“Kalau bisa memilih, kau mau terjebak di dalam lift dengan siapa?”
Aku menuliskan jawabanku dan memasukkannya ke dalam kotak, senyum kecil menghiasi wajahku. Padahal aku sama sekali tidak ingin tersenyum. Beginilah nasibnya jadi orang terkenal, banyak orang yang tidak peduli pada perasaanmu.
Hm. Mungkin aku harus cerita dari awal.
**
Aku putus dengan pacarku lima bulan sebelumnya, dan kami tidak pernah bertemu lagi, meskipun kami tinggal dalam satu gedung apartemen, hanya berbeda satu lantai. Dia baik sekali, dan aku mencintainya. Hanya saja hubungan kami tidak direstui orangtua kami, entah kenapa. Padahal aku sudah tinggal sendiri, dan demikian juga dirinya, dan kami tidak melakukan apapun diambang batas norma lingkungan kami.
Makanya aku masih tidak rela dia minta putus. Aku masih mencintainya.
Dia penyanyi terkenal, aku juga meski tidak seterkenal dia. Kami tidak memberitahukan hubungan kami pada siapapun diluar lingkaran keluarga, dan tidak ada fans kami yang tahu. Mereka berspekulasi seenaknya, memasangkan aku dan dia pada orang lain, dan kami hanya menertawakan mereka.
Lift di hadapanku terbuka dan aku melangkah masuk. Gedung apartemen tempatku tinggal biasa-biasa saja, tidak seperti apa yang diharapkan penggemarku yang ingin idolanya tinggal di sebuah rumah mewah dengan banyak pembantu.
Aku paling benci liftnya. Liftnya sempit, tidak ada CCTVnya, dan sering macet. Menyebalkan sekali.
“Tunggu sebentar!”
Aku mengenal dan mencintai suara itu, dan aku menahan pintunya sebelum dia merangsek masuk. Wajahnya penuh keringat dan aku harus menahan diri supaya tidak memberikan saputanganku padanya.
“Eh... hai,” panggilnya, seolah tidak ada apa-apa lagi diantara kami.
Dia membuatku marah. Aku tahu kelemahannya, sesuatu yang tidak pernah diberitahukannya pada orang lain kecuali padaku. Dan aku bertekad akan menggunakannya.
Beraninya dia mengakhiri semuanya seperti itu!
Aku berdiri merapat padanya. Dia selalu berdiri merapat ke dinding, dan tubuhku membuatnya semakin lengket dengan pojokan lift.
“Kaubayangkan ya,” mulaiku. Di kepalaku mulai terbayang banyak skenario romansa yang melibatkan dirinya dengan orang lain, dan itu membuatku semakin marah. “Kaubayangkan, gimana rasanya berada di dalam lift seperti ini dan—”
TRAK!
“Sial!” makinya. Lidahnya memang lebih sulit diatur dariku. “Liftnya macet lagi! Geser dong, kau menggangguku.”
Aku tidak bergerak. Aku tahu persis apa yang akan terjadi.
“Diamlah,” sergahku. “Diam dan bayangkan saja. Tutup matamu.”
Dia lebih pendek dariku, dan ketika dia mendongak menatapku, keningnya berkerut tanda sangsi, tapi akhirnya dia menurut. Wah. Dia masih mempercayaiku. Tapi itu tidak banyak mengurangi amarahku.
“Kaubayangkan dirimu, berada di dalam lift. Liftnya macet, dan kau terjebak sendirian.”
Dia mulai gemetaran, dan aku semakin mendorongnya ke tembok, senyum kecil di wajahku.
“Kau terjebak, kau terjebak. Dan liftnya sempit. Liftnya sangat sempit.”
Aku bisa melihat dia mulai sesak napas, dan aku harus menahan diri supaya tidak tertawa. “Liftnya sangaaaat sempit, kau sendirian, dan wush! Lampunya mati!”
Gemetarnya semakin hebat dan aku bisa melihat keringat menderas di wajahnya. Namun dia masih belum membuka mata. “Kau mulai sesak napas,” lanjutku. Mataku melirik ke papan tombol dan kulihat liftnya sudah mulai bergerak. Aku belum mau turun sekarang, setidaknya sampai aku bisa membalaskan dendamku pada dirinya yang seenaknya mengakhiri hubungan kami.
“Kau sesak napas dan merasa kegelapan itu semakin mencekikmu, mencekikmu seperti sulur, menekanmu ke pojok tembok, dan kau tidak memiliki jalan keluar... dan KAU HANYA BISA MENJERIT!”
Dia menjerit dan roboh ke tanah, terengah-engah lalu pingsan. Aku menatapnya tajam, dan tepat pada saat itu pintu lift terbuka tepat di lantai yang kutuju. Kulempar tatapan singkat pada tubuhnya yang masih terkapar.
“Seharusnya kau tidak memutuskanku,” kataku sedih sebelum pergi.
Huh, untungnya dia pernah bilang padaku dia penderita klaustrofobia. Ketakutannya pada ruangan sempit bisa saja membunuhnya.
Dan mungkin itulah yang kuinginkan. Lagian, siapa juga yang suruh minta putus?
**
“Kalau bisa memilih, kau mau terjebak di dalam lift dengan siapa?”
Si pewawancara menarik kertasku dari kotak dan membaca namanya. Nama mantanku yang baru saja masuk rumah sakit karena depresi. Dia baru saja menambah lift dalam daftar fobianya yang baru.
“Kenapa kau ingin terjebak dengannya? Kalian kan jarang kerja sama,” tanya si pewawancara, dan aku bisa mendengar sorak-sorai penggemarku di belakang. Hm. Aku takkan heran kalau nanti bakal banyak gosip berkeliaran di TV dan majalah.
Aku hanya tersenyum. Hanya Tuhan, aku, dan siapapun yang membaca ceritaku barusan yang tahu.