Ketika Relung masih sebagai janin 7 bulan, sang ayah pergi meninggalkan ibu dan rumah kecil mereka.
Relung tumbuh sebagai gadis yang kurus dan terlihat selalu lemas. Ibunya terlampau miskin, bahkan untuk memberi susu formula. Bersangga sebagai petani jagung, ibunya tak mampu menyekolahkan relung. Hingga akhirnya relung diangkat oleh seorang bibi yang janda. Ya, meskipun begitu relung tak pernah kesepian....
Sejak pendidikan SD bahkan menginjak Universitas, relung tak benar-benar yakin banyak teman yang mengingat dirinya. Meski relung selalu ingat, satu demi satu nama teman-temannya yang pernah berada dalam kelas yang sama. Terlebih... Nama-nama "asing", yang bahkan tak pernah tercatat di absen kelas.
Relung ingat... Ketika SMA kemarin, ketika kelas 12 Ipa C gempar karena bangkai seekor kucing tanpa kepala tergeletak di lantai kelas, berlumuran darah hitam yang kental. Semua murid ketakutan bahkan ada yang menangis.
Relung melihatnya, "Kerjaan gadis itu lagi," pikirnya. "Dia senang sekali berbuat jahil."
Tapi Relung hanya akan terlihat bodoh bila mencoba memberi tahu teman-temannya akan hal yang dia yakini, dia akan diejek seperti halnya ketika SD.
Relung diam saja.
Relung selalu diam, bahkan terlalu banyak diam. Bicara tak membuatnya dihiraukan.
Di kamar dan di gelapnya malam ia bertemu keadilan, bertemu keramaian irasional yang tak pernah dijumpainya di sekolah. Pengobat rasa sepi meski rasanya aneh, mereka semua tak seperti dirinya.
###
Hingga Relung menemui cintanya. Dia pria yang sopan dan tak banyak bicara seperti Relung. Dengan balutan almamater kini, Relung terlihat lebih baik. Relung dan si Pria menghabiskan waktu bersama setiap hari.
Mereka selalu bersama sejak surya tiba dan berakhir. Relung pun lupa akan keramaian irasional yang tak pernah mengabaikannya.
Relung sudah punya keramaian sendiri kini, bersama sang Pria pujaan yang mengisi relungnya. Relung gadis itu.
Hubungan mereka begitu jauh, terlalu jauh untuk sepasang kekasih. Janin itu, telah bersarang di perutnya. Dan sang pria pujaan, pergi seperti ayahnya....
###
Malam itu relung menangis di kamarnya. Kamar yang ia tempati bertahun-tahun terakhir. Kamar tumpangan dari bibi yang murah hati.
Di atas kasur lapuk ia duduk menangis, menenggelamkan kepalanya diantara kedua lutut. Dia memanggil-manggil dalam kegelepan, memanggil "teman" yang telah ia lupakan.
Namun desir angin tipis mendera tengkuknya. Relung menutup matanya yang merah karena ketakutan. Harusnya ia tak takut, ia tahu itu.
Sesosok perempuan duduk di sebelahnya. Tersenyum magis penuh arti kearah relung.
Dia tak di lupakan.
###
Relung menemui ajalnya, di sepetak kamar berukuran 3 x 3 meter. Bersama janin di perutnya.
SC : pucat biru