12/03/19

CREEPYPASTA : Mentari Mahsyar


Pelan kutapakkan langkah-langkah kecil, menyusur hamparan padang gurun tiada berujung. Panas rasanya, butir-butir pasir yang kuinjak laksana ujung-ujung jarum, menusuk-nusuk telapak kaki tiada ampun. Aku merentangkan tangan kedepan, berusaha menghalau embusan angin yang menerpa wajahku kasar. Aku berjalan goyah, sesal dan takut terasa makin mencabik nadi. Ingin ku menangis, gagahku ditelanjangi ngeri dan ketidakberdayaan.

Aku melihat manusia-manusia lain sepertiku, terseok bermandikan peluh, berjalan tanpa arah tujuan, meratapi hingar-bingar hidup yang dahulu. Beberapa dari mereka menunggangi hewan yang tak pernah kulihat sebelumnya, beberapa lagi menyeret wajah-wajah mereka dipanasnya pasir yang membara, menjerit-jerit memohon ampun, namun tiada sekelumit kalimatpun yang kutangkap, hanya tangis-tangis pilu serupa lolongan anjing kala purnama menyingsing.

Aku terus berjalan, persetan dengan makhluk-makhluk tengik yang meminta tolong itu. Aku mendongak, teriknya matahari membakar habis helai-helai rambutku, mendidihkan isi kepala. Kemudian suara gemuruh timbul entah darimana, bergaung mengerikan bak kobaran badai api. Aku menjelma takjub, gemuruh itu menuntunku ke suatu tempat, entah dimana.

Aku melihat segerombolan manusia-manusia lain, berkumpul dalam lembah maha luas, berjejer-jejer dalam barisan-barisan panjang bak lautan manusia. Perlahan aku mendekat, merasakan kebimbangan dalam setiap diri mereka, bimbang dengan nasib masing-masing yang akan dihadapi nanti. Tak ada lagi gelak tawa, tak ada lagi huru-hara yang biasa mereka lakukan ketika banyak orang berkumpul. Hanya gurat wajah sendu ketakutan mengenang dosa, tanpa setitikpun pendar kegembiraan.

Terlalu terlambat untuk menyesal, terlalu terlambat untuk tak merasa hina.

Kini telah tiba saatnya...

Saatku untuk ditimbang...