dia cuma duduk di samping buaian itu disana, mengayunkan bayimu.”
Terperanjat, istrinya langsung bangkit dari mejanya dan berlari secepatnya menuju buaian tersebut. Dia mengangkat bayinya dan menggendongnya dengan lengan yang gemetar.
Pada malam itu juga, suaminya mengambil buaian itu keluar dan memotongnya menjadi bagian-bagian kecil dengan sebuah kapak. Dia mengumpulkan semua kayu-kayu itu dan melemparkannya ke dalam perapian. Menyalakan korek api dan, ketika kobaran api mulai memakan potongan-potongan itu dan kayu-kayu itu mulai terbakar, mereka bisa mendengar tangisan pilu seorang bayi yang membangkitkan bulu kuduk mereka.