''aku lelah, Hen, terlalu lelah untuk kembali berlari''
desah seorang lelaki muda, meringis memegangi tumitnya yang tampak mulai membengkak.
''akupun sama sepertimu, namun kita tak punya pilihan selain lari dari kematian yang kian mendekat''
''tinggalkan aku sendiri, kau tak mungkin selamat denganku bersamamu''
Lelaki itu beranjak dari duduknya, menarik lengan lelaki disampingnya untuk bangkit berdiri dengan sebuah sentakan kasar.
''kau tahu, kak ? aku tak sepengecut itu untuk meninggalkanmu disini''
Temaram sinar mentari senja menerangi wajah si adik. Memantul di bulir-bulir peluh, menyiratkan penat yang sungguh.
''lantas apa yang harus kita lakukan sekarang ?''
tanya si kakak yang sedari tadi diam.
Hendra menghela nafas panjang, berusaha menjinakkan irama degup jantungnya. Ia mengedarkan pandangan kesekitar, rumah-rumah di sekelilingnya terlihat tak berpenghuni.
''aku tak tahu, kak'' lirih Hendra pelan, kemudian menyandarkan punggung ke dinding di belakangnya.
''H-hen . . .''
''ada apa ?''
''lihat . . .''
Si adik terperangah, seekor anjing hitam besar berdiri menggeram di dekat mereka. Gigi-gigi runcing dan taring tajamnya bergemeletuk, dengan liur yang tak dapat berhenti menetes keluar dari moncongnya.
Kedua lelaki itu mundur perlahan, menyeret kaki-kaki mereka yang bergemetaran.
''AAAARRRGGGHHH ! ! !''
Si kakak menjerit kesakitan, barisan gigi-gigi tajam bak silet kini menghujam, meremukkan tulang betisnya. Ia mencoba meronta, namun robek di kakinya hanya semakin bertambah dalam.
''bunuh dia Hen.. bunuh !''
Hendra tak mampu bergerak, seluruh tubuhnya seolah lumpuh dalam kengerian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berusaha melepaskan cengkeraman anjing itu, namun urung membuahkan hasil. Hendra tahu, tiap detik berlalu adalah derita bagi kakaknya.
Sang adik meraih batu besar disampingnya, kemudian menghantamkannya keras tepat di kepala si anjing. Makhluk itu melepaskan gigitannya, lalu berjalan terhuyung menjauh dari mereka sebelum akhirnya jatuh menggelepar di tanah.
Hendra terduduk lemas, alis tebalnya hampir bertemu, menyisakan keputusasaan yang teramat mendalam. Ia melihat kakaknya terisak, lelehan darah dari jemarinya merembes diatas pasir tempat mereka berpijak, mencipta kristal-kristal merah delima.
Derap langkah-langkah kaki tiba-tiba terdengar menghampiri mereka, ancaman sesungguhnya baru saja tiba !
Hendra segera menggendong kakaknya untuk menyelamatkan diri, ia menengok kebelakang, wajah-wajah bengis berlari menuju kakak beradik itu, dengan nafsu membunuh yang begitu membuncah.
Hendra menatap tubuh kakaknya yang bersimbah darah, ia merasa sangat menyesal.
''maafkan aku kak, aku tahu tak seharusnya melibatkanmu dalam hal ini''
Mereka berlari menembus rimbunnya pepohonan, Hendra mulai mengerti bahwa mereka mungkin tak akan selamat . teriakan-teriakan itu kini dapat mereka dengar dari seluruh penjuru . . .
''maliiing !!!''
''maliing !!!''
-end-